KAWASAN hutan di ujung Bali bagian barat mencatat lagi sejarah
baru. Tidak lagi mengenai margasatwa yang terkenal itu -- di
sini ada burung jalak putih yang tidak ada di belahan bumi mana
pun. Tapi cerita baru prihal sebuah pabrik yang bercokol di
tengah hutan lebat. Pabrik ini, 5 km dari jalan raya Gilimanuk,
Singaraja, Jumat awal Juni ini diresmikan Gubernur Bali,
Soekarmen. Pabrik di tempat sunyi yang banyak margasatwanya ini
tentu saja Pabrik Minyak Kayu Putih. karena pohon ini hampir
merupakan golongan mayoritas di kawasan hutan Bali Barat.
Pabrik ini agaknya bukan sembarangan. Selain barang baru dan
satu-satunya di Bali, pabrik ini lahir dari
kebetulan-kebetulan saja. Hutan ini memang menyimpan berbagai
macam kisah. Di zaman sebelum 1965, hutan ini adalah penyaluran
dari aksi sepihak PKI. Hutan dibabat, digunduli tanpa tujuan
tertentu dan tanpa kuasa pemerintah mencegahnya. Seluas 130
hektar dijadikan tempat penampungan penduduk yang terkena
musibah meletusnya G. Agung.
Tapi pembukaan untuk pemukiman sejak 1964 ini semakin merusak
kelestarian hutan, sementara aksi-aksi sepihak PKI - yang
kemudian diikuti PNI semakin membuat hutan itu merana. Tahun
1967 baru diadakan langkah penanaman kembali pohon senokeling
dan bentawas. Awal Pelita I, reboisasi dengan pohon kayu putih
dilaksanakan secara besar-besaran di atas tanah 762 ha. Pohon
kayu putih itu tumbuh dengan baik dan Dinas Kehutanan Prop. Bali
lalu merencanakan mendirikan pabrik penyulingan minyak kayu
putih.
Banyak Hal
Pabrik baru dimulai tahun 1974, dengan biaya dari APBD Bali.
Setelah 3 tahun lamanya, saat diresmikan awal Juni ini uang yang
dihasilkan mencapai Rp 29.065.143. Tentu saja ini duit baru
untuk pabrik saja. Karena pabrik akan terbata-bata tanpa
penunjang lain, maka Dinas Kehutanan Bali yang menangani proyek
ini sudah cerdik mengerling dana. Jalan sepanjang 5,2 km di
sekitar pabrik sudah dibuat tanpa aspal. Yang 2 km seharga Rp 6
juta uangnya dari APBN, sedang yang 3,2 km harganya Rp 9 juta
adalah anggaran proyek Inpres No. 8. Bahan baku pabrik yakni
daun kayu putih tentu akan lenyap kalau tidak ada penanaman
lanjutan secara terus menerus. Nah, sementara pabrik belum
menghasilkan duit, penanaman baru sudah pula mendapat kocek
dari proyek Inpres bidang penghijauan, ditambah APBN. Jumlahnya
lebih dari Rp 14 juta.
Apalagi yang kurang? "Yah untuk jalan saja cukup. Tapi untuk
sebuah pabrik yang masa depannya cukup menggembirakan banyak hal
yang belum dimilikinya", ujar ir. Imam Mudjahid Mardjuki dari
Dinas Kehutanan Prop. Bali. Yang kurang-kurang ini sudah dimuat
dalam buku laporan untuk gubernur. Misalnya perlu buah truk
mini untuk mengangkut daun, perlu jaring-jaring jalan untuk
angkutan daun (lagi 25 km), perlu alat pemangkas, gergaji
tangan, timbangan, kantor, rumah karyawan dan banyak kalau
disebut. Karena pabrik ini akan timpang jalannya kalau daun
dipetik pakai tangan, kemudian dipikul dengan keranjang menempuh
jalan setapak puluhan kilometer. Sayang, yang kurang-kurang ini
belum tahu dari mana uangnya kecuali tumpuan satu-satunya
pemerintah daerah Bali sebagai yang empunya pabrik.
Sementara pejabat yang hadir di saat peresmian pabrik diajak
fikir-fikir agar sarana penunjang pabrik ini segera ada, orang
pun kasak-kusuk: "Apa betul pabrik minyak kayu putih ini punya
masa depan yang baik?". Kalau ir. Imam Mudjahir cukup optimis.
Terlepas sebagai kepala proyek ia punya alasan kuat untuk
optimis. Pabrik ini, katanya pada TEMPO di Bali kekuatan
penyulingan (sekali masak) 3 ton daun kayu putih. Setiap ton
menghasilkan antara 7 sampai 8 liter. Sekali masak itu hanya
menyita waktu 8 jam.
Jadi kalau ini pabrik bekerja 24 jam terus-menerus hasilnya
mencapai 72 liter. "Sungguh besar", katanya. Apakah bahan baku
cukup untuk tetap bekerja non stop? "Dengan luas hutan 76
hektar semuanya sudah diperhitungkan", katanya. "Dan mengenai
produksi, walau banyak saingan di luar daerah, asal kita bisa
menjual dengan harga tidak terlalu tinggi, pabrik ini yakin
berjalan baik". Tidak dijelaskan berapa misalnya harga yang
tidak tinggi itu.
Tetapi Gubernur Soekarmen pagi-pagi sudah membantu pemasaran
pabrik ini. Ia menyerukan kepada para pengusaha farmasi yang
berdomisili di Bali agar membeli minyak kayu putih di pabrik ini
untuk keperluan obatnya. "Setapak demi setapak daerah harus
mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, di segala bidang", suara
Gubernur sebelum memutus pita di pintu pabrik.
Memang masih perlu dinanti, apa pabrik di tengah hutan di desa
Sumberkima ini mampu berjalan baik atau nasibnya
tersendat-sendat seperti halnya proyek Pemda Bali yang lain.
Bali Tex misalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini