SAMPAH bertimbun di hampir setiap sudut seantero kota.
Galian-galian jalan yang belum juga ditimbun, setiap waktu
menghamburkan debu - sekaligus menyempitkan tempat lalu lintas
yang memang tidak lebar. Sehingga kota tua itu tampak semakin
suram. "Yogya sedang sakit parah," kata Menteri Poernomosidi.
Tak sedikit warga Yogya yang prihatin melihat keadaan kota
mereka. Bahkan Menteri PU, Poernomosidi, bersama Menteri
Pertanian Soedarsono awal bulan ini berada di antara para
mahasiswa Teknik Sipil UGM yang ramai-ramai membenahi sampah di
Malioboro, jalan utama kota itu.
Jalan kebanggaan warga kota gudeg itu memang termasuk bagian
kota yang harus dibenahi -- paling sedikit karena timbunan
sampah di sana makin menyengat mata dan hidung. Maka turunlah
mahasiswa-mahasiswa Fakultas Teknik Sipil UGM ke Malioboro
dengan Proyek Pengadaan Tong Sampah. Dengan 108 buah tong
kaleng, 300 tong plastik dan 10 gerobak sampah, para mahasiswa
itu yakin Malioboro akan bersih. "Asal sampah diambil 3 kali
sehari, pagi, siang dan malam," kata Hotma Prawoto, pimpinan
proyek itu.
Tong-tong itu diletakkan secara permanen di depan toko-toko yang
ada di sepanjang Malioboro. Kepada para penghuni di sekitarnya
diingatkan agar memanfaatkannya -- sementara pihak Bagian
Kebersihan Kodya Yogya pada jam-jam tertentu mengerahkan petugas
pemungut. Menurut Hotma, mahasiswa-mahasiswa FTS-UGM akan
memeriksa tong-tong itu setiap hari -- dan akan memperbaikinya
jika rusak.
"Ide membuat tong sampah muncul karena melihat sampah di Yogya
makin jadi problem," ungkap Hotma. Nyatanya memang sejak 5 tahun
lalu, sampah sudah memusingkan banyak orang, baik warga kota,
maupun petugas kebersihan. Tapi sampai kini masalah sampah tidak
kunjung terselesaikan. Karena itu mudah dipahami jika Menteri
Poernomosidi dengan penuh gairah membantu gerakan kebersihan
yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa FTS-UGM itu. "Bukan tugas
mereka sebenarnya," ucap Menteri beberapa saat setelah
meresmikan pemakaian tong sampah itu di Malioboro. "Tapi kalau
mahasiswa ikut memikirkan masalah sampah, masa kita tidak
bantu."
Martowiharjo
Dalam kampanye kebersihan itu Ditjen Cipta Karya PU menyediakan
segala bahan yang dibutuhkan seperti tong, pipa besi, semen,
pasir. Para mahasiwa kemudian membuat disainnya sekaligus
mengerjakan sampai jadi. Tong sampah buatan Gajah Mada itu
berdiameter 57 cm, tinggi 45 cm. Gerobaknya berukuran 1,5 x 1,25
x 0,75 m dengan rangka pipa ledeng, alas dan dinding dari kayu,
roda dari sepeda motor Honda. Tongtong dikerjakan 3 minggu
sebelum dipasang, didahului oleh survei selama 2 minggu. Pada
tiap tong dan gerobak tertulis "Universitas Gajah Mada Keluarga
Mahasiswa Teknik Sipil."
Sistem penanggulangan sampah dengan tong bukan hal baru di
Malioboro. Bagian Kebersihan Kodya Yogya pernah mencobanya tapi
menurut C.H. Zarkasi Effendi, yang mengepalai instansi itu,
dalam 3 bulan sudah hancur. "Kami kalah cepat dengan gelandangan
yang selalu membolak-balik tong," ujar Zarkasi, "akhirnya tong
rusak. Malah besi penahan tong pun diambil." Lagipula tong itu
mudah dirusak karat. Pada 1979 tong digantikan bak sampah, tapi
ini pun tanpa hasil.
Dalam penilaian Hotma dan kawan-kawannya sistem terdahulu gagal,
semata-mata karena tidak disertai penyuluhan kepada masyarakat.
Tapi diakuinya juga bahwa kesadaran masyarakat akan kebersihan
lingkungan masih rendah. Untuk itu para mahasiswa juga
merencanakan pembentukan pos-pos komando yang bertugas memungut
iuran, memberi penerangan dan peragaan.
Tentang iuran sampah, Menteri PU menghimbau setiap kepala
keluarga di Yogya untuk menyumbang Rp 250 dan Rp 1.000 bagi tiap
toko di Malioboro sebulan. Himbauan ini tercetus sesudah
Poernomosidi bercakap-cakap dengan Martowiharjo, 59 tahun,
pemimpin kelompok kebersihan di daerah sepanjang Malioboro.
Lelaki tua yang sudah berdinas 30 tahun dan tampak dekil itu
hanya menerima upah Rp 9.000 sebulan untuk menghidupi istri
dengan 7 orang anak. "Bagaimana kota akan bersih, kalau
petugasnya saja tak dihargai?" kata Menteri dengan prihatin,
Poernornosidi pun menyumbangkan 20 sepeda bagi para petugw
kebersihan, satu di antaranya untuk Martowiharjo.
Petugas kebersihan Yogya seluruhnya berjumlah 500 orang,
sebagian besar nasib mereka lebih buruk dari kelompok Malioboro
itu. Sambil menyanding nasib buruk itu mereka tiap hari
diharapkan melaksanakan tugas besar: membuang sampah 720 meter
kubik. Mudah dipahami jika tak semua kotoran itu terbuang,
karena ternyata juga armada yang ada hanya 16 truk dan 50
gerobak.
Sampah di Yogya juga menghadapi masalah tempat pembuangan.
Selama ini barang-barang bekas itu hanya dilempar ke lembah Kali
Code, tak jauh dari Studio RRI Yogya. Tak heran jika warga di
sekitar sana acap menutup hidung di siang hari dan harus
memejamkan mata di malam hari karena sarang sampah itu juga
dijadikan tumpukan pelacur.
Mulai akhir tahun ini, menurut Zarkasi, lembah Kali Code itu
akan dijadikan taman. Untuk tempat pembuangan sampah sudah
ditentukan sebuah areal di Desa Tamanan, wilayah Kabupaten
Bantul, agar langsung diserap oleh sebuah pabrik kompos yang
juga akan segera dibangun di sana.
Kota Yogya yang bersih, bukan hanya impian warga Yogya.
Lebih-lebih lagi harapan Walikota Haji Achmad yang menyerahkan
jabatannya kepada Kolonel Infanteri Soegiarto, Rabu minggu lalu.
(lihat box). Tapi Achmad mengakui belum berhasil menjadikan
Yogya sebagai kota bersih. Apakah karena itu, masa jabatannya
tak diperpanjang sehingga harus menyerahkan jabatannya pekan
lalu? Tak ada yang dapat menjawab pasti.
Wakil Ketua DPRD Yogya, Drs. Soempono berpendapat lain.
"Walikota Achmad tidak begitu gagal menangani sampah," katanya
"masalahnya sampah yang begitu banyak, hanya ditangani tenaga
dan peralatan yang serba kurang-ditambah kesadaran masyarakat
terhadap kebersihan lingkungan juga masih amat kurang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini