IA bernama Jhon (bukan John) Charles Showerd. Mengaku warga negara Amerika Serikat (AS) keturunan Indian dari suku Apache. Hampir 37 tahun ia menggelandang tanpa dokumen sah di Indonesia, dan kini tinggal di karantina Imigrasi Cengkareng, Jakarta. Kedutaan Besar AS hingga kini tak mengakui Showerd sebagai warga negara AS. Padahal, Showerd sudah melapor berkali-kali sejak dokumennya dicuri pada 1955. "Soalnya, tidak ada yang mengklarifikasikan apa yang dikatakannya," kata juru bicara Kedutaan AS, Richard Gong kepada Leila S. Chudori dari TEMPO. Showerd sendiri berpendapat, "Mungkin karena saya suku Indian sehingga saya tak mendapat perhatian." Showerd mengaku datang ke Indonesia untuk meliput konferensi Asia Afrika di Bandung sebagai fotografer majalah The New York Times. Sial, pencuri menguras isi kamarnya ketika menginap di Planet Senen, Jakarta. Paspornya bernomor 6687, yang dikeluarkan di New York pada 1951, ikut raib. Nasibnya menjadi gawat ketika Kedutaan AS tak mempercayainya. Sampai-sampai ia, yang mengaku bekas penerbang Angkatan Udara AS, nekad berusaha menerbangkan pesawat Mustang dari bandara Halim Perdana Kusumah untuk kembali ke Amerika. Tentu saja ia diganjar hukuman dan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Belakangan nasib Showerd yang ramai diberitakan media massa menggugah perasaan pasangan Ennis dan Carl Dupuis. "Saya yakin ia betul-betul orang Indian setelah saya merinci ceritanya," ujar Carl Dupuis, warga AS keturunan Indian dari suku Pleadhead. Pasangan ini menyatakan berniat menampung Showerd. Pekan lalu, Dupuis berusaha mengeluarkan Showerd. "Imigrasi kelihatannya tak keberatan," kata Nyonya Ennis, yang juga akan mengurus identitas Showerd ke Kedutaan AS. Nyonya Ennis tahu hal ini tidak mudah. "Birokrasi Amerika sama dengan birokrasi di negara mana pun. Apalagi Showerd bukan siapa-siapa," kata Dupuis yang lebih betah tinggal di Indonesia. Showerd sendiri kini sudah tak mempedulikan statusnya. Pria 66 tahun kelahiran Colorado ini tak ingin kembali ke negerinya. Bisakah ia menjadi WNI seperti diatur UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan? Menurut Harsono, pengajar Hukum Tata Negara di FH-UGM, meski telah 37 tahun tinggal di Indonesia dan lancar berbahasa Indonesia, belum tentu Showerd bisa menjadi warga negara. Dalam UU itu ada berbagai persyaratan, misalnya tidak pernah dihukum dan mempunyai pekerjaan tetap. "Persyaratan itu maksudnya agar pemohon tak menjadi beban negara nantinya. Tetapi entah kalau ia lalu dibiayai oleh Carl Dupuis," kata Harsono. Dilihat secara formal, kasus Showerd memang sulit dipecahkan. Ia ditolak negaranya, sementara Indonesia pun tidak wajib melindunginya. "Tapi sebenarnya AS maupun Indonesia bisa saja melihatnya dari segi hak asasi manusia. Sebab, pada hakekatnya tiap orang berhak mempunyai warga negara," ujar Harsono. Ahli hukum internasional, Profesor Sudargo Gautama membenarkan pengamatan Harsono. Ia menyatakan heran melihat sikap AS terhadap Showerd. AS, menurut pengamatannya, adalah negara yang sering meneriakkan hak asasi manusia dan biasanya paling getol membela warganya. Menaggapi usaha Dupuis, Sudargo berpendapat pemerintah Indonesia sebaiknya mengambil terobosan baru. Selain untuk mengatasi kekosongan hukum menghadapi masalah seperti ini, hal ini juga untuk menunjukkan kepekaan pada hak asasi manusia. "Ada orang yang jelas identitas dan statusnya ingin berbuat baik menolong Showerd, kenapa kita tak perlu mendukungnya?" kata Sudargo. G. Sugrahetty Dyan K., Nunik Iswardhani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini