Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mengadukan ringan tangan

Dua siswa calon polisi patah kaki karena dihajar instrukturnya. keduanya lantas dikeluarkan karena cacat. mereka menuntut lewat POM ABRI.

29 Januari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDIDIKAN calon anggota ABRI memang keras. Kecelakaan dalam latihan itu sudah risiko. Tapi yang dialami siswa Sekolah Polisi Negara (SPN) di Padang, Syaifunir dan Zalkisman, memang di luar "risiko" itu. Keduanya cacat karena ulah instrukturnya. Malangnya, cacat patah kaki itu yang dijadikan alasan untuk mengeluarkan mereka. Kisahnya terjadi Agustus 1993 lalu. Ketika itu semua siswa SPN ikut gerak jalan cepat 15 kilometer. Baru lima kilometer, Syaifunir sudah letoi, tak kuat berjalan. Oleh instrukturnya, Sersan Dua Alif Rahman, Syaifunir diizinkan naik opelet sampai ke tempat istirahat. Ketika semua siswa SPN berjalan pulang ke markas, muncul Alif Rahman mengendarai Vespa dengan kecepatan tinggi. Entah apa alasannya, langsung diterjangnya Syaifunir dengan motornya. Syaifunir pun tersungkur, tulang paha kirinya patah. Ia lalu digotong dengan tandu ke markas. Sorenya Syaifunir dilarikan ke Rumah Sakit Polisi. Namun, dokter tak mau mengoperasinya karena SPN tak bersedia menanggung biaya. Setelah Bakri, paman Syaifunir, mau menanggung biaya operasi, barulah kaki Syaifunir dibedah. Selama tiga minggu ia dirawat. Biayanya, Rp 2 juta, ditanggung pamannya sendiri. Tiga minggu setelah insiden Syaifunir, Zalkisman menyusul masuk rumah sakit. Ceritanya, Zalkisman sedang bergerombol di depan kelas, menunggu datangnya Letnan Dua A.H. Batubara, instrukturnya saat itu. Tiba-tiba Batubara muncul dari balik pintu. Karena para siswa telat memberi hormat, menurut para siswa, sang instruktur mengamuk. Mereka ditendangnya satu per satu. Malang buat Zalkisman. Kebetulan ia berdiri dekat tangga. Ketika ditendang, ia terjatuh menimpa anak tangga. Tulang paha kanannya patah. Lagi-lagi pihak SPN lepas tangan, biaya operasi sebesar Rp 4 juta harus ditanggung sendiri oleh keluarga Zalkisman. Tapi, sejak Oktober lalu, mereka dilarang ikut belajar dan latihan, walau masih boleh tinggal di asrama. Rupanya, pihak SPN sedang mengajukan permohonan resmi untuk mengeluarkan kedua siswa itu. Alasannya, mereka tak mampu lagi mengikuti pelajaran karena cacat kakinya. Surat persetujuan dari Mabes Polri baru turun 5 Januari 1994. Dengan dasar surat itulah kedua siswa SPN itu dipulangkan ke keluarganya, 15 Januari lalu. Keruan saja, kedua siswa itu marah. Dua hari kemudian, Syaifunir melaporkan ulah instrukturnya ke POM ABRI. "Kami merasa diperlakukan tak wajar," kata Syaifunir. Selain minta agar diterima kembali di SPN, pihak keluarga Syaifunir juga menuntut pengembalian uang operasi yang sudah mereka keluarkan. Sementara itu, Zalkisman sampai pekan ini belum memberi tahu ibunya. "Ibu saya tak siap menerima kenyataan ini. Uang kami banyak habis, yang diperoleh cuma cacat," katanya. Zalkisman juga mau melapor ke POM ABRI, dengan harapan bisa diterima lagi di SPN. "Saya malu pulang kampung kalau tak jadi polisi," katanya. Kapolda Sumatera Barat, Kolonel M. Yusuf Nairan, geram ketika mendengar laporan Syaifunir tadi. Ia langsung memerintahkan Kepala SPN untuk memeriksa kedua instruktur tadi. "Pendidikan di ABRI memang keras. Main pukul itu biasa. Tapi kalau sampai bikin cacat orang, itu keterlaluan," kata Yusuf Nairan. Soal uang pengobatan yang ditanggung keluarga siswa juga disesalkannya. "Mereka kan dirawat di rumah sakit polisi, kok biayanya jadi beban keluarganya," katanya lagi. Seorang perwira bagian pendidikan Polda Sumatera Barat menduga insiden itu terjadi karena banyak instruktur baru. Karena tak punya pengalaman mendidik, mereka menghajar berdasarkan pengalaman waktu ikut pendidikan dulu. Tak heran jika ada instruktur yang suka ringan tangan.Bambang Sujatmoko dan Fachrul Rasyid (Padang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum