Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Dalam Negeri mulai melakukan evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara langsung. Direktur Jenderal Otonomi Daerah Akmal Malik Piliang mengatakan evaluasi itu akan berjalan hingga awal Januari mendatang. Kepada Tempo di kantornya pada Rabu, 20 November lalu, Akmal membeberkan alasan Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi pilkada langsung. Ia juga menjelaskan soal rencana penerapan pilkada asimetris di berbagai wilayah.
Apa yang membuat Kementerian Dalam Negeri mengevaluasi pilkada langsung?
Tidak semua pilkada di 542 daerah sukses. Wajar kalau kami mengevaluasi yang tidak sukses. Hasil evaluasi kami pada 2012, rata-rata butuh Rp 20-50 miliar untuk menjadi bupati atau wali kota. Sekarang katanya rata-rata Rp 30-50 miliar. Padahal take home pay kepala daerah Rp 50 juta sebulan. Setahun cuma Rp 600 juta dan lima tahun Rp 3 miliar. Bandingkan dengan biayanya. Ada yang enggak rasio-nal dari sisi calon kepala daerah.
Pilkada menjadi mahal karena ada praktik politik uang.
Justru itu kami evaluasi dari sisi calon, pemilih, partai politik, dan penyelenggara. Saya enggak menyalahkan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu. Tapi satu tempat pemungutan suara bisa berlapis-lapis pengawasannya. Masyarakat mengawasi, calon dan partai juga, pemerintah ikut mengawasi melalui Bawaslu. Itu kan butuh biaya. Ada juga ketidakpercayaan atau distrust. Harus dibangun trust agar biaya saksi rendah.
Dengan membuat pilkada menjadi tidak langsung, apakah biaya politik jadi rendah?
Saya tidak mengatakan pilkada tidak langsung atau kembali ke DPRD. Saya cuma mengatakan pilkada langsung mahal. Bukan berarti pilkada tidak langsung itu tidak mahal. Jadi mari kita membuatnya jadi murah. Sekarang semua daerah menjerit karena pilkada memakai anggaran daerah. Di wilayah kepulauan seperti Nias atau Aru, mereka tertatih-tatih mencari duit pilkada.
Pilkada oleh DPRD bisa menjadi solusi?
Bisa saja. Tapi jangan disebut kami ingin pemilihan oleh DPRD. Opsi pemerintah tetap pilkada langsung. Kami lakukan evaluasi dulu. Rencananya evaluasi sampai awal Januari. Setelah itu, apakah semua daerah tetap dengan pilkada langsung? Kita tunggu hasil evaluasinya. Sabarlah dulu.
Kenapa pemerintah berencana menerapkan pilkada yang asimetris?
Kita cenderung menggunakan penyelesaian yang sama untuk menyelesaikan masalah yang berbeda. Di Papua, misalnya, apakah kotak suara dipakai? Tidak. Kita memiliki banyak wilayah terpencil, tapi regulasinya sama. Akhirnya yang terjadi adalah pemborosan.
Bagaimana menentukan sistem pilkada yang asimetris atau tidak di suatu daerah?
Asesmennya berdasarkan wilayah. Tidak bisa satu pendekatan yang sama untuk seluruh Indonesia. Ini bukan negara sulap. Kita harus berani memetakan indeks demokrasinya, memetakan kondisi di daerah. Ini yang saya sebut pilkada asimetris.
Dengan sistem yang berbeda, hak pemilih tetap terjamin?
Hak tetap sama. Tapi sistem rentang kendalinya yang dipersingkat. Kami memikirkan juga opsi penggunaan voting elektronik atau e-voting dan rekapitulasi elektronik atau e-recap. Jadi tetap one man one vote. Hanya teknisnya yang diubah. Dengan sistem itu, kita tidak memerlukan saksi lagi.
Kalau pilkada tidak langsung, sudah ada kajiannya?
Baru kami evaluasi. Nanti ujungnya kami akan memberikan rekomendasi setelah berbicara dengan semua pihak, baik internal maupun eksternal. Nanti di-review dengan mengundang lembaga penelitian, seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, juga perguruan tinggi. Baru ujungnya kami bisa mengatakan daerah ini bagusnya begini, daerah itu begini.
Daerah mana saja yang bakal berbeda?
Mungkin daerah terpencil, kepulauan, akan berbeda. Bisa jadi menggunakan rekapitulasi elektronik. Itu kan masuk asimetris juga dari sisi teknis. Bisa juga di Papua akan asimetris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo