SEMENJAK aksi pembajakan kereta-api dan konsulat RI di Amsterdam
setahun lalu, pemulangan 5000 orang Maluku warga negara
Indonesia dari Belanda ke Indonesia masin sulit. Kedua
pemerintah yang bersangkutan belum lagi mematangkan hasil
kesepakatan Agustus 1975 di Belanda. Waktu itu disepakati,
pemerintah RI terlebih dahulu akan menyusun rencana proyek atau
program pembangunan, di dalam atau di luar Maluku untuk
menampung calon-calon repatrian itu. Biayanya akan disediakan
oleh Menteri Kerjasama Ekonomi LN Belanda Pronk, di luar
kerangka I.G.G.I. Namun sayangnya, walaupun Kementerian
Kebudayaan & Sosial Belanda (CRM sudah menyiapkan ongkos pulang
bagi repatrian gaya-baru itu nantinya, sampai kini Bappenas
kabarnya belum selesai menyusun rencana penampungan repatrian
Maluku itu. Sementara itu, trip orang-orang Maluku Selatan dari
Belanda ke Indonesia - paling tidak sebagai turis - juga praktis
macet. Maklumlah, KBRI tidak mau ambil risiko, sehingga yang
boleh mendapat visa masuk ke mari hanya yang warga negara
Indonesia. Sedang 5000 warga negara Belanda keturunan Maluku dan
30 ribu yang state-less, sama sekali tidak boleh masuk ke mari.
Kelesuan repatriasi ini, kalau dibiarkan terus dikhawatirkan
akan menyeret sebagian orang Maluku WNI itu kembali jadi
simpatisan 'RMS'. Dan memang itulah yang diharapkan tokoh-tokoh
tua 'RMS' serta angkatan mudanya yang beraliran kiri, gerakan
Pattimura, yang pada dasarnya anti-politik repatriasi maupun
integrasi ke dalam masyarakat Belanda. Maka untuk mengatasinya,
Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) bekerjasama
dengan pemerintah Belanda & Indonesia akhir Oktober lalu
mengundang satu delegasi Orwama (Organisasi Wanita Maluku)
berkunjung selama sebulan ke Indonesia. Sembilan nyonya Maluku
yang hampir 25 tahun bermukim di Belanda itu, diajak mengunjungi
pulau-pulau Maluku Selatan - termasuk mengikuti loka-karya
bersama Perwari di Saparua - Ujung Pandang, Bali, Yogya dan
balik ke Jakarta. Akhir Nopember, mereka terbang kembali ke
Belanda, untuk menceritakan pengalamannya pada sanak-saudaranya.
Aksi 50 Gulden
Apakah muhibah semacam itu dapat menggalakkan kembali gairah
pulang ke tanan air? Ny. E. Rering Sahetapy, sekretaris Orwama
yang sudah punya anak tujuh menjawab begini: "Jampir semua di
antara kami yang warga negara Indonesia memang ingin pulang ke
mari. Perjalanan pulang tidak soal, sebab semuanya sudah
ditanggung (RM. Tapi mana itu proyek-proyek pembangunan di mana
kami bisa kerja? Suami saya misalnya, dia ahli teknik amunisi,
dia tentunya kepingin mendapat jaminan ada pekerjaan yang
sesuai". Beberapa ibu Maluku yang lain, juga berpendapat
demikian. Maklumlah, mereka sudah lama tinggal di satu negeri di
mana pemerintahnya selalu berusaha menjamin pekerjaan yang
sesuai bagi warga negaranya, plus jaminan pengangguran selama
"pekerjaan yang sesuai" belum didapat.
Di samping itu, ada kesan lain yang lebih menonjol di kalangan
peserta tur ke Maluku itu. Seperti kata Ny. Arntzen Manuputty:
"Pergi dari Ambon ke Jakarta lewat Ujungpandang dan Bali, nyata
benar kontras pembangunannya. Tapi kontras pembangunan begini,
tidak hanya kelihatan semakin jauh kita meninggalkan pusat. Di
Jakarta sendiri, begitu keluar dari hotel bertingkat saya
langsung terkesan melihat riolering yang begitu kotor. Dari pada
membangun begitu banyak hotel, mengapa bukan saluran air yang
dapat jadi sarang penyakit itulah yang dibersihkan dan
diperbaiki?"
Namun begitu, ketua Ormawa, Ny. Huwitetu Sitanala bertanya: "Apa
yang sudah kita lakukan sendiri untuk saudara-saudara kita di
Maluku? Saya usulkan supaya sekembalinya di Belanda kita segera
bikin aksi kumpul 50 gulden satu keluarga tiap bulan untuk bantu
pembangunan Maluku!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini