INSTITUT Agama Islam Negeri (IAIN) bakal berganti nama dan bentuk menjadi universitas. Paling tidak itulah kira-kira yang dikemukakan Menteri Agama Tarmizi Taher seusai meresmikan gedung Madrasah Aliyah Negeri II Semarang, Jumat dua pekan lalu. Perubahan status itu perlu dilakukan, katanya, guna menghadapi perkembangan zaman. Untuk itu, kata Tarmizi, IAIN Yogya dan Jakarta akan dipersiapkan sebagai proyek percobaannya. Gagasan itu, konon, sudah lama berkembang di lingkungan petinggi Departemen Agama yang mengelola IAIN. Adalah Zamakhsari Dhofier, kini Direktur Perguruan Agama Islam, yang semula melontarkan ide itu beberapa waktu lalu. Kemudian bersambutlah dalam suatu forum evaluasi oleh beberapa rektor IAIN dan pejabat Departemen Agama. "Dirasa perlu dipikirkan untuk mengubah status IAIN menjadi universitas," kata Tarmizi Taher kepada TEMPO. Perubahan bentuk itu dianggap perlu setelah tim pengembangan IAIN seperti Harun Nasution, Atho Mudzhar, Quraish Shihab, dan Dhofier melihat adanya Islamic studies yang bisa berkembang di luar negeri, baik di Timur Tengah maupun di negara-negara Barat. Tim yang membahas proyeksi pengembangan IAIN 25 tahun mendatang itu melihat bahwa untuk menganalisa ketajaman studi Islam, amat diperlukan ilmu pendukung lain seperti sosiologi dan psikologi. Bahkan tak tertutup kemungkinan pendekatan dari ilmu eksakta. Karena itu, Menteri Tarmizi memberikan aba-aba perlunya ada sejumlah fakultas non-agama. Kalau ide itu terwujud, universitas bentuk baru IAIN itu akan menjadi tempat studi agama Islam plus studi bidang umum dengan pendekatan agama. Ini bedanya dengan IAIN, yang menjadi tempat studi agama. Namun, untuk persiapannya, kata Tarmizi, perlu secara bertahap dimulai dengan memasukkan ilmu "umum" dalam studi agama Islam di IAIN yang sekarang ini. Misalnya, studi ilmu ekonomi dan perbankan untuk membahas masalah studi bank syariah. Memang, belum dipastikan kapan "Universitas Agama Islam" itu diwujudkan. Menurut sumber di lingkungan Departemen Agama, kemungkinan IAIN akan "ganti bentuk" pada Pelita ini. Dan menurut Zamakhsari Dhofier, reorientasi, restrukturisasi, dan perubahan status itu memang perlu segera dilaksanakan. Apalagi ia melihat bahwa IAIN mempunyai potensi luar biasa. Paling tidak, kini ada 14 IAIN dengan 90 fakultas, menampung 120.000 mahasiswa. Untuk itu, ia menganggap perlu melengkapi cendekiawan lulusan IAIN dengan ilmu dan teknologi lewat bentuk baru "universitas" tadi. Kalangan IAIN pun gembira menyambutnya. Dr. Simuh, Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, misalnya, menyatakan sudah menyiapkan rencana induk pengembangan untuk beralih menjadi universitas. "Terus terang kami merasa bangga ditunjuk menjadi proyek percontohan beralih status itu," katanya. Sedangkan Quraish Shihab, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengaku perlu waktu dua tahun untuk mempersiapkannya. Bentuknya, kata Quraish, yang menjadi salah satu anggota tim pengembangan IAIN, universitas itu nanti tak seperti Universitas Al-Azhar Mesir yang memiliki fakultas eksakta, atau juga tak mirip Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta yang seperti universitas umum. "Kami tak ingin universitas itu nanti cuma penggabungan umum dan agama, misalnya sekadar ada fakultas agama, pertanian, ekonomi, dan lain-lain. Tapi harus benar-benar menjadi tempat studi, misalnya bagaimana melihat masalah ekonomi dari kacamata Islam," katanya. Prinsip dasar itu, tambahnya, sudah disepakati semua pihak yang ikut menggodoknya. Cuma, katanya, yang belum mencapai kata sepakat adalah soal nama universitasnya sendiri. Tentu, rencana itu disambut gembira para mahasiswanya. Sebab, dengan nama dan bentuk baru itu, mereka berharap pengetahuan dan keahlian yang bakal didapat di "IAIN wajah baru" itu lebih mampu menjawab "tuntutan zaman". Maksudnya, misalnya dalam hal mencari pekerjaan, mereka lebih terbuka masuk ke mana-mana. Yang mereka harapkan tentu tak lagi seperti sekarang, yang terbatas pada bidang pekerjaan yang berkaitan dengan bidang keagamaan. Mungkin yang tak mudah adalah bagaimana mewujudkan ide itu. Menurut Yudian Wahyudi, dosen Fakultas Syariah IAIN Yogyakarta, perlu merekrut sejumlah tenaga pengajar dari luar. Untuk Yogya, misalnya, perlu mengundang dosen dari UGM, UII, atau Universitas Muhammadiyah. "Kami sekarang kan tak punya ahli hukum Islam yang sekaligus pakar matematika dan ahli kedokteran seperti Ibnu Sina," katanya. Mempersiapkan cerdik pandai Islam yang menguasai berbagai ilmu dan keahlian itulah yang diharapkan dari "IAIN wajah baru" nanti. Menteri P dan K Wardiman Djojonegoro sendiri juga senang hati menyambut rencana itu. "Terus terang, bagi saya itu tak soal. Kalau mau mengembangkannya menjadi universitas, itu bagus," katanya kepada TEMPO. Yang penting, mungkin perlu disiapkan secara lebih matang berbagai persyaratan seperti yang ditetapkan Departemen P dan K untuk menjadi suatu universitas, misalnya jumlah dosen, fasilitas, serta kurikulum walau masih di bawah asuhan Departemen Agama. Itu semua, kiranya, yang kini tengah disiapkan.Agus Basri, Wahyu Muryadi (Jakarta), dan Heddy Lugito (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini