BANYAK mata dan harapan pekan ini ditujukan ke suatu gedung
berlantai tiga di Kebayoran Baru, Jakarta. Kamis ini dimulai
sidang Mahkamah Pelayaran (MP) untuk memeriksa musibah kapal
Tampomas II yang terjadi akhir Januari lalu.
Perhatian yang besar itu wajar. Musibah Tampomas II merupakan
kecelakaan laut terbesar di Indonesia sekitar 800 orang
penumpang diperkirakan tewas. Apa yang menjadi penyebab
kebakaran? Mengapa korban begitu banyak?
Masih banyak lagi pertanyaan yang bisa diajukan. Pers dan banyak
anggota DPR juga mempersoalkan prosedur pembelian kapal Tampomas
II yang dianggap menyimpang. Soal harga maupun perlengkapan
kapal serta kelaikannya turut juga dimasalahkan.
Akan terjawabkah semua pertanyaan tadi dalam sidang Mahkamah
Pelayaran nanti? Ketua Mahkamah Pelayaran Tardana Surahardja
mengatakan pada TEMPO Senin lalu, yang akan dijawab MP adalah
sebab tenggelamnya Tampomas II dan kenapa banyak korban yang
jatuh. Mengenai kemungkinan kesalahan pembelian "Kami hanya
mengurusi keadaan atau kondisi teknis kapal itu dan tidak
mempersoalkan kenapa harganya dianggap mahal, kata Tardana.
(baca box).
Yang menunggu jawaban pertanyaan tadi rupanya tidak hanya
masyarakat Indonesia. Musibah Tampomas II yang merupakan
kecelakaan laut terbesar dalam 10 tahun terakhir ini merupakan
berita besar dan telah menarik perhatian internasional.
"Kami ingin memperoleh hasil pemeriksaan Mahkamah Pelayaran
Indonesia," kata Hubert T. Blomquist dari Kesatuan Keamanan
Pantai (Coast Guard) Amerika Serikat pada harian The Christian
science Monitor akhir Januari lalu. Menurut dia, nilai laporan
itu buat organisasinya berguna untuk mengukur standar Amerika
buat kapal Amerika serta untuk membantu prosedur pemeriksaan
pada kapal asing.
Menurut Blomquist, standar keselamatan pelayaran yang lebih
tinggi saat ini banyak disebabkan oleh terjadinya kecelakaan.
Tenggelamnya kapal Titanic pada 1912 telah melahirkan
International Ice Patrol. Biro Penyelidikan Laut dan Navigasi
AS sendiri lahir setelah kecelakaan kapal Morro Castle pada 1934
yang menimbulkan korban hampir 500 orang.
Apakah tragedi Tampomas II juga akan mendorong kita memperketat
pengawasan pada keselamatan pelayaran? Jawabannya agaknya entah.
Sebab bukan rahasia lagi bahwa di sini faktor keselamatan itu
diabaikan dan banyak peraturan yang secara sadar dilanggar.
Telah banyak "teori" diajukan mengenai penyehat. kebakaran
Tampomas II. Begitu juga mengenai banyaknya korban yang jatuh.
Mungkin sebagian atau semuanya bisa terungkap dalam sidang MP
nanti. Namun beberapa fakta telah tersingkap.
Antara lain: Tampomas II telah berlayar dengan jumlah perwira
kapal yang tidak lengkap, misalnya tidak ada Markonis I.
Perlengkapan kapal, khususnya peralatan keselamatan, tidak
memadai -- bahkan diabaikan. Misalnya aki untuk peralatan radio
tidak bisa dipakai. Sejak mulai dioperasikan sampai kapal
tenggelam, belum pernah di Tampomas II dilakukan latihan
menghadapi bahaya kebakaran -- termasuk juga latihan menurunkan
sekoci. Akibatnya waktu terjadi kebakaran ada sekoci yang macet
waktu akan diturunkan. Alat pemadam otomatis (sprinkle) juga
belum pernah dicoba. "Kalau peralatan itu dicoba kapal harus
kosong dari penumpang. Mana hal itu mungkin kalau waktu berlabuh
hanya empat jam," kata seorang ABK Tarmpomas II pada TEMPO.
Sumber kebakaran dipastikan adalah di dek mobil walau
penyebabnya belum jelas. Namun jumlah korban yang banyak mungkin
sekali disebabkan karena banyak penumpang yang terkurung api.
Mereka diduga tidak bisa keluar dari dek penumpang menuju dek
sekoci karena terhalang tiga pintu berterali besi yang selalu
tergembok. Suatu sumber menjelaskan, ketiga pintu itu belum ada
waktu kapal dibeli dari Jepang, jadi baru dipasang di Jakarta.
Menurut kesaksian banyak penumpang yang selamat, karena pintu ke
dek sekoci yang terletak di bagian atas kapal terkunci, mereka
terpaksa memanjat sisi-sisi kapal. Banyak penumpang yang panik
dan jatuh ke laut dalam usaha ini.
Beberapa ABK menjelaskan, tatkala kebakaran menjadi-jadi,
Kerani II Leo Ticoalu diperintahkan untuk membuka pintu-pintu
besi itu dan kalau perlu merusaknya agar penumpang bisa lari
menuju dek sekoci. Namun melihat kenyataan banyak penumpang yang
terpaksa memanjat dinding kapal, bisa dipersoalkan apakah
perintah itu tidak terlambat diberikan. Kunci-kunci pintu
berterali besi itu disimpan di anjungan.
Soal kelaikan laut Tampomas II juga menjadi pertanyaan. Ada 10
sertifikat yang diperlukan, tiga di antaranya: Sertifikat Kelas
Lambung, Kelas Mesin serta Lambung Timbul dikeluarkan oleh Biro
Klasifikasi Indonesia (BKI). Tujuh sertifikat lainnya, antara
lain Sertifikat Keselamatan dan Sertifikat Penumpang dikeluarkan
oleh Direktorat Pelayaran dan Perkapalan Ditjen Perla.
Menurut penjelasan Menteri Perhubungan Roesmin Noerjadin di DPR,
Tampomas II memiliki lengkap ke-10 sertifikat tersebut. Demikian
juga berkali-kali ditegaskan, sewaktu kapal dibeli, semua
perlengkapan dan peralatan dalam keadaan baik. Namun belakangan
ini muncul laporan yang meragukan hal itu.
Perkara pelayaran bisa menjurus ke pidana atau perdata, hingga
mungkin hal itu bisa dilanjutkan di pengadilan negeri. Bahkan
biasanya keputusan MP dijadikan dasar untuk penuntutan pidana
atau gugatan perdata.
Apakah perkara Tampomas II akan menjurus ke sana, itu belum
jelas. Dari DPR pekan lalu telah muncul beberapa suara yang
keras. Anggota F-PDI Sabam Sirait misalnya telah menghimbau
Jaksa Agung untuk mengusut semua pejabat yang terlibat dalam
pembelian Tampomas II. Sedang Rachmat Muljomiseno dari F-PP
tidak jauh berbeda pendapatnya. "Kasus Tampomas II tidak akan
dapat diselesaikan secara tuntas oleh Mahkamah Pelayaran,"
katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini