Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Untuk apa semua ritus itu

Ritus menurut dewey yaitu memelihara idealisme jadi kenyataan. suatu yang belum selesai, terus diperjuangkan. ada pendapat, dengan ritus semuanya selesai. dengan ikrar pancasila otomatis kita pancasialis.

24 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENTANG banyak perkara, si Badu dan si Polan teramat sering bersilang pendapat. Namun, paling sedikit mengenai satu hal mereka sepakat. Menurut mereka, orang seharusnya hanya mengerjakan apa-apa yang mendatangkan manfaat. Dengan begitu, entah berapa banyak waktu, tenaga, dan uang dapat dihemat. Makan, misalnya, perlu dan harus, tentu saja. Tapi mengapa mesti makan-makan dl hotel mewah? Manusia sejenis Badu dan Polan itu kian banyak. Orang-orang yang praktis. Orang-orang pragmatis. Produktif. Manusia-manusia modern. Orang jenis ini biasanya tidak menyukai rapat, apalagi yang terlalu lama dan terlalu sering. Rapat-rapat, kata mereka, adalah penyebab utama penyakit ginjal. Mereka juga amat tersiksa oleh upacara-upacara. Karena itu, ketika Hari Natal kian mendekat, mereka berteriak: untuk apa semua ritus itu? Pohon-pohon cemara ditebangi, untuk apa? Apa tidak merusakkan lingkungan? Lampu warna-warni, apa tidak pemborosan energi? Lalu kandang binatang. Palungan. Apa relevansinya? Kecuali sebagai pajangan, atau pengulangan dongeng tua ? Anda sendiri membuktikan, pesta Natal tetap akan ada tahun ini. Dan tahun-tahun berikutnya. Upacara Natal tak akan berhenti tahun ini, dan puluhan tahun lagi. Tetapi pertanyaan Badu dan Polan agaknya terlalu penting untuk kita diamkan. Apalagi pertanyaan ini bukan hanya bagi mereka yang akan merayakan Natai, tetapi justru - barangkali - bagi anggota Korpri, yang dengan baju batik berjemur dipanggang matahari, paling sedikit sebulan sekali, dari Sabang sampai Merauke. Setiap orang pasti punya sesuatu yang ia agungkan: cita-cita, harapan. Seteap orang juga pasti menyadari, selalu ada kesenjangan antara kenyataan dan harapan, antara "yang ada" dan "yang seharusnya" . Orang idealis terpaku pada harapan, tentang "yang seharusnya". Sebab itu, tak pernah kerasan dengan kenyataan, dengan "yang ada". Orang kompromistis dan konformistis terlalu gampang menerima kenyataan dan "yang ada". Segala sesuatu dapat ditawar. Yang benar bukan kedua-duanya. Persoalan manusia sepanjang masa ialah: bagaimana dapat hidup dengan dua kaki, dan sepenuh hati, dalam dunia nyata, tanpa kehilangan cita-cita dan idealisme. Seorang filsuf besar Amerika, John Dewey, berpendapat bahwa ada kemungkinan untuk itu - kemungkinan mempertahankan idealisme sekalipun tahu bahwa ia (paling sedikit untuk sementara) tidak akan menjadi kenyataan, kemungkinan menjadi idealis sementara tetap realis. Menurut Dewey, itulah fungsi ritus. Apa yang tak dapat kita laksanakan dalam kenyataan kita lakukan secara ritual. Ritus, kata Dewey, memelihara idealisme sampai menjadi kenyataan. Orang Ku Klux Klan membakar salib. Wanita Gerakan Kebebasan membakar kutang mereka. Untuk apa? Untuk memelihara cita-cita. Bila harapan telah menjadi kenyataan, ritus tak diperlukan. Juga bila orang sudah puas dengan kenyataan. Kalau setiap kali Pancasila dibacakan, ritus itu mengingatkan bahwa sila-sila itu belum menjadi kenyataan. Kalau setiap tahun Sumpah Pemuda diperingati, ritus itu mengingatkan bahwa kita masih harus terus lebih bersatu. Dan bila di hari-hari Natal ini seorang bayi, sebuah palungan, dan sebuah kandang menjadi pusat perhatian, untuk apa semua ritus itu? Ia mau mengingatkan betapa agungnya kesederhanaan betapa perkasanya kelemah lembutan betapa berharganya manusia di mata Allah. Bahwa kita masih bergelimang dalam kesukaan akan kemewahan yang kosong. Bahwa kita masih terlalu mempercayai senjata sebagai bahasa. Bahwa kita masih menganggap nyawa manusia tak ada harganya. Selama bungkus masih lebih penting dari isi, selama suara bedil masih lebih kuat dari ungkapan kasih, selama manusia masih saling mencabut nyawa dengan tak semena-mena, selama itu pula ritus Natal masih punya arti. Tapi ada hal yang amat penting dalam hubungan ini. Ritus menunjukkan apa yang belum selesai, yang masih harus terus diperjuangkan. Ini perlu saya katakan. Sebab, ada yang berpendapat, dengan ritus semuanya selesai. Dengan mengikrarkan Pancasila, misalnya, otomatis kita sudah Pancasilais. Itu barangkali yang menjadi protes si Badu dan si Polan. Tapi yang begitu itu namanya mantra. Bukan ritus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus