Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka tetap saja tak jera

Perahu layar motor (plm) dharma mulia dengan penumpang 325 orang menglami kecelakaan di nusa lembongan, bali. 32 orang ditemukan tewas, penumpangnya. diantaranya tenaga kerja gelap ke malaysia.

3 Juni 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI awal pekan ini, baru 35 korban dari musibah Perahu Layar Motor (PLM) Dharma Mulia yang dapat ditemukan. Yang selamat, 173 penumpang dan tujuh anak buah kapal serta tujuh orang calo tenaga kerja gelap, sudah dipulangkan ke kampung halamannya di Pulau Lombok. Ini berarti, dari perahu yang mengangkut 325 tenaga kerja gelap dengan tujuan Malaysia lewat Batam dua pekan lalu itu, masih 103 orang yang belum ketahuan nasibnya. Mereka diduga sudah tewas di laut lepas. Senin pekan ini, Kepala Satuan Pol. Air Polda Nusa Tenggara Letnan Kolonel (Pol). Rasidi Parto mengatakan pada TEMPO bahwa upaya pencarian telah dihentikan. Jatuhnya korban PLM Dharma Mulia agaknya tak membuat jera pengadu nasib ke Malaysia. Rabu pekan lalu, sebuah perahu motor kecil tenggelam di lepas pantai Kota Parit Jawa, dekat Negara Bagian Johor, Malaysia. Kapal berpenumpang 39 orang itu berangkat dari Pulau Bengkalis, Kepulauan Riau, menuju Johor. Dilepas pantai Johor, kapal yang melayarkan tenaga kerja gelap asal Jawa Timur, Jawa Barat, dan lainnya itu dihantam ombak besar dan langsung karam. Hanya seorang penumpang yang selamat, kini ditahan di Malaysia. Hampir bersamaan dengan musibah Dharma Mulia, 151 tenaga kerja gelap asal Lombok ditemukan terdampar di Jimbaran, Uluwatu, Bali, 18 Mei lalu. Rencananya, lagi-lagi ke Malaysia, lewat Selat Panjang, Riau. Untung saja, akibat kerusakan mesin kapal itu, semua penumpangnya selamat. Di Denpasar, pekan lalu, Polisi Resort Badung juga mencegat 24 orang Lombok yang akan berangkat gelap-gelapan ke Malaysia lewat jalan darat. Dari Denpasar mereka akan ke Jakarta terus ke Sumatera dan menyeberang ke Malaysia lewat Kepulauan Riau. Mereka berusia antara 15 dan 30 tahun. Mereka merasa tak bersalah. "Apa naik bis ke Jakarta perlu izin," kata salah seorang dari mereka. Selasa pekan lalu, ke-24 tenaga kerja gelap asal Lombok Timur dan Lombok Barat itu dikirim pulang bersama 33 peti jenazah korban PLM Dharma Mulia. Rabu dini hari pekan lalu, 33 peti jenazah itu dikebumikan di Kuburan Leneng di Praya, Lombok Tengah. Pemakaman masal yang dihadiri ribuan manusia itu berlangsung sampai fajar menyingsing. Kalau orang-orang Lombok ini nekat menyabung nyawa untuk berlayar ke negeri jiran itu, agaknya bisa dipahami. Umumnya mereka adalah rakyat miskin yang sulit mencari kerja di kampung halaman. Maka, segala kemampuan lalu dikerahkan untuk bisa ke Malaysia. Seperti PLM Dharma Mulia, kapal yang dipakai mengangkut tenaga kerja gelap itu umumnya berpangkal di Batam atau daerah di Kepulauan Riau lainnya. Kapal-kapal barang itu biasanya mengangkut barang keperluan rumah tangga dari Batam ke Sumbawa dan Lombok. "Pulangnya kan kosong. Bos kami memerintahkan untuk mengangkut penumpang saja. Memang kapal ini hanya cocok mengangkut barang, tapi saya kan menurut atasan," begitu alasan Mohammad bin Sese, 44 tahun, nakhoda PLM Dharma Mulia. Sese, seperti ditegaskan Dirjen Perla J.E. Habibie, akan diajukan ke Mahkamah Pelayaran. Lelaki berkulit hitam legam asal Tanah Baru, Bulukumba, Sulawesi Selatan, ini menyebut nama Abdul Malik, penduduk Lombok, sebagai bosnya. Menurut ceritanya, Abdul Malik ini orang "kuat" di Lombok yang punya hubungan baik dengan pengusaha-pengusaha perkebunan di Malaysia. Yang beroperasi menjaring calon TKI biasanya calo. Tapi banyak juga yang tertarik karena diajak keluarga yang sudah lebih dulu bekerja di Malaysia. Kalau lewat calo, biaya bisa sampai Rp 100-150 ribu. Maklum, sang calo ternyata juga harus mempersiapkan "uang tembak" untuk petugas yang menghadang. "Sejak berangkat dari sini sudah harus keluar uang. Kalau tak begitu, mana bisa bebas meluncur ke Malaysia?" cerita Kamaruddin, 35 tahun, seorang calo asal Labuhan Haji, Lombok Timur. Di perbatasan Malaysia, ada "tekong" yang juga harus disuap. "Tekong" inilah yang mengatur penempatan tenaga kerja di sana. Sekali perjalanan, dengan sekitar 150 penumpang, Kamaruddin mengaku menghabiskan Rp 3 juta untuk "uang tembak" tadi. Sewa kapal mencapai Rp 8 juta. Nah, hitung saja keuntungan si calo. Dari 100 ribu TKI di Malaysia, kebanyakan berasal dari Sulawesi Selatan dan NTB, terutama Lombok. Menurut Kakanwil Depnaker NTB Andi Usman, pada 1987 digagalkan pengiriman 1.481 orang tenaga kerja gelap. Pada 1980, 630 orang dan pada 1989 ini sudah 1.500 orang ditangkal, termasuk korban Dharma Mulia. Mengalir derasnya tenaga kerja membuat banyak desa di NTB menjadi sepi. Misalnya, Desa Saba di Kecamatan Pringgarata, yang luasnya 9,5 km2. Desa ini baru saja kehilangan sekitar dua puluh penduduk akibat bencana Dharma Mulia. Kendati berpredikat desa Swasembada, desa dengan penduduk sekitar 8 ribu jiwa ini dulu sering nmengalami kritis pangan. Sawah yang ada, seluas 633 hektar, sifatnya tadah hujan, cuma menghasilkan 4-5 ton gabah per hektar. Panen hanya bisa dilakukan setahun sekali. Miskinnya Saba juga bisa diukur dari Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran Keuangan Desa (APPKD) yang direncanakan LKMD setempat. APPKD 1989 ditetapkan Rp 1,5 juta, tapi dana masyarakat yang bisa digalang cuma Rp 59 ribu. Kegiatan gotong-royong juga sering tak jalan sebab, "orang laki-laki di sini tinggal sedikit," tutur Mansyur, pemuka desa. Data resmi menunjukkan jumlah penduduk laki-laki Saba adalah 3.881 jiwa. Penduduk usia kerja (antara 20 dan 55 tahun) berjumlah 1.476 orang atau 38% dari jumlah penduduk laki-laki. Kebanyakan dari mereka memang merantau ke negeri orang -- terbanyak ke Malaysia. Tahun ini saja diperkirakan sekitar 200 orang meninggalkan Saba. Wartawan TEMPO yang sempat berkunjung ke Saba pekan ini mendapati desa itu kosong melompong dari kaum Adam kecuali anak-anak kecil. Di Dusun Lengkok Buak, tempat salah seorang korban Dharma Mulia, keluarga korban menyebut musibah Dharma Mulia sebagai, "sudah takdir." Lalu, mengapa harus ke Malaysia mencari rezeki? "Mana di sini ada rezeki?" sahut seorang wanita.Toriq Hadad, Joko Daryanto, I N. Wedja, dan Supriyantho Khalid

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum