Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah Tur Ke Maluku

Pemulangan warga negara RI dari Belanda ke Indonesia masih sulit. Dikhawatirkan kembali jadi simpati san RMS. perwari mengundang orwama sebulan ke Indonesia. penampungan repatrian belum siap.

11 Desember 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMENJAK aksi pembajakan kereta-api dan konsulat RI di Amsterdam setahun lalu, pemulangan 5000 orang Maluku warga negara Indonesia dari Belanda ke Indonesia masin sulit. Kedua pemerintah yang bersangkutan belum lagi mematangkan hasil kesepakatan Agustus 1975 di Belanda. Waktu itu disepakati, pemerintah RI terlebih dahulu akan menyusun rencana proyek atau program pembangunan, di dalam atau di luar Maluku untuk menampung calon-calon repatrian itu. Biayanya akan disediakan oleh Menteri Kerjasama Ekonomi LN Belanda Pronk, di luar kerangka I.G.G.I. Namun sayangnya, walaupun Kementerian Kebudayaan & Sosial Belanda (CRM sudah menyiapkan ongkos pulang bagi repatrian gaya-baru itu nantinya, sampai kini Bappenas kabarnya belum selesai menyusun rencana penampungan repatrian Maluku itu. Sementara itu, trip orang-orang Maluku Selatan dari Belanda ke Indonesia - paling tidak sebagai turis - juga praktis macet. Maklumlah, KBRI tidak mau ambil risiko, sehingga yang boleh mendapat visa masuk ke mari hanya yang warga negara Indonesia. Sedang 5000 warga negara Belanda keturunan Maluku dan 30 ribu yang state-less, sama sekali tidak boleh masuk ke mari. Kelesuan repatriasi ini, kalau dibiarkan terus dikhawatirkan akan menyeret sebagian orang Maluku WNI itu kembali jadi simpatisan 'RMS'. Dan memang itulah yang diharapkan tokoh-tokoh tua 'RMS' serta angkatan mudanya yang beraliran kiri, gerakan Pattimura, yang pada dasarnya anti-politik repatriasi maupun integrasi ke dalam masyarakat Belanda. Maka untuk mengatasinya, Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari) bekerjasama dengan pemerintah Belanda & Indonesia akhir Oktober lalu mengundang satu delegasi Orwama (Organisasi Wanita Maluku) berkunjung selama sebulan ke Indonesia. Sembilan nyonya Maluku yang hampir 25 tahun bermukim di Belanda itu, diajak mengunjungi pulau-pulau Maluku Selatan - termasuk mengikuti loka-karya bersama Perwari di Saparua - Ujung Pandang, Bali, Yogya dan balik ke Jakarta. Akhir Nopember, mereka terbang kembali ke Belanda, untuk menceritakan pengalamannya pada sanak-saudaranya. Aksi 50 Gulden Apakah muhibah semacam itu dapat menggalakkan kembali gairah pulang ke tanan air? Ny. E. Rering Sahetapy, sekretaris Orwama yang sudah punya anak tujuh menjawab begini: "Jampir semua di antara kami yang warga negara Indonesia memang ingin pulang ke mari. Perjalanan pulang tidak soal, sebab semuanya sudah ditanggung (RM. Tapi mana itu proyek-proyek pembangunan di mana kami bisa kerja? Suami saya misalnya, dia ahli teknik amunisi, dia tentunya kepingin mendapat jaminan ada pekerjaan yang sesuai". Beberapa ibu Maluku yang lain, juga berpendapat demikian. Maklumlah, mereka sudah lama tinggal di satu negeri di mana pemerintahnya selalu berusaha menjamin pekerjaan yang sesuai bagi warga negaranya, plus jaminan pengangguran selama "pekerjaan yang sesuai" belum didapat. Di samping itu, ada kesan lain yang lebih menonjol di kalangan peserta tur ke Maluku itu. Seperti kata Ny. Arntzen Manuputty: "Pergi dari Ambon ke Jakarta lewat Ujungpandang dan Bali, nyata benar kontras pembangunannya. Tapi kontras pembangunan begini, tidak hanya kelihatan semakin jauh kita meninggalkan pusat. Di Jakarta sendiri, begitu keluar dari hotel bertingkat saya langsung terkesan melihat riolering yang begitu kotor. Dari pada membangun begitu banyak hotel, mengapa bukan saluran air yang dapat jadi sarang penyakit itulah yang dibersihkan dan diperbaiki?" Namun begitu, ketua Ormawa, Ny. Huwitetu Sitanala bertanya: "Apa yang sudah kita lakukan sendiri untuk saudara-saudara kita di Maluku? Saya usulkan supaya sekembalinya di Belanda kita segera bikin aksi kumpul 50 gulden satu keluarga tiap bulan untuk bantu pembangunan Maluku!"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus