INILAH peristiwa terbesar dalam sejarah transmigrasi di
Indonesia. Awal Desember ini di sepanjang tepi jalan sejak
pelabuhan Telukbayur sampai desa Sitiung (Sumatera Barat),
penduduk setempat berjejal menyambut. Dengan beberapa bus,
rombongan bergerak lewat Solok dan Padang dengan iringan
bunyi-bunyian Telepong dan Reog Pororogo. Trip pertama
gelombang awal ini terdiri dari 100 kepala keluarga (448 jiwa).
Sampai Maret nanti akan menjadi 2.000 kk (65 517 jiwa) yang akan
ditempatkan di 4 desa baru kabupaten Sawahlunto Sijunjung:
Sitiung, Tiuamang, Silalang (aung dan Koto Salak. Mereka adalah
transmigran sukarela 'bedol desa' asal 41 desa (6 kecamatan)
daerah Wonogiri, Jawa Tengah, yang terkena proyek waduk serba
guna Gajah Mungkur. Waduk itu sendiri akan berfungsi sebagai
pembangkit tenaga listrik, pengairan dan menanggulangi banjir
rutin Bengawan Sala.
Sambutan masyarakat 'urang awak' cukup ramah. Upacara 'sekapur
sirih' menurut adat Minang pun dilakukan oleh Zohar sebagai
wakil Ninik-mamak, diterima oleh Prawiro Diyono, bayan dukuh
Karanglo, dilanjutkan dengan sambutan ketua adat setempat, Datuk
Mendaro Kuning. Hari Rabu jam 6 pagi-pagi mereka berangkat ke
arah timur menempuh jarak 217 kilometer dan sampai di Sitiung
jam 3 sore. Sitiung seluas 108 kilometer persegi dan berpenduduk
asli 3.471 jiwa itu, dikenal sebagai subur. Di desa yang
terletak 4 kilometer dari Trans Sumatra Highway itu sudah
tersedia ladang yang akan dibagikan. Juga areal persawahan yang
kini sebagian besar masih menunggu selesainya proyek irigasi
dataran Batanghari.
Dengan tambahan 100 kk itu, dipastikan Sitiung akan menjadi 2
desa. Dan sesuai dengan ketentuan semula, desa baru itu akan
memperoleh kepala desa sendiri, yaitu Pardi Padmosumarto yang
memang telah ditunjuk oleh Bupati Wonogiri. Pembabatan hutan
yang dalam waktu singkat disulap menjadi 4 desa baru itu, secara
bertahap akan dilengkapi pula dengan beberapa prasarana: 4 SD, 2
SLTP, 1 SLTA, Pasar, balai pengobatan, mess, rumah ibadat,
gedung KUD, kantor pos dan bank. Selain rumah, sawah dan ladang,
para transmigran pun dibekali dengan perlengkapan-perlengkapan
kecil: pakaian kerja, peralatan kerja, perabot rumah tangga
sederhana. Mereka juga mendapat ganti rugi untuk tanah, rumah,
pekarangan, ternak dan tanaman dari tempat tinggal semula yang
telah 'terbedol'.
Pola Sitiung ini, menurut Menteri Nakertranskop akan diterapkan
di 14 propinsi seluruh Indonesia. Penanganan yang selama ini
hanya dilakukan oleh Departemen Subroto itu, selanjutnya akan
digarap secara gotong-royong secara fungsionil oleh
departemen-departemen yang bersangkutan. Pembabatan hutan,
pembangunan jalan dan irigasi oleh PUTL, pemerintahan oleh
Departemen Dalam Negeri, Puskesmas oleh Departemen Kesehatan
sekolah-sekolah oleh Departemen P & K dan seterusnya. Semuanya
dikoordinir oleh Badan Pengembangan Pembangunan Daerah
Transmigrasi yang diketuai oleh Menteri Nakertranskop. Di
tingkat propinsi oleh gubernur, di tingkat kabupaten oleh
bupati. Badan ini, untuk tahun mendatang akan memberangkatkan
22.500 kk ke luar Jawa--biayanya sudah tersedia, sedang
tempatnya akan ditentukan kemudian.
Biaya untuk tahap pertama, di Sitiung saja, sebanyak Rp 2 milyar
untuk 2.000 kk, belum termasuk ganti-rugi. 'Untuk perumahan
meliputi Rp 280.000 sebuah, terdiri dari rumah papan meranti,
ukuran 7 x 6 meter berlantai tanah dengan 2 kamar tidur, 1
kamar tamu, kamar makan, dapur dan kamar kecil sederhana. Dalam
jangka waktu 10 tahun mereka tidak diijinkan memindah-tangankan
tanah dan perumahan. Bagi para pelanggar, akan dikenakan
pencabutan hak milik. Dan Sitiung, menurut beberapa transmigran,
memang lebih indah dan hijau dari Wonogiri. Beberapa kelpala
keluarga, dengan rasa haru memasuki rumah-rumah mereka yang sore
itu masih gelap belum berlampu. Di luar tampak asap dapur umum
mengepul selama 24 jam, dilayani oleh 20 orang. Seorang lelaki
tampak keluar-masuk rumah barunya. Setelah mengamatinya dari
depan, ia melambaikan tangan kepada beberapa pejabat dan para
pengantar yang malam itu satu-persatu mulai meninggalkan
Sitiung. Nyuwun tambah berkah pengestu, pak, kulo lan sak anak
bojo" (mohon tambah doa restu, pak, saya dan anak bini), ucap
Pak Atmosuwito asal Karanglo kepada seorang wartawan, sembari
mengusap kedua matanya yang tampak sembab . . .
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini