Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DESAKAN untuk mengevaluasi penggunaan senjata api oleh aparat keamanan mengemuka setelah sejumlah insiden penembakan yang melibatkan anggota TNI dan Polri terjadi dalam kurun waktu terakhir dan menuai perhatian publik. Kasus penembakan terbaru terjadi pada Kamis, 2 Januari 2025, terhadap bos rental mobil di Rest Area KM 45 Tol Tangerang-Merak, Banten, yang dilakukan oleh anggota TNI Angkatan Laut.
Beberapa kasus penembakan yang dilakukan aparat Polri sebelumnya terjadi di berbagai daerah. Di antaranya, kasus polisi tembak polisi di Polres Solok Selatan, Sumatera Barat, 22 November 2024. Lalu insiden penembakan yang dilakukan anggota Polrestabes Semarang kepada seorang siswa SMK di Semarang pada 24 November 2024.
Kemudian terjadi insiden penembakan oleh personel Polresta Palangka Raya terhadap warga sipil asal Banjarmasin yang mengakibatkan korban meninggal pada 27 November 2024.
Komisi III DPR: Aturan Penggunaan Senjata Api Aparat Harus Ditinjau Ulang
Wakil Ketua Komisi III DPR Sari Yuliati menilai aturan tentang penggunaan senjata api oleh aparat keamanan harus ditinjau ulang menyusul sejumlah insiden penembakan oleh anggota TNI dan Polri dalam beberapa waktu terakhir.
Politikus Partai Golkar ini memandang perlu adanya pemeriksaan kondisi psikologis aparat secara berkala untuk mencegah penyalahgunaan senjata api.
“Aturan tentang pemegang senjata api sepertinya harus ditinjau ulang. Misal, pemegang senjata api harus menjalani serangkaian tes secara berkala, termasuk tes psikologi yang rentang waktunya tidak terlalu lama,” kata Sari dalam keterangan yang diterima di Jakarta pada Rabu, 8 Januari 2025, seperti dikutip Antara.
Dia menuturkan hal tersebut perlu dilakukan karena tantangan dan tugas yang diemban oleh aparat keamanan sangat berat, yang kemungkinan bisa mempengaruhi pula aspek psikologis.
Meski demikian, dia mengajak publik melihat secara berimbang bahwa lebih banyak aparat keamanan yang mematuhi standar operasional prosedur (SOP) penggunaan senjata api ketimbang yang melakukan pelanggaran.
“Biar fair ya, bahwa kita melihat persoalan harus clear untuk perbaikan ke depannya, bukan niat yang lain,” ujarnya.
Menteri HAM Natalius Pigai: Diperlukan Evaluasi Total Penggunaan Senjata Api
Sementara itu, Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai mengatakan kementeriannya sudah berkirim surat ke Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengevaluasi penggunaan senjata anggota mereka.
Sebelumnya, Pigai menyoroti maraknya penembakan yang dilakukan aparat keamanan beberapa waktu belakangan ini. Dia pun meminta TNI dan Polri mengevaluasi penggunaan senjata api.
“Satu dua hari ini kirim surat ke Panglima TNI dan Kapolri. Mungkin juga ke Perbakin (Persatuan Menembak Indonesia) untuk mempertimbangkan masukan dari masyarakat dalam rangka pencegahan,” kata Pigai saat dihubungi Tempo, Rabu.
Pigai menyayangkan maraknya kasus penembakan di luar hukum dalam waktu berdekatan, terutama dilakukan oleh aparat keamanan dan pertahanan. Kasus yang disoroti Pigai, antara lain, tertembaknya Kepala Dinas Perhubungan Kota Jayapura, penembakan pengacara di Bone, dan terbaru adalah kasus penembakan bos rental mobil di Rest Area KM 45 Tol Tangerang-Merak, Banten, oleh anggota TNI AL.
Dia menjelaskan penggunaan senjata oleh aparat maupun masyarakat sipil diikat dengan ketentuan dan aturan yang sangat ketat, termasuk prosedur penggunaannya.
“Artinya ada aspek legalitas dan prosedur yang dilanggar sehingga bukan saja pengetatan yang diperlukan, tetapi evaluasi total. Penggunaan senjata secara tidak bertanggung jawab jelas menjadi ancaman bagi Hak Asasi Manusia dan juga ancaman bagi stabilitas sosial,” kata Pigai.
Munculnya kasus-kasus penembakan ini, kata dia, bukan saja menimbulkan ketakutan bagi masyarakat, tetapi juga ancaman bagi hak hidup orang. Pigai mengutip Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan, dan keselamatan pribadi. Penyalahgunaan senjata yang menyebabkan ancaman terhadap keselamatan individu jelas bertentangan dengan HAM.
“Salah satu aspek penting HAM juga adalah kebebasan dari rasa takut atau freedom of fears. Dalam kasus seperti ini, jelas menebarkan ketakutan dan tentu saja ancaman bagi kehidupan. Sementara negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya,” kata mantan Komisioner Komnas HAM itu.
Amnesty International Indonesia: Keadilan yang Sesungguhnya Hanya Bisa Terwujud Jika Impunitas Diakhiri
Adapun Amnesty International Indonesia mendesak reformasi peradilan militer dan evaluasi serius penggunaan senjata api oleh anggota TNI dan Polri. Desakan itu disampaikan menyusul kasus penembakan bos rental mobil yang melibatkan anggota TNI AL pada awal 2025.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan kasus penembakan itu menambah panjang daftar pelanggaran yang merenggut hak hidup warga sipil.
“Pembunuhan di luar hukum oleh aparat terus terjadi. Perbuatan mereka jelas melanggar hak asasi manusia,” ujarnya dalam pernyataan tertulis, Senin, 6 Januari 2025.
Menurut data yang dihimpun Amnesty, sepanjang 2024 tercatat 55 kasus pembunuhan di luar hukum dengan korban mayoritas tewas di tangan aparat kepolisian dan militer. Dari jumlah tersebut, 10 pelaku berasal dari unsur TNI, 29 dari kepolisian, dan 3 lainnya melibatkan pasukan gabungan.
Penembakan bos rental mobil, kata dia, adalah contoh terbaru kegagalan aparat dalam mengelola penggunaan senjata api secara sah. Amnesty menuntut agar pelaku diadili melalui peradilan umum, bukan peradilan militer yang dinilai tidak transparan dan cenderung tertutup.
“Pelaku harus diadili di peradilan umum untuk memastikan proses hukum yang adil dan terbuka,” kata Usman.
Dia menekankan pentingnya merevisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, agar pelanggaran hukum pidana umum oleh personel militer diproses sesuai amanat Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Amnesty juga mengkritik penggunaan istilah ‘oknum’ yang sering dipakai untuk merujuk kepada pelaku dari kalangan aparat. Usman menyebutkan istilah itu cenderung digunakan untuk menghindari tanggung jawab institusi.
“Institusi harus bertanggung jawab atas tindakan anggotanya, terutama jika senjata api digunakan untuk tindakan pidana atau pelanggaran HAM,” ujarnya.
Amnesty juga meminta agar kelalaian kepolisian yang menyebabkan jatuhnya korban pada kasus 2 Januari 2025 menjadi perhatian serius. “Kelalaian aparat yang berujung kematian warga sipil harus diproses secara pidana, tidak cukup dengan sanksi etik,” kata Usman.
Dia mengingatkan, tanpa reformasi menyeluruh, lingkaran impunitas akan terus berlangsung, dan risiko pelanggaran HAM oleh aparat akan tetap tinggi. “Keadilan yang sesungguhnya hanya bisa terwujud jika impunitas diakhiri, dan pelaku pelanggaran diproses secara transparan,” tuturnya.
Eka Yudha Saputra, Hendrik Yaputra, Dinda Shabrina, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Respons PKB dan PKS Ihwal Penurunan Biaya Haji 2025
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini