Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEBU berkibaran di sekitar kediaman resmi wakil presiden di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Para pekerja sibuk memermak rumah yang
pekan ini akan dihuni M. Jusuf Kalla, wakil presiden terpilih. Penghuni lamanya, Hamzah Haz, dekat akhir masa jabatan, langsung berkemas dari rumah dinas itu, pulang ke rumah pribadinya di Jalan Tegalan, Jakarta Timur.
Megawati lebih santai. Kediamannya di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat, sepi-sepi saja. Mega juga jarang terlihat di rumah itu. Mungkin karena rumah itu akan diberikan kepada Megawati setelah turun takhta, ia tak repot berkemas. Sekretariat Negara saat ini memang sedang memproses pengalihan status rumah itu menjadi milik negara. Selama ini, rumah di Jalan Teuku Umar 27 milik PT Bank Mandiri, dan nomor 27A milik Pertamina.
Baik Mega maupun Hamzah akan mendapat kado rumah setelah lepas dari jabatan presiden dan wakil presiden. Itulah sebagian pesangon yang mereka terima dari negara, sesuai dengan Keputusan Presiden No. 81/2004 yang diteken Mega pada akhir September lalu. Negara juga memberikan tunjangan perawatan rumah, kendaraan berikut sopir, listrik, air, telepon, dan biaya kesehatan. "Nilai pengadaan rumah tak boleh lebih dari Rp 20 miliar," kata Sekretaris Negara, Bambang Kesowo.
Menurut Kesowo, keputusan presiden itu merujuk tiga undang-undang, yaitu UU No. 7/1978 tentang Hak Keuangan Administrasi Presiden dan Wakil Presiden atau Mantan Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No. 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sesuai dengan keputusan, Mega hanya menerima satu rumah. Tampaknya, yang didambakan adalah rumah di Jalan Teuku Umar.
Hadiah rumah bagi mantan presiden dan wakil presiden bukan hal baru. Sejumlah mantan wakil presiden, seperti Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Sutrisno sudah menerima bantuan itu. Uniknya, malah ketiga mantan presiden belum satu pun yang menerima. Soeharto, misalnya, akan menerima rumah "pesangon" itu semasa B.J. Habibie menjadi presiden. Rencana itu urung karena gelombang protes merebak.
Rumah itu berdiri megah di atas tanah seluas satu hektare, persis di belakang Museum Purnabhakti Pertiwi, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Bangunan yang diberi nama Puri Jati Ayu itu terbagi tiga dengan luas sekitar 3.000 meter persegi. Bergaya arsitektur campuran Jawa-Bali, komplet dengan perabot dan kolam renang.
Soeharto sendiri yang membangun rumah itu. Negara hanya mengganti harga tanah dan biaya pembangunan. Dalam taksiran Sekretariat Negara saat itu, bangunan itu menelan ongkos Rp 26,6 miliar, meliputi biaya konstruksi Rp 16 miliar dan harga tanah 1 hektare sekitar Rp 10 miliar. Tapi itu harga enam tahun lalu.
Habibie pun seharusnya mendapat rumah dinasnya di kawasan Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Rumah itu sebelumnya milik PT Patra Jasa, anak perusahaan Pertamina. Belakangan dialihkan menjadi milik negara. Sayangnya, proses pengalihan itu berbelit-belit dan mengalami banyak kendala. "Harus seizin Pertamina, Menteri Negara BUMN, dan Menteri Keuangan," ujar Bambang Kesowo.
Lambannya proses itu membuat harga rumah meroket. Semula, pada 1999, harganya Rp 7 miliar. Juni lalu sudah Rp 17 miliar. "Itu belum biaya notaris, bea balik nama, dan pajak. Totalnya Rp 20 miliar," kata Kesowo. Kejadian ini pula yang membuat Sekretariat Negara mematok harga rumah pesangon tak boleh lebih dari Rp 20 miliar. "Jika harga rumah yang diinginkan melebih plafon, ya bayar sendiri."
Tak semuanya menginginkan hadiah rumah. Mantan presiden Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, lebih senang diberi "mentah"-nya saja. Rencananya, duit itu dipakai membangun pesantren dan lembaga kajian keislaman di rumahnya, Ciganjur, Jakarta Selatan. "Tapi tahun lalu, saat ditanya, pemerintah bilang tak bisa mengabulkan, " kata Adhie Massardi, juru bicara Gus Dur.
Belakangan, Gus Dur ditemui seorang utusan dari Sekretariat Negara, dan ditawari rumah lagi. Lokasinya di daerah Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Tanahnya sudah ada, tinggal dibangun. Gus Dur tidak menolak, tetapi tetap meminta "mentah"-nya saja. Setelah pembicaraan itu, tak ada kejelasan tentang realisasi tawaran tersebut, hingga akhirnya Gus Dur menerima kabar bahwa Mega meneken keputusan tentang pengadaan rumah bagi mantan presiden dan wakil presiden.
Widiarsi Agustina, Sapto Pradityo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo