Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pada 1997, Indonesia mengalami krisis moneter yang tidak kunjung surut sampai 1998. Akibatnya, mahasiswa seluruh Indonesia dengan dukungan dari tokoh intelektual kritis mulai merapatkan barisan untuk menuntut reformasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu peristiwa aksi mahasiswa unjuk rasa terjadi di Yogyakarta yang dikenal dengan Peristiwa Gejayan atau Tragedi Yogyakarta. Peristiwa berdarah tersebut terjadi pada 8 Mei 1998 di pertigaan antara Jalan Gejayan dan Jalan Colombo, tepatnya di depan Hotel Radisson. Mahasiswa yang bersatu dengan masyarakat menyuarakan beberapa tuntutan, yaitu peningkatan kondisi perekonomian karena krisis moneter, penolakan Soeharto sebagai presiden kembali, dan menurunkan harga bahan pokok. Segala lapisan masyarakat kala itu hanya ingin melahirkan reformasi.
Merangkum p2k.stekom.ac.id, ironisnya, aksi unjuk rasa tersebut tidak berjalan damai. Sebab, aparat keamanan tidak mengizinkan rombongan mahasiswa Universitas Sanata Dharma (USD) dan IKIP Negeri bergabung dengan mahasiswa lainnya yang sudah berkumpul di UGM. Akibatnya, ketegangan antara mahasiswa dan aparat pun tidak bisa diredupkan.
Aparat keamanan menyerang dengan menggunakan gas air mata dan kekerasan fisik, pihak mahasiswa dan masyarakat pun menyerang balik menggunakan pukulan dengan batu. Dampak dari demonstrasi berdarah ini adalah banyak orang yang mengalami luka ringan, luka berat, dan meninggal. Satu-satunya mahasiswa yang meninggal dunia dalam peristiwa ini adalah Moses Gatutkaca.
Profil Moses Gatutkaca
Moses Gatutkaca adalah mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam USD yang tewas dalam demonstrasi menuntut turunnya Presiden Soeharto pada 8 Mei 1998. Ia meninggal setelah kepalanya luka oleh pukulan benda tumpul. Saat itu, Moses yang sedang melintasi aksi demonstrasi ricuh itu, dihajar oleh aparat keamanan lantaran diduga sebagai massa demonstran, sampai akhirnya meninggal.
Merujuk p2k.unkris.ac.id, saat aksi demonstrasi berdarah berlangsung, sebelum Moses meninggal, sebagian kecil warga setempat tidak berani keluar rumah ketika malam. Rasa takut tersebut semakin bertambah ketika mengetahui adanya korban salah sasaran oleh aparat. Lalu, saat diketahui seorang mahasiswa bernama Moses meninggal dunia, masyarakat Yogyakarta ikut berduka. Saat jenazah ingin dikebumikan, ada banyak orang yang ikut mengantarkan.
Moses ditemukan sekarat oleh beberapa mahasiswa dari posko PMI USD, usai aparat melakukan pembersihan di daerah bentrokan sekitar hotel Radisson Yogyakarta. Moses ditemukan tergeletak di jalan dengan kondisi tangannya patah menelikung ke belakang dan kepalanya mengalami luka parah. Dari telinga dan hidungnya darah segar terus menerus mengalir.
Dengan ambulans, ia langsung dibawa ke Rumah Sakit (RS) Panti Rapih sekitar pukul 21.55 WIB, tetapi dalam perjalanannya, nyawanya sudah tidak tertolong. Berdasarkan hasil visum korban RS Panti Rapih menyatakan korban mengalami pendarahan telinga dan mulut karena merasakan retak dalam tulang dasar tengkorak.
Lalu, dari dompetnya ditemukan identitas KTP dan SIM C atas nama Moses Gatutkaca. Pemuda kelahiran Banjarmasin yang diketahui tinggal di Gang Brojolamatan nomor 9A, Mrican, Yogyakarta. Tempat tinggalnya selama di Yogyakarta tidak jauh dari kampus USD dan berada di wilayah Gejayan. Pembantu Rektor III Universitas Sanata Dharma, G. Sukadi dan seorang dosen, YR. Subakti serta Romo Broto Wiyono SJ melayat Moses sekitar pukul 00.15 WIB di RS Panti Rapih. Ketiganya mengidentifikasi Moses sebagai mahasiswa USD.
Untuk menghormati Moses Gatutkaca yang telah gugur dalam Peristiwa Gejayan menuntut reformasi, sejak sejak 20 Mei 1998, perlintasan Jalan Kolombo Yogyakarta diubah namanya menjadi perlintasan Moses Gatutkaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.