PARA penyelenggara "kursus" MBA harap bersiap-siap. Setelah sekian lama dihujani kritik, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya turun tangan membikin peraturan. Akibatnya, pendidikan untuk Master of Bussiness Administration alias MBA ini nantinya tak bisa lagi jadi "kursus" seadanya yang bermunculan bak warung kaki lima. Peraturan baru itu memang ketat. Pendidikan MBA yang hendak mendapat akreditasi atau pengakuan dari pemerintah haruslah berupa sekolah tinggi, baik berupa universitas atau institut yang memenuhi syarat. Peraturan yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri P dan K tentang "Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi" itu mensyaratkan penyelenggaranya paling tidak harus mempunyai dua fakultas. Sarananya juga harus komplet, seperti gedung sendiri dengan tanah seluas minimum 5.000 m2. Untuk pengajarnya, sedikitnya harus ada enam dosen lulusan Strata 1 dan dua Master jika ingin menyelenggarakan pendidikan Strata 2 seperti MBA. Untuk penyesuaian, Departemen P & K mematok waktu hingga 1994, saat peraturan itu mulai berlaku efektif. Saat ini wajah pendidikan MBA di Indonesia memang boleh dibilang coreng-moreng. Pendidikan ini tak semuanya diatur oleh Dirjen Pendidikan Tinggi melainkan oleh Dirjen Pendidikan Luar Sekolah dan Masyarakat yang biasanya menangani berbagai kursus, seperti setir mobil atau menjahit. Itu sebabnya sekarang ini banyak pendidikan MBA yang terkesan seadanya. Cukup bermodal rumah, yang kamar tidur dan garasinya disekat-sekat, atau menyewa Ruko, jadilah. Pengajar, bisa dengan menyewa beberapa dosen perguruan tinggi dengan imbalan penghasilan yang lumayan. Programnya asal bikin saja. Akibatnya adalah mutu yang beraneka ragam. Di luar beberapa gelintir yang serius dengan tarif belasan juta rupiah, lebih banyak lagi yang bermutu "asal bayar dapat MBA". Dan yang terakhir ini cukup dengan Rp 4 juta bisa mendapat MBA. Kuliah hanya tiga kali seminggu, masing-masing tiga jam. Dalam tempo kurang dari dua tahun para peserta sudah boleh menempel embel-embel MBA di belakang namanya. Seperti diakui oleh staf pengajar salah satu "kursus", "Di sini pengikutnya tuatua, ujian pun saya biarkan nyontek. Kalau dibandingkan dengan yang serius, paling beban pelajaran cuma 20%," katanya enteng. Pegangan sang pengajar tadi adalah "fulusologi". "Asal membayar, ya sudah. Beri saja gelar MBA," katanya. Namun, banyak yang bertanya, apakah pengaturan itu bakal ampuh. Salah satu kritik, misalnya, "Mengapa pemerintah justru mengatur kelembagaan, bukan kurikulumnya yang mestinya jauh lebih penting," kata Philipus L.P., ketua Yayasan OTC yang punya pendidikan MBA dengan mahasiswa sekitar 200 orang. Banyak penyelenggara pendidikan MBA yang menganggap syarat itu sebenarnya tak terlalu susah dipenuhi. Syarat minimum harus ada dua fakultas, misalnya, bisa diatasi dengan "simsalabim". "Bikin saja MBA transportasi, komunikasi, atau apa saja. Kalau perlu, ada MBA jurnalistik," tutur Philipus. Soal gedung, juga tak susah. Seperti dikatakan oleh Kemala Motik yang punya Indonesian European University (IEU) yang punya 300 mahasiswa. "Kalau keadaan ekonomi seperti sekarang, waktu tiga tahun sudah cukup untuk membangun gedung sendiri," katanya. IEU sendiri saat ini sudah menyiapkan tanah seluas 5.000 m2 di kawasan Tomang, Jakarta, untuk menggantikan dua Ruko di Jalan Blora yang sekarang jadi kampusnya. Memang sudah bukan rahasia lagi jika "kursus" MBA itu bisa jadi sumber uang yang basah. Itu juga yang membuat sebagian penyelenggara ini sedikit acuh dengan peraturan baru ini. Soalnya, peraturan itu hanya akan diterapkan bagi MBA yang hendak minta akreditasi. "Nantinya seperti perguruan tinggi swasta, yang punya akreditasi akan diumumkan. Jadi masyarakat bisa memilih mana yang layak atau tidak," kata Sukadji Ranuwihardjo, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi. Dalam hal ini Departemen P dan K tampaknya tak mau bertindak jadi polisi dan memaksa para penyelenggara pendidikan MBA menaati persyaratan yang ditetapkan itu. Perubahan ini, kata Sukadji, ditujukan untuk mengantisipasi pelaksanaan UU Pendidikan Nasional yang diberlakukan tiga tahun lalu. Juga masih ada soal, yakni lembaga akreditasi yang bakal menilai seluruh perguruan tinggi, termasuk MBA tadi, belum dibentuk. "Jadi tak bisa dipaksakan," Sukadji menjelaskan. Maka pemerintah berhati-hati agar tak terjebak membuat peraturan yang belakangan malah tak bisa dilaksanakan. Di sisi lain, pihak penyelenggara MBA sendiri juga banyak yang masih pikir-pikir untuk menyesuaikan diri menjadi sekolah tinggi atau universitas. Seperti diakui Philipus, OTC selama ini belum menyiapkan diri untuk mengantisipasi peraturan akreditasi tersebut. Ia menangkap kesan, masyarakat sebagai konsumen juga kurang peduli dan tetap saja membanjiri kursus MBA. "Mereka yang membayar jutaan rupiah itu kan bukan orang bodoh," kata Philipus. Bisa jadi Philipus benar. Buat para peserta kursus, yang penting adalah lulusan pendidikan MBA ini laku di masyarakat dan dunia usaha. "Ukurannya adalah apakah perusahaan-perusahaan top, misalnya prusahaan asing, mau memakai dan menerima," kata Andreas, seorang peserta pendidikan MBA di Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM). Jadi sekarang terserah pada konsumen untuk memilih. Apakah ingin yang resmi dan berakreditasi, yang tak resmi tapi bagus, atau yang asal membagi gelar MBA. Seperti kata Sukadji, "Masyarakat juga harus mempunyai daya pilih." Iwan Q. Himawan, Indrawan, YH (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini