Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pabrik itu di tengah hutan

762 ha bekas hutan di bali barat direboisasi dengan tanaman kayu putih. tahun 1974 dengan dana apbd bali dibangun pabrik minyak kayu putih. produksi diharapkan 72 liter per hari.

2 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAWASAN hutan di ujung Bali bagian barat mencatat lagi sejarah baru. Tidak lagi mengenai margasatwa yang terkenal itu -- di sini ada burung jalak putih yang tidak ada di belahan bumi mana pun. Tapi cerita baru prihal sebuah pabrik yang bercokol di tengah hutan lebat. Pabrik ini, 5 km dari jalan raya Gilimanuk, Singaraja, Jumat awal Juni ini diresmikan Gubernur Bali, Soekarmen. Pabrik di tempat sunyi yang banyak margasatwanya ini tentu saja Pabrik Minyak Kayu Putih. karena pohon ini hampir merupakan golongan mayoritas di kawasan hutan Bali Barat. Pabrik ini agaknya bukan sembarangan. Selain barang baru dan satu-satunya di Bali, pabrik ini lahir dari kebetulan-kebetulan saja. Hutan ini memang menyimpan berbagai macam kisah. Di zaman sebelum 1965, hutan ini adalah penyaluran dari aksi sepihak PKI. Hutan dibabat, digunduli tanpa tujuan tertentu dan tanpa kuasa pemerintah mencegahnya. Seluas 130 hektar dijadikan tempat penampungan penduduk yang terkena musibah meletusnya G. Agung. Tapi pembukaan untuk pemukiman sejak 1964 ini semakin merusak kelestarian hutan, sementara aksi-aksi sepihak PKI - yang kemudian diikuti PNI semakin membuat hutan itu merana. Tahun 1967 baru diadakan langkah penanaman kembali pohon senokeling dan bentawas. Awal Pelita I, reboisasi dengan pohon kayu putih dilaksanakan secara besar-besaran di atas tanah 762 ha. Pohon kayu putih itu tumbuh dengan baik dan Dinas Kehutanan Prop. Bali lalu merencanakan mendirikan pabrik penyulingan minyak kayu putih. Banyak Hal Pabrik baru dimulai tahun 1974, dengan biaya dari APBD Bali. Setelah 3 tahun lamanya, saat diresmikan awal Juni ini uang yang dihasilkan mencapai Rp 29.065.143. Tentu saja ini duit baru untuk pabrik saja. Karena pabrik akan terbata-bata tanpa penunjang lain, maka Dinas Kehutanan Bali yang menangani proyek ini sudah cerdik mengerling dana. Jalan sepanjang 5,2 km di sekitar pabrik sudah dibuat tanpa aspal. Yang 2 km seharga Rp 6 juta uangnya dari APBN, sedang yang 3,2 km harganya Rp 9 juta adalah anggaran proyek Inpres No. 8. Bahan baku pabrik yakni daun kayu putih tentu akan lenyap kalau tidak ada penanaman lanjutan secara terus menerus. Nah, sementara pabrik belum menghasilkan duit, penanaman baru sudah pula mendapat kocek dari proyek Inpres bidang penghijauan, ditambah APBN. Jumlahnya lebih dari Rp 14 juta. Apalagi yang kurang? "Yah untuk jalan saja cukup. Tapi untuk sebuah pabrik yang masa depannya cukup menggembirakan banyak hal yang belum dimilikinya", ujar ir. Imam Mudjahid Mardjuki dari Dinas Kehutanan Prop. Bali. Yang kurang-kurang ini sudah dimuat dalam buku laporan untuk gubernur. Misalnya perlu buah truk mini untuk mengangkut daun, perlu jaring-jaring jalan untuk angkutan daun (lagi 25 km), perlu alat pemangkas, gergaji tangan, timbangan, kantor, rumah karyawan dan banyak kalau disebut. Karena pabrik ini akan timpang jalannya kalau daun dipetik pakai tangan, kemudian dipikul dengan keranjang menempuh jalan setapak puluhan kilometer. Sayang, yang kurang-kurang ini belum tahu dari mana uangnya kecuali tumpuan satu-satunya pemerintah daerah Bali sebagai yang empunya pabrik. Sementara pejabat yang hadir di saat peresmian pabrik diajak fikir-fikir agar sarana penunjang pabrik ini segera ada, orang pun kasak-kusuk: "Apa betul pabrik minyak kayu putih ini punya masa depan yang baik?". Kalau ir. Imam Mudjahir cukup optimis. Terlepas sebagai kepala proyek ia punya alasan kuat untuk optimis. Pabrik ini, katanya pada TEMPO di Bali kekuatan penyulingan (sekali masak) 3 ton daun kayu putih. Setiap ton menghasilkan antara 7 sampai 8 liter. Sekali masak itu hanya menyita waktu 8 jam. Jadi kalau ini pabrik bekerja 24 jam terus-menerus hasilnya mencapai 72 liter. "Sungguh besar", katanya. Apakah bahan baku cukup untuk tetap bekerja non stop? "Dengan luas hutan 76 hektar semuanya sudah diperhitungkan", katanya. "Dan mengenai produksi, walau banyak saingan di luar daerah, asal kita bisa menjual dengan harga tidak terlalu tinggi, pabrik ini yakin berjalan baik". Tidak dijelaskan berapa misalnya harga yang tidak tinggi itu. Tetapi Gubernur Soekarmen pagi-pagi sudah membantu pemasaran pabrik ini. Ia menyerukan kepada para pengusaha farmasi yang berdomisili di Bali agar membeli minyak kayu putih di pabrik ini untuk keperluan obatnya. "Setapak demi setapak daerah harus mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, di segala bidang", suara Gubernur sebelum memutus pita di pintu pabrik. Memang masih perlu dinanti, apa pabrik di tengah hutan di desa Sumberkima ini mampu berjalan baik atau nasibnya tersendat-sendat seperti halnya proyek Pemda Bali yang lain. Bali Tex misalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus