KITA ini memang perlu cuci otak, untuk memahami ajaran Islam yang sebenarnya tentang negara." Ini dikatakan oleh K.H. Achmad Siddiq, rais am PB Nahdatul Ulama, di tingkat tujuh Hotel Wisata Internasional, Jakarta, Kamis pekan lalu. Di tengah seminar dua hari tentang agama dan Pancasila ini, yang diselenggarakan oleh Badan Litbang Departemen Agama sesepuh organisasi besar Islam ini terasa paling mencolok oleh topik pembicaraannya yang "paling tajam". Ia boleh dikatakan menjelaskan secara lebih terinci - dengan dalil-dalil - sikap NU mutakhir tentang Pancasila, Islam, dan negara, yang sudah lebih dulu tersiar. Misalnya Deklarasi Situbondo, 21 Desember 1983, yang antara lain menyebutkan bahwa penerimaan dan pengamalan Pancasila "merupakan perwujudan dari upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya". Atau, seperti dicantumkan dalam pernyataan Rais Am kepada Presiden, Februari lalu. Bahkan pernyataan itu menyebutkan bahwa negara Republik Indonesia merupakan "bentuk upaya final seluruh nasion (Indonesia) terutama kaum muslimin". Sebuah gerbang sudah ditutup, dengan begitu. Yakni gerbang untuk berbagai keinginan yang sering terdengar sekitar negara Islam, pemerintahan Islam, dan semacamnya. Dan kemudian Kiai Siddiq datang ke forum, siap berdiskusi. Inilah, memang, pertama kalinya seorang rais am NU muncul di sebuah seminar, dengan makalah tertulis, di tengah 40-an hadirin dan pembawa makalah, yang antara lain terdiri dari Dr. Roeslan Abdulgani, Abdurrahman Wahid, Dr. Nurcholish Madjid, A. Dahlan Ranuwihardjo, Endang Saifuddin, Anshari, M.A., Dr. Kuntowidjojo, dan Dr. Alfian. Dan, dari mereka itu, sama sekali tidak ada bantahan untuk makalah Kiai Siddiq. H.A. Azhar Basyir, tokoh yang dikenal berada di lingkungan pimpinan Muhammadiyah, bahkan menyajikan makalah yang "menguji" sila-sila Pancasila itu dari sudut Islam, dan kemudian membenarkan ucapan Bung Karno bahwa "tidak ada sila-sila dalam Pancasila yang bertentangan dengan agama (Islam)". Alias selaras belaka dengan Kiai Siddiq. Bedanya: sarjana syariah dari Universitas Darul Ulum Kairo itu membatasi dirinya untuk tidak membicarakan kemungkinan perbandingan Pancasila dan Islam sebagai ideologi. Kiai Siddiq sebaliknya memisahkan benar antara agama, yang berdasarkan wahyu dan bersifat universal, dan ideologi manusia itu. "Seorang pemeluk agama (Islam) boleh saja berfilsafat, berideologi, berbudaya, berdasar negara, dan sebagainya," katanya, asal tidak bertentangan dengan ajaran agamanya. Sedangkan Pancasila, sebagai ideologi, bukan saja tidak bertentangan. Malahan, seperti dinyatakan baik oleh Deklarasi Situbondo maupun Ahmad Azhar, memancarkan tauhid. Yakni dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, yang - bila dilihat dari sejarah kelahiran UUD - disebut "Ketuhanan Yang Maha Esa" untuk mengimbangi tujuh kata dalam Piagam Jakarta, yang waktu itu dicoret. Tak heran bila Kiai Siddiq, dalam seminar, membuat permisalan: bila sila pertama dapat dianggap pencerminan aamanuu (beriman, sebuah kata dari Quran), empat sila berikutnya dapat dianggap pasangan kata aamanuu itu: 'amilush shaalihaat (beramal kebajikan). Tak heran pula bila Menteri Agama, pada kesempatan pembukaan seminar, menyatakan "bisa mengerti" pada keyakinan bahwa Pancasila adalah rumusan tata nilai kenegaraan "yang kita temukan dalam ajaran Islam dalam situasi di Indonesia". Itulah sebabnya NU merasa "berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni", kata deklarasi itu. Itulah pula mengapa pernyataan Rais Am kepada Presiden menyebut kewajiban bagi umat Islam untuk menurut kepada "wujud, asas, dan hukum dasar negara sebagaimana ditetapkan dalam kesepakatan". Sebab, memenuhi perjanjian adalah wajib, menurut agama. Karena itu pula. begitu negara RI diproklamasikan sebagai hasil paling pokok kesepakatan yang dimaksud, tak boleh lagi ada pemberontakan. Seperti dikatakan Kiai Siddiq di rumah K.H. Masjkur, tempatnya tinggal di Jakarta, "pemberontakan kepada RI dihukumi sebagai bughat - dan halal ditumpas". Bukankah pada akhir Oktober 1945, sesudah Proklamasi, NU mengeluarkan "Resolusi Jihad" membela negara seiring dengan dibentuknya badan-badan seperti Hizbullah dan Sabilillah? Bukankah, juga, Departemen Agama pernah mengumpulkan para ulama "dari berbagai aliran", kata Kiai Masjkur, menteri agama waktu itu, yang berhasil mengeluarkan "mandat" kepada Bung Karno sebagai waliyul amridh dharuriy bisy syaukah, untuk menumpas DI, setelah usaha-usaha pendekatan tidak berhasil? Dan bukankah NU, yang dahulu sering disindir sebagai "bisa bermesraan dengan PKI dalam Nasakom", tetap tidak keluar dari kesetiaan kepada RI karena negara ini, betapapun, waktu itu belum negara komunis? Baiklah. Yang jelas, kesetiaan kepada negara - yang oleh fiqih klasik ditubuhkan dalam figur kepala negara - ada dalilnya. Seperti dicantumkan dalam lampiran pernyataan Rais Am kepada Presiden itu, hadis Nabi menekankan kepatuhan itu - yang hanya diberi syarat: asal si penguasa tidak memerintahkan kekafiran atau maksiat terang-terangan. Hadis lain, yang berbicara tentang kepala negara yang zalim atau berbuat mungkar, tetap melarang orang memerangi penguasa itu - "selama ia masih menegakkan salat", kata Nabi. Tidak, semua ini bukan sekadar pembenaran politis. Bila dilihat bahwa dasar pikiran kalangan NU adalah kitab klasik seperti Al Ahkamus Sukhaniyah, atau boleh ditambah Dalailul Falihin, Fat-hul Mu'in, dan sebangsanya, bisa disadari bahwa masalah khilafah atau pemerintahan dalam Islam pada mereka memang berbeda dari yang menurut buku-buku yang dikarang sesudah munculnya Jamaluddin Al Afghani pada pergantian abad-abad XIX dan XX - yang membangkitkan kesadaran politik dunia Islam. Bukti bahwa masalah politik Islam itu sendiri sebenarnya hal baru dikatakan oleh Kiai Siddiq: yang agaknya pertama menggalinya, alias merangkumnya dari keadaan yang sampai waktu itu sebenarnya masih sepotong-sepotong, adalah Abdul Wahhab Khallaf, dalam bukunya As Siasatusy Syar'iyah, 1923. Dalam kitab yang juga diajarkan Kiai Siddiq di pesantrennya itu, Khallaf, yang menginginkan bisa menegakkan politik Islam sebagai disiplin tersendiri, menggambarkan betapa sulitnya usaha itu. Toh tidak seluruh dunia Islam yang terkena bisa menerima semangat Afghani: kitab-kitab kuning itu, yang justru merupakan refleksi pengalaman sejarah lebih dari 10 abad, tidak lantas hilang. Kiai Siddiq sendiri, untuk penilaiannya kepada Afghani, sejalan jasa Afghani membangkitkan dunia Islam melawan penjajah, di tangan Afghani dan para pengikutlah agama direduksi menjadi sekadar ideologi - sebagai, betapapun, alat bagi cita-cita politik tertentu. Pan-Islamisme sendiri, pusat cita-cita Afghani, dalam kenyataan lebih merupakan inspirasi yang menggugah dibanding kemungkinan yang realistis. Inilah Juga, barangkali saja, satu sebab mengapa cita-cita ummatan ahidah (umat yang satu) seperti yang dimiliki Ayatullah Khomeini sering kelihatan musykil. PAN-ISLAMISME, di bawah satu khalifah, itu sebenarnya tidak ada. Dan khalifah itu boleh ada di mana-mana." Ini kata-kata sang rais am NU di rumah Kiai Masjkur. Sejajar dengan itu, "Pengertian kesatuan umat itu ialah pada ukhuuah-nya, solidaritasnya." Tapi keyakinan seperti itu sebenarnya juga ada pada Ibnu Taimiyyah, tokoh pembaru abad ke-14 Masehi yang secara formal bukan anutan kalangan NU, melainkan Muhammadiyah. Walaupun Ahmad Azhar, yang dari Muhammadiyah, tidak membicarakan teori atau konsep kenegaraan menurut Islam, pada Ibnu Taimiyyah sebenarnya jelas: ia bisa menerima berbagai amir atau khalifah yang de facto menguasai satu wilayah, "asal semuanya menjalankan syariat Islam". Itulah pula mengapa kaum Wahhabi, pengikutnya di Saudi, tumbuh dan tegak justru lewat kerja sama dengan pembangun dinasti Saud di abad ke-17. Alias dengan raja dari keluarga atau kabilah. Orang tak tahu apa nasib Pan-Islamisme - termasuk yang dari Iran - di masa depan yang panjang. Orang juga tak tahu apakah penafsiran ajaran Islam klasik mengenai pemerintahan yang hampir - katakanlah menyerahkan segala-galanya kepada penguasa tidak akan menyebabkan agama hanya menjadi teman kongkow para pejabat, seperti di Eropa Abad Pertengahan atau Rusia pra-Revolusi. Tetapi, memang, dalam sejarah Islam kalangan ulama hampir selalu merupakan pihak oposan para amir dan sultan, meski tanpa senjata. Juga sebelum Al-Afghani. Syu'bah, Laporan Musthafa Helmy (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini