Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENGAPA dua desa di Sumatera Barat yang bertetangga bisa bertikai, bahkan hingga saling menikam? Diduga, salah satu penyebabnya adalah karena menghilangnya wali nagari. Bersamaan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5/1979, kepemimpinan karismatik itu digeser kepala desa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari satu sisi, pergeseran itu mendatangkan guyuran duit. Bayangkan: dari tadinya cuma 543 nagari mekar jadi 3.138 desa yang kepercik dana bantuan desa (abndes) sebesar Rp 3 milyar setiap tahunnya. Dengan SK Gubernur Sumatera Barat 15 Mei lalu, jumlah itu diciutkan menjadi 2.583 desa. Alasannya, banyak desa cuma berpenduduk 1.000 jiwa. Padahal idealnya 2.500 jiwa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lagi pula dana bandes itu ternyata mematikan dinamika desa yang cenderung menunggu turunnya dana bandes itu. Maklum, kepala desa (kepdes) di Sum-Bar tak punya "tanah bengkok" bak di Jawa. Dengan honorarium Rp 21.000 per bulan, mereka harus bertani atau menyadap karet. Bisa ditebak mereka tak punya waktu lagi menggalang dana pembangunan untuk desa itu.
Sebagai uji coba, di setiap kabupaten ditunjuk dua desa ideal. Pemeritah daerah akan mengedrop dana Rp 4 juta hingga desa proyek itu punya usaha agar bisa mandiri. Jika berhasil, pola ini akan dikembangkan. Tapi keberhasilan ini diragukan oleh Dr. Mochtar Naim.
Menurut sosiolog di Padang ini, mestinya sistem sekarang harus dipadukan dengan kepemimpinan wali nagari. Dulu, meski sebagai perpanjangan tangan pemerintah, ia juga akrab denga rakyat. Maklum, ia didukung elite nagari, seperti ninik mamak dan ulama.
Partisipasi rakyat pun bergerak hingga mampu membangun desa. Dengan UU No. 5/1979 itu, dianggap partisipasi rakyat terkurung. Kepdes dianggap orang asing. Apalagi yang duduk di LKMD, misalnya, bukan lagi elite ini, dengan pembentukan Kerapatan Adat Nagari (KAN) lewat Peraturan Daerah Nomor 13/1983, rakyat secara struktural lebih ditempatkan di bawah "ketiak" kepdes. Dalam diskusi itulah setiap orang jadi asyik pada desanya.
Lembaga adat cuma berfungsi temporal. Dengan suasana ini konflik antardesa jadi rawan. Apalagi hidup mereka sangat bergantung pada tanah. Maklum, banyak tanah ulayat penduduk suatu desa berada di desa lain, seperti kasus di Sawahlunto itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Setelah Wali Nagari Dihapus"