Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Difabel

Orientasi Mobilitas, Cara Adaptasi Tunanetra di Lingkungan Baru

Adaptasi menjadi sebuah proses yang tidak mudah bagi Tunanetra ketika dicemplungkan ke lingkungan baru.

11 September 2018 | 11.52 WIB

Seorang guru, sebagai model, menjajal berjalan menggunakan tongkat navigasi untuk penyandang tunanetra karya siswanya, di Kairo, Mesir, Selasa, 4 September 2018. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany
Perbesar
Seorang guru, sebagai model, menjajal berjalan menggunakan tongkat navigasi untuk penyandang tunanetra karya siswanya, di Kairo, Mesir, Selasa, 4 September 2018. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Bali - Adaptasi menjadi sebuah proses yang tidak mudah bagi Tunanetra ketika dicemplungkan ke lingkungan baru. Meski begitu, Tunanetra memiliki pemecahan masalah adaptasi ini dengan beberapa cara. Cara utama adalah menguatkan orientasi mobilitas (OM) terhadap sebuah tempat baru.

Baca juga: Saat Huruf Braille Mulai Tergeser Kecanggihan Teknologi

“Biasanya kami akan memantau aksesibilitas apa saja yang tersedia di sebuah tempat baru, salah satunya jalan yang akan sering dilewati, apakah akses atau tidak,” ujar Agus Sri, Salah satu Tunanetra peserta English Language Training Assistance (ELTA) dariIndonesia Australia Language Foundation (IALF), saat diwawancara di IALF Bali Senin 10 September 2018.

Agus Sri yang merupakan warga Semarang ini harus menetap di Bali kurang lebih tiga bulan. Lantaran akan tinggal cukup lama, di awal kegiatan, Ia didampingi ibunya untuk melakukan orientasi dan mobilitas.

Selain Agus Sri, adapula Mohammad Lutfi, Tunanetra asal Makassar yang ikut program eLTA. Menurut Lutfi, selain jalan menuju dari dan ke tempat tinggal, koneksi antar ruangan juga perlu dikenali dengan baik. Ia mencontohkan akses yang membawa Tunanetra ke tempat-tempat penting seperti toilet, sarana ibadah, kantin dan perpustakaan.

“Harus diperhatikan tangga yang membawa Tunanetra ke dalam sebuah ruangan, apakah akses atau tidak, licin atau tidak,” ujar Lutfi.
Seorang guru menjajal berjalan menggunakan tongkat karya siswanya, di Kairo, Mesir, Selasa, 4 September 2018. Siswa sekolah teknologi informasi di Kairo merancang tongkat navigasi untuk para penyandang tunanetra. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany
Salah satu tempat yang cukup riskan dilewati Tunanetra adalah kantin. Di kantin Tunanetra harus melakukan orientasi dan mobilitas sedetil mungkin. Bahkan, mereka kadang harus mengingat dengan baik letak kursi dan meja makan.

“Di tempat yang banyak diletakkan rak pajang dari kaca, akan semakin berbahaya bagi Tunanetra lalu lalang, tempat seperti ini biasanya adalah mall dan kantin, tongkat juga tidak bisa dibuka karena beresiko memecahkan kaca,” ujar Pengajar OM dari Yayasan Mitra Netra, Yani, saat diwawancara di tempat terpisah.

Lantaran pentingnya orientasi dan mobilitas - sebagai proses adaptasi, penyelenggara ELTA, IALF menyediakan 10 hari khusus orientasi mobilitas. Proses ini dilakukan peserta Tunanetra ke berbagai ruangan di gedung IALF dan lingkungan sekitarnya.

IALF juga memperkenalkan tempat–tempat penting di sekitar Denpasar seperti rumah Sakit, Apotik, pujasera, pusat perbelanjaan, ATM, Bank hingga pasar tradisional.

“Silahkan peserta [tunanetra] mengenali dengan baik lingkungan kampus IALF dan sekitarnya, kami memberikan waktu cukup luang untuk proses orientasi dan mobilitas ini,” ujar Caroline Bentley, Manajer IALF.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus