Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Relawan Alap-Alap Jokowi atau AJJ menuai perhatian setelah memasang baliho bergambar Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan Iriana baru-baru ini di Jalan Adi Sucipto, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Dalam baliho tersebut, Kepala Negara dan Ibu Negara yang lekas purnatugas itu disebut sebagai guru bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Terima kasih Pak Jokowi & Bu Iriana. Teruslah menjadi Guru Bangsa. Doa kami selalu...” demikian bunyi tulisan dalam Baliho yang terletak di bilangan lahan rumah pensiunan Jokowi ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Umum Relawan Alap-Alap Jokowi, Muhammad Isnaini, mengakui bahwa baliho Jokowi tersebut dipasang oleh pihaknya. Isnaini menjelaskan pemasangan baliho tersebut sebagai ungkapan terima kasih kepada Jokowi dan Iriana. Menurut Isnaini, pihaknya merasa terhormat menjadi relawan Jokowi.
“Hanya ucapan terima kasih karena kebanggaan kami,” kata Isnaini kepada Tempo saat dimintai konfirmasi tentang pemasangan baliho Jokowi itu, Jumat, 4 Oktober 2024.
Alap-Alap Jokowi atau AJJ merupakan sebutan untuk relawan kelompok pendukung Jokowi yang aktif membela dan mempromosikan kebijakannya. Relawan ini juga dikenal dengan ideologinya yang disebut “Jokowisme”. Belakangan diketahui visi mereka termasuk menyuarakan ideologi ini.
Hal itu terungkap saat musyawarah nasional (Munas) yang pertama mereka yang digelar di Karanganyar, Jawa Tengah, Sabtu, 27 Juli 2024 lalu. Dalam agenda yang juga dihadiri dan dibuka Presiden Jokowi ini, selaku patron organisasi, AJJ memperkenalkan ideologi Jokowisme sebagai visi organisasi.
“Munas ini bukan sekadar seremonial. Kami sangat serius mengelola jaringan relawan dengan meletakkan ideologi Jokowisme, yakni ideologi kebangsaan yang mengandung nilai-nilai keteladanan kerja untuk rakyat,” kata Isnaini kala itu.
Apa Itu Jokowisme?
Dilansir dari Jurnal Alharakah dalam publikasi bertajuk Jokowism Between Political Ideology And Metaphors Of Power In Political Polarization In Indonesia, Jokowisme merupakan istilah yang merujuk pada fenomena politik yang terkait erat dengan gaya kepemimpinan dan popularitas Jokowi.
Wahyu Wiji Utomo dalam studinya ini menyebutkan Jokowisme mencerminkan identifikasi masyarakat terhadap Jokowi dan citra kepemimpinannya. Dengan ungkapan “Jokowi is me”, berarti menunjukkan dukungan dan identifikasi pribadi terhadap presiden. Pada dasarnya, ini adalah suatu konsep yang mencirikan dominasi dan pengaruh politik yang kuat yang dimiliki oleh Jokowi.
“Jokowisme juga mencerminkan sejauh mana presiden tersebut diidentifikasi dengan kebijakan dan program pemerintahannya. Ini tidak hanya sekadar tentang kehadiran fisik Jokowi di panggung politik, tetapi juga tentang bagaimana citra dan narasi politiknya memengaruhi opini publik dan dinamika politik di Indonesia,” tulis Wahyu.
Secara lebih pribadi, “Jokowi is me” mengekspresikan dukungan dan identifikasi seseorang terhadap Jokowi dan gaya kepemimpinannya. Ungkapan ini mengindikasikan bahwa seseorang merasa memiliki afinitas yang kuat terhadap Jokowi. Mungkin karena pandangan positif terhadap kebijakan yang diimplementasikannya atau koneksi emosional dengan gaya kepemimpinannya.
Menurut Wahyu, Jokowi menciptakan fenomena yang dikenal sebagai “Jokowisme” berkat popularitasnya yang terbentuk melalui kemampuannya menghadapi tantangan dan krisis dengan kepala dingin. Sikapnya yang dinilai pragmatis dan fokus pada hasil nyata telah meraih dukungan luas dari berbagai lapisan masyarakat.
Jokowisme disebut tidak hanya mencakup prestasi dan kebijakan, tetapi juga membangun narasi kepemimpinan yang mendedikasikan diri untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Jokowisme mencakup kumpulan nilai, gagasan, dan karakteristik kepemimpinan yang dihubungkan dengan Jokowi, yang melampaui kebijakan atau platform politik tertentu.
Disadur dari publikasi Antara Keturunan dan Kepemimpinan: Menilik Dinasti Politik Kota Makassar Melalui Lensa Antropologi Politik Dalam Konteks Calon Pemimpin Daerah dalam Jurnal Socia Logica, di sisi lain Jokowisme, seolah menjadi simbol politik, sebenarnya bukanlah metafora kekuasaan yang dapat dengan mudah dijelaskan atau ditempatkan dalam kerangka tertentu.
Analisis yang kritis mengungkap bahwa Jokowisme lebih merupakan konsep politik yang kontroversial daripada metafora yang jelas. Pernyataan ini muncul dari sudut pandang bahwa fenomena ini sebenarnya lebih bersifat delusional, menciptakan ilusi tentang perpanjangan dinasti politik yang menguntungkan kelompok tertentu.
Sisi Negatif Jokowisme
1. Absennya dasar konseptual
Jokowisme tidak memiliki dasar konseptual yang jelas atau panduan ideologis. Sebaliknya, fenomena ini terasa lebih seperti kesetiaan yang sangat personal terhadap sosok Jokowi tanpa memandang secara kritis kebijakan atau visi politik yang diusungnya. Kekurangan landasan ideologis ini menjadikan Jokowisme lebih sebagai ikon personal daripada gerakan politik yang kohesif.
2. Potensi perpanjangan politik dinasti
Kritikus Jokowisme menyoroti potensi perpanjangan politik dinasti sebagai dampak dari fenomena ini. Dalam perspektif ini, Jokowisme tidak hanya menciptakan kesetiaan terhadap Jokowi tetapi juga membuka pintu bagi dominasi politik yang berkepanjangan oleh kelompok tertentu yang terafiliasi dengannya.
3. Delusi politik
Terminologi delusional politik muncul karena Jokowisme kadang-kadang menciptakan ilusi tentang keberhasilan mutlak dan kehebatan tanpa mempertimbangkan secara kritis kebijakan dan tindakan pemerintah. Kelebihan pujian terhadap sosok pemimpin dapat memunculkan distorsi dalam penilaian objektif terhadap kebijakan yang diimplementasikan.
4. Menguntungkan beberapa pihak saja
Kritik terhadap Jokowisme juga menyoroti bahwa fenomena ini cenderung menguntungkan beberapa pihak saja, khususnya kelompok atau individu yang dekat dengan kekuasaan. Sebagai hasilnya, kebijakan yang diambil mungkin lebih bersifat selektif, meninggalkan kebutuhan dan aspirasi sebagian masyarakat.
5. Kehilangan Keterbukaan dan Kritisisme
Kesetiaan yang sangat kuat terhadap Jokowisme dapat menghambat keterbukaan dan kritisisme terhadap pemerintah. Masyarakat yang terlalu terpaku pada konsep ini mungkin enggan atau takut untuk mengajukan pertanyaan yang kritis, menghancurkan dasar demokrasi yang seharusnya mengedepankan partisipasi dan dialog yang sehat.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | SEPTIA RYANTHIE | MICHELLE GABRIELA | ANTARA