Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Memburu Sirip, Mendapat Cokelat

Banyak nelayan Indonesia ditangkap patroli laut Australia karena melanggar batas laut antarnegara. Mereka memburu sirip ikan hiu yang harga jualnya mahal.

18 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak ada tawa di sekitar meja biliar itu. Juga saat bola terakhir disundul meluncur masuk lubang. Stik bola sodok bertukar tangan, bola dikumpulkan, permainan dimulai lagi. Begitu seterusnya, tanpa sorak kemenangan. Meja biliar di sudut halaman Konsulat Jenderal RI di Darwin, Australia, itulah satu-satunya hiburan bagi para nelayan dalam masa tahanan. "Kami tidak boleh keluar pagar. Hanya boleh bermain di sini," kata Roni Rahanwatty, nelayan asal Saumlaki, Maluku.

Inilah mimpi buruk para nelayan yang terdampar di Darwin. Mereka ditangkap oleh patroli laut Australia dengan tuduhan berlayar melewati batas laut antarnegara dan mencuri ikan di perairan Australia. Setiap hari mereka diharuskan melapor ke Konsulat; menjelang sore kembali ke kapal layar untuk tidur. "Sampai pekan ini ada delapan kapal nelayan Indonesia yang masih ditahan. Enam kapal di Gove Nhulunbuy, dua kapal di Thursday Island," ujar Teguh Wiweko, wakil konsul jenderal yang mengurusi kasus ini.

Menurut dia, sebulan ada sekitar 30 kapal tertangkap di Northern Territory Australia. Salah seorang yang tertangkap itu, Husen Tata Ishak, kapten kapal Kharisma asal Rote, Nusa Tenggara Timur. Ia memang sudah diizinkan pulang, tapi karena itu hatinya remuk. "Pedih rasanya ingat keluarga di rumah. Sebab, tak ada yang bisa saya bawa pulang selain baju yang saya pakai ini," ujar ayah tiga anak itu.

Berbekal beras tujuh kilogram, mi instan, dan empat drum air tawar, Agustus lalu ia berlayar ke selatan bersama lima awaknya. Sial, baru sekitar seminggu mencari sirip ikan hiu, Kharisma dicegat patroli laut Australia. "Saya dianggap memasuki perairan Australia sejauh 14,5 mil. Padahal saya masih di perairan netral, masih di sisi utara Challis Venture," tuturnya.

Challis Venture adalah anjungan pengeboran minyak lepas pantai milik Australia. "Kalau sudah mendekati anjungan itu berarti sudah melewati tapal batas yang diperbolehkan," kata Teguh. Itu memang patokan batas laut berdasarkan kesepakatan Indonesia-Australia. Dalam perjanjian 14 Maret 1997 itu disebutkan, di selatan tapal batas resmi RI-Australia ada kawasan netral (gray area) untuk menangkap ikan (kecuali teripang dan tiram) bagi nelayan tradisional maupun modern. Posisi anjungan Challis Venture di luar kawasan netral.

Namun tidak semua nelayan tahu. Husen Tata, nelayan tradisional yang cuma tamat SD itu, misalnya, hanya berbekal kompas biasa dan selembar peta yang dibeli dari Dinas Perikanan Rote. Selebihnya, ia mengandalkan naluri saja. "Kecepatan kapal layar saya lima mil per jam; butuh waktu 24 jam untuk sampai pas di ujung garis netral itu," ujarnya polos.

Tapi Roni, yang memiliki kapal mesin Mega Star yang dibekali peralatan navigasi lengkap seperti GPS (Global Positioning System) dan peta kedalaman laut, masih juga dianggap melanggar batas laut antarnegara. "Kalau yang melanggar nelayan tradisional, saya maklum. Tapi, untuk nelayan modern, saya sudah menyebar peta dan titik-titik koordinat ke berbagai pihak, termasuk ke TNI-AL Armada Timur, yang seharusnya memperingatkan para nelayan," ujar Teguh, yang sempat dituduh sebagai broker dalam pembebasan nelayan dan penebusan kapal.

Selama ini para nelayan Indonesia bisa ditahan sampai berbulan-bulan, terutama sebelum ada kebijakan Australia mengenai percepatan pemulangan bagi nelayan yang tertangkap, yang dikeluarkan awal Juli lalu. Kini, berkat kebijakan buah negosiasi Indonesia-Australia itu, mereka bisa dipulangkan setelah ditahan beberapa hari.

Kapal yang ditahan harus ditebus para pemilik kapal?biasa disebut cukong?kepada pemerintah Australia. Harganya tergantung usia dan fasilitas kapal. Yang termahal bisa mencapai puluhan ribu dolar.

Rugikah sang cukong jika kapalnya tertangkap? Tidak selalu. Menurut Paul Clark, pakar maritim di Darwin, seorang cukong biasa melayarkan 5-6 kapal sekaligus. "Kalau satu tertangkap, mereka masih tetap untung," kata Paul.

Dengan sirip ikan hiu berharga US$ 500-800 (Rp 4,5 juta-7,2 juta) per kilogram di pasar London dan Hong Kong, para cukong memang bisa untung besar. Dari nelayan mereka hanya membayar Rp 950 ribu per kilogram. Satu kali panen, sebuah kapal bisa mendapat 45 kilogram.

Yang melongo adalah para nelayan yang tertangkap. Husen Tata, misalnya, harus kehilangan 15 kilogram sirip ikan yang diperolehnya karena disita patroli Australia. Tak membawa pulang uang, untung ia mendapat tiga batang besar cokelat Cadburry dari kawan sekampung yang menetap di Darwin. "Lumayan, daripada pulang dengan tangan kosong," katanya.

Endah W.S. (Darwin)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus