Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Mengapa Di Jawa Barat Ribut

Berita "penelitian kegadisan" & bocornya tes diagnostik untuk menjatuhkan kumpul Murtadji sebagai pejabat kepala kantor wilayah Dep. P & K Ja-Bar, Bandung. (pdk)

6 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH pendidikan yang paling ribut di akhir tahun 1978 agaknya terjadi di Jawa Barat. Ada heboh "penelitian keperawanan". Belum itu reda, bocor pula tes diagnostik. Itu terjadi justru baru dalam 3 bulan masa jabatan Kumpul Murtadji sebagai Pj. Kepala Kantor Wilayah Departemen P&K Jawa Barat di Bandung. Sejak Oktober lalu ia menggantikan Tauddin Iskandar, yang kini ditugasi mengikuti Sespa (Sekolah Staf dan Pendidikan Administrasi) di Jakarta selama 3 bulan. Ada desas-desus tersiar di kalangan para guru di Bandung, bahwa berita "penelitian kegadisan" dan bocornya tes diagnostik itu sengaja dilancarkan untuk menjatuhkan Kumpul Murtadji. Tapi juga ada yang menduga sebagai akibat dari ketidakserasian antara pihak Kanwil dengan PGRI Jawa Barat -- konflik yang memang sudah lama terjadi sebelum Kumpul duduk di sana. Tauddin sendiri mengakui, ketidakserasian itu sudah muncul 5 tahun lalu, ketika pertama kali ia diangkat sebagai Ka Kanwil. "Ketika itu saya mengemban missi untuk mendudukkan proporsi PGRI. Sejak dulu PGRI Jawa Barat terlalu dominan, banyak mempengaruhi soal kepegawaian terutama pengangkatan guru," katanya. Ia menghendaki dibedakannya tugas-tugas kedinasan dengan soal-soal organisasi. Pihak PGRI kabarnya pernah mengecam Tauddin sebagai pimpinan Kanwil yang otoriter. Tapi antara keduanya memang terdapat perbedaan pandangan. Tauddin menilai, pendidikan di Jawa Barat merosot dibanding wilayah lain. Sebaliknya PGRI berpendapat, betapa pun buruknya toh masih ada segi-segi yang positif. Berhasilkah Tauddin dengan missinya? "Sampai sekarang nol," katanya pekan lalu. "Saya menghadapi batu karang. Tapi saya juga tidak akan mundur," tambahnya. Ia juga menyatakan bahwa setelah 3 bulan mengikuti Sespa, akan kembali ke Bandung sebagai Ka Kanwil. Tapi sumber di Departemen P&K menegaskan bahwa Tauddin akan mendapat jabatan lain. Kumpul Murtadji, Pj. Ka Kanwil P&K Jawa Barat yang sekarang, menyatakan bertugas merukunkan orang-orang Kanwil dengan PGRI (lihat: Wawancara). Yang jelas, ketua PGRI Jawa Barat, Wuryo Syukanda -- Direktur SMA Negeri II dan anggota DPRD Jawa Barat-karena masa jabatannya sudah habis, digantikan oleh Taman Sastradikarna, Penilik SD dan bekas ketua DPRD Kotamadya Bandung. Pungli Itu Soal lainnyaj yang juga sudah muncul di masa jabatan Tauddin adalah soal pungli. Sampai-sampai bulan September lalu, sebuah tim Opstib turun juga ke sana. Tapi Tauddin mengakui pungutan tersebut, "terutama di kalangan guruguru SD." Tapi ia mengatakan itu bukan urusannya. SD, termasuk gaji guru, memang bukan urusan Kanwil, tapi Dinas P&K. "Pungutan itu begitu sering terjadi karena Dinas P&K memang tak punya biaya. Dan Pemerintah Daerah yang membawahinya tidak menyediakan dana itu," kata Tauddin. Cuma ia heran mengapa semua soal pendidikan selalu dialamatkan ke Kanwil. Padahal soal gaji guru yang dipungli misalnya, adalah urusan Dinas P&K. Bagi Taman Sastradikarna, ketua PGRI Jawa Barat, kemungkinan pungli itu lantaran ketatnya birokrasi di Dinas P&K. "Untuk mengurus besluit misalnya, terpaksa melalui beberapa tingkat," katanya. Karena itu ia juga mengakui perlunya penarikan iuran oleh PGRI bagi para guru di beberapa daerah yang jumlahnya tidak seragam, "untuk mengurus besluit ke pusat." Tapi mengapa PGRI sampai mengurus pula soal-soal seperti itu? "Sebagai oranisasi profesi, PGRI memang tidak dibenarkan mengurus kesejahteraan," jawabnya. "Tapi jangan lupa, anggota PGRI kan juga manusia yang tak lepas dari usaha menyejahterakan diri," tambahnya. Pungli itu misalnya juga dalam hal mengurus tunjangan jabatan kepala SD. Djadja misalnya, salah seorang kepala Sl) di Jawa Barat, mengeluh lantaran tunjangan jabatannya masih Rp 60 ribu lagi yang belum diterimanya. Mestinya setiap kepala SD menerima tunjangan jahatan Rp 10 ribu sebulan. Uang itu dari pusat, disalurkan lewat Dinas P&K. Untuk tahun 1977/1978, baru 18% yang turun, kekurangannya dibayar oleh Pemerintah Daerah. Kabarnya sudah didrop tapi entah nyangkut di mana. Dalam hal pengangkatan atau kenaikan pangkat guru pun terjadi pungli. Yang seharusnya bisa selesai 6 bulan tiga tahun baru beres. "Dan untuk kenaikan pangkat, punglinya Rp 50 ribu," kata seorang guru SD.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus