PENDUDUK desa Silaut memang terkejut juga ketika tiba-tiba
pesawat heli Puma Airfast mendarat di lapangan kecil yang
berdekatan dengan gedung SD dan kantor desa. Tentu saja banyak
yang ingin tahu. Dari kerumunan tampil seorang laki-laki
bertubuh kecil. Dia adalah kepala desa yang datang menyambut.
Suasananya memang agak kaku. Maklum saja penduduk Silaut '93 km
dari Padang, memang masih terisolir di pedalaman, terjebak
hutan belantara. "Mobil terakhir liwat di sini 25 tahun yang
silam", kata kepala desa Rasyidin kepada ir. Harun Alrasyid KDPU
Sumbar yang datang meninjau.
Desa Silaut adalah desa paling selatan dari Pesisir Selatan.
Berbatasan dengan propinsi Bengkulu, boleh jadi Silaut potret
lain dari Pesisir Selatan. "Jelek-jelek begini, kami bangga desa
ini sempat dimampiri Soekarno", kata seorang tua desa yang lain.
Dan rupanya kisah Soekarno bekas presiden RI yang pulang dari
pembuangan dari Bengkulen menuju Bukittinggi tahun 1943 masih
hidup di sana.
Meski terisolir macam itu Silaut memang tak terlalu malang
dibanding beberapa desa yang terletak di jalan-jalan propinsi di
Pesisir Selatan. Sebab ternyata kondisi ekonomi warga
cukupan. meski 514 warga desa terpaksa mendatangkan beras dari
luar desa dengan memikul pada jalan setapak. Itu berhari-hari
terutama dari Tapan, desa yang terletak 40 km utara Silaut.
Rumah-rumah yang ada dalam hutan itu lumayan. Bahkan banyak yang
sedang diperbaharui. "Produksi kopi kami cukup baik", begitu
seorang anak muda yang mendampingi kepala desa menjelaskan
kepada TEMPO.
Harapan Itu
Kepala dinas PU Sumbar yang datang menienguk Silaut memang jadi
pusat perhatian penduduk. Apalagi ketika diberitahu bahwa ir.
Harun adalah orang yang bertanggung jawab dalam soal jalan dan
jembatan. "Kami mohon jalan ini dibuka kembali. Golkar menang
100 persen di sini", kata Kepala Desa Silaut. Desa ini dulu
pernah jadi lintasan jalan Bengkulu-Sumatera Barat. Pembukaan
jalan itu sudah dimulai sejak zaman Belanda, kemudian diteruskan
zaman Jepang. Sekitar tahun 50-an jalan itu sudah berfungsi.
Sayang sejak tahun 1952 Silaut kembali dipagut rimba. Jalan
lebar sudah jadi jalan setapak lagi. Bahkan sebuah jembatan yang
hampir rampung tahun 158 dimusnahkan untuk menghambat invasi
ABRI yang datang dari Bengkulu ketika pecah peristiwa PRRI.
Warga pedalaman itu memang menyambut hangat ketika ir. Harun
menegaskan bahwa pembukaan jalan ke Silaut kini sedang dimulai.
Bahkan separuhnya sudah jadi.
Silaut memang desa kecil meski luasnya lumayan yakni 10 km
persegi Namun begitu desa ini punya potensi besar dengan tanaman
kopi yang kini dibuka warga di sana meliputi hampir 200 ha,
sebagai dituturkan seorang tokoh desa itu kepada TEMPO. Dalam
keterasingannya, Silaut memang mewakili banyak desa lain di
Pesisir Selatan yang terjebak karena tiadanya komunikasi. Dan
itulah masalah Pesisir Selatan. "Tidak banyak yang bisa saya
buat jika faktor prasarana jalan tidak bisa dipecahkan", kata
Bupati drs. Abrar beberapa waktu yang lalu kepada TEMPO.
Pesisir Selatan sejak lama populer dengan julukan daerah
"harapan". Dan itu bukan tanpa alasan. Daerah yang luas meliputi
lebih dari 57.000 km persegi itu dengan jumlah penduduk yang
tipis yakni 285.000 jiwa dikenal sebagai potensil. Hutan dan
dataran luas masih perawan. Beberapa bagian dari 36 desa yang
ada di 7 kecamatan tiap tahun memberikan sumbangan yang lumayan
besar untuk peningkatan ekspor Sumatera Barat yaitu karet, kulit
manis dan kopi.
Tapi dibanding dengan daerah tingkat II lainnya di Sumatera
Barat Pesisir Selatan memang tertinggal jauh. Itulah sebabnya
mengapa istilah "harapan" melekat pada daerah itu bersama
Kabupaten Pasaman dan Sawah Lunto Sijunjung. Belakangan ini
pandangan ke daerah harapan oleh perancang pembangunan ditingkat
propinsi dan pusat makin meningkat. Tak kurang dari gubernur
Harun Zain yang seringkali menegaskan bahwa alokasi proyek ke
daerah harapan itu supaya ditingkatkan. Kebijaksanaan macam itu
makin terlihat dengan dilaksanakannya beberapa proyek Pelita
Nasional di daerah itu. Misalnya sebuah pengairan besar sedang
dibangun di desa Tapan.
Sejalan dengan kebijaksanaan Harun Zain macam itu Departemen
PUTL memberikan perhatian pula dengan perlunya peningkatan
prasarana jalan sebagai hal pokok bagi Pesisir. "Jalan tembus
menuju Bengkulu liwat Silaut dimaksudkan untuk mendukung program
itu", kata ir. Harun Alrasyid KDPU Sumbar.
Jalan tembus itu sebenarnya sudah dimulai sejak 3 tahun yang
silam secara bertahap. Sampai akhir bulan lalu 20 km sudah jadi
dengan 13 buah jembatan baru dari Tapan sampai ke Lunang.
Sisanya kini kurang lebih 20 km lagi sedang dikerjakan menuju
Silaut terus ke perbatasan Bengkulu. "Ada 17 buah jembatan lagi
yang sedang kita kerjakan", kata ir. Jan Arifin kepala bagian
jalan dan jembatan DPU Sumatera Barat.
Masalah yang menghadang orang PU untuk membuka kembali jalan
menuju Bengkulu itu adalah beratnya medan yang harus dihadapi.
Soalnya yang ada cuma jalan setapak. Padahal untuk pekerjaan
besar-besaran itu diperlukan peralatan besar. Karena itu
peralatan jembatan diangkut dengan heli Puma ke tiap lokasi.
"Akhir bulan lalu semua peralatan sudah berada di tempat", kata
ir. Harun Alrasyid.
Tahap pertama dalam rangkaian pembukaan jalan menuju Bengkulu
itu memang dimaksudkan untuk menembus isolasi saja lebih dahulu.
"Pokoknya bisa mobil liwat dalam kondisi jalan seangan saja",
kata ir. Harun. Itu tentu berkaitan dengan dana yang ada. "Dana
yang tersedia cuma Rp 182 juta", begitu ditegaskan ir. Jan
Affin.
Pesisir Selatan disiapkan pula sebagai bagian dari penampungan
transmigrasi. Sejak beberapa tahun terakhir ini tranmigrasi
sudah ditempatkan di beberapa desa antara lain di Lunang. Bahkan
juga transmigran lokal kini sudah menempati beberapa bagian
tanah yang luas di Amping Parak.
Pesisir Selatan selama ini memang sudah punya jalan propinsi
utama yang membentang dari Padang menuju perbatasan Kerinci di
propinsi Jambi. Panjangnya lumayan yakni hampir 300 km. "Ini
jalan propinsi terpanjang di Sumbar", kata ir Jan Affin.
Malangnya kondisi jalan propinsi itu masih jelek dibanding jalan
propinsi yang lain. Hanya separuh yang sudah diaspal. Itupun di
beberapa tempat. Dengan kondisi begitu seringkali hubungan
antara Padang dan Kerinci putus sewaktu-waktu. Padahal kebutuhan
Kerinci lebih banyak didatangkan dari Padang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini