TENTANG banyak perkara, si Badu dan si Polan teramat sering
bersilang pendapat. Namun, paling sedikit mengenai satu hal
mereka sepakat. Menurut mereka, orang seharusnya hanya
mengerjakan apa-apa yang mendatangkan manfaat. Dengan begitu,
entah berapa banyak waktu, tenaga, dan uang dapat dihemat.
Makan, misalnya, perlu dan harus, tentu saja. Tapi mengapa mesti
makan-makan dl hotel mewah?
Manusia sejenis Badu dan Polan itu kian banyak. Orang-orang yang
praktis. Orang-orang pragmatis. Produktif. Manusia-manusia
modern.
Orang jenis ini biasanya tidak menyukai rapat, apalagi yang
terlalu lama dan terlalu sering. Rapat-rapat, kata mereka,
adalah penyebab utama penyakit ginjal. Mereka juga amat tersiksa
oleh upacara-upacara.
Karena itu, ketika Hari Natal kian mendekat, mereka berteriak:
untuk apa semua ritus itu? Pohon-pohon cemara ditebangi, untuk
apa? Apa tidak merusakkan lingkungan? Lampu warna-warni, apa
tidak pemborosan energi? Lalu kandang binatang. Palungan. Apa
relevansinya? Kecuali sebagai pajangan, atau pengulangan dongeng
tua ?
Anda sendiri membuktikan, pesta Natal tetap akan ada tahun ini.
Dan tahun-tahun berikutnya. Upacara Natal tak akan berhenti
tahun ini, dan puluhan tahun lagi. Tetapi pertanyaan Badu dan
Polan agaknya terlalu penting untuk kita diamkan. Apalagi
pertanyaan ini bukan hanya bagi mereka yang akan merayakan
Natai, tetapi justru - barangkali - bagi anggota Korpri, yang
dengan baju batik berjemur dipanggang matahari, paling sedikit
sebulan sekali, dari Sabang sampai Merauke.
Setiap orang pasti punya sesuatu yang ia agungkan: cita-cita,
harapan. Seteap orang juga pasti menyadari, selalu ada
kesenjangan antara kenyataan dan harapan, antara "yang ada" dan
"yang seharusnya" .
Orang idealis terpaku pada harapan, tentang "yang seharusnya".
Sebab itu, tak pernah kerasan dengan kenyataan, dengan "yang
ada". Orang kompromistis dan konformistis terlalu gampang
menerima kenyataan dan "yang ada". Segala sesuatu dapat ditawar.
Yang benar bukan kedua-duanya. Persoalan manusia sepanjang masa
ialah: bagaimana dapat hidup dengan dua kaki, dan sepenuh hati,
dalam dunia nyata, tanpa kehilangan cita-cita dan idealisme.
Seorang filsuf besar Amerika, John Dewey, berpendapat bahwa ada
kemungkinan untuk itu - kemungkinan mempertahankan idealisme
sekalipun tahu bahwa ia (paling sedikit untuk sementara) tidak
akan menjadi kenyataan, kemungkinan menjadi idealis sementara
tetap realis.
Menurut Dewey, itulah fungsi ritus. Apa yang tak dapat kita
laksanakan dalam kenyataan kita lakukan secara ritual. Ritus,
kata Dewey, memelihara idealisme sampai menjadi kenyataan.
Orang Ku Klux Klan membakar salib. Wanita Gerakan Kebebasan
membakar kutang mereka. Untuk apa? Untuk memelihara cita-cita.
Bila harapan telah menjadi kenyataan, ritus tak diperlukan. Juga
bila orang sudah puas dengan kenyataan.
Kalau setiap kali Pancasila dibacakan, ritus itu mengingatkan
bahwa sila-sila itu belum menjadi kenyataan. Kalau setiap tahun
Sumpah Pemuda diperingati, ritus itu mengingatkan bahwa kita
masih harus terus lebih bersatu.
Dan bila di hari-hari Natal ini seorang bayi, sebuah palungan,
dan sebuah kandang menjadi pusat perhatian, untuk apa semua
ritus itu?
Ia mau mengingatkan betapa agungnya kesederhanaan betapa
perkasanya kelemah lembutan betapa berharganya manusia di mata
Allah. Bahwa kita masih bergelimang dalam kesukaan akan
kemewahan yang kosong. Bahwa kita masih terlalu mempercayai
senjata sebagai bahasa. Bahwa kita masih menganggap nyawa
manusia tak ada harganya.
Selama bungkus masih lebih penting dari isi, selama suara bedil
masih lebih kuat dari ungkapan kasih, selama manusia masih
saling mencabut nyawa dengan tak semena-mena, selama itu pula
ritus Natal masih punya arti.
Tapi ada hal yang amat penting dalam hubungan ini. Ritus
menunjukkan apa yang belum selesai, yang masih harus terus
diperjuangkan. Ini perlu saya katakan. Sebab, ada yang
berpendapat, dengan ritus semuanya selesai. Dengan mengikrarkan
Pancasila, misalnya, otomatis kita sudah Pancasilais. Itu
barangkali yang menjadi protes si Badu dan si Polan.
Tapi yang begitu itu namanya mantra. Bukan ritus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini