PELAPIS kepala, helm, akhirnya diwajibkan di Jakarta. Mulai 1 Agustus ini, setiap pengendara sepeda motor yang melintasi jalan protokol Jenderal Sudirman (Bunderan Senayan-Setiabudi) dan Gatot Subroto (Jembatan Layang Kuningan-Balai Sidang) harus memakai topi pengaman itu. "Siapa yang tidak mau pakai helm, jangan lewat di situ," kata kepala Polda Metro Jaya, Mayor Jenderal Soedarmadji. Langkah ini kelak akan diteruskan ke berbagai jalur jalan lainnya di Jakarta. Soedarmadji belum menyebut kapan kewajiban memakai helm diberlakukan di seluruh wilayah Ibu Kota. Tapi sumber TEMPO di Mabak menyebutkan, Kapolri memberi target waktu selama lima tahun untuk pemakaian helm di seluruh Indonesia. Sebelum itu, sampai 1987, seluruh kota besar harus sudah pakai helm. Kenapa harus lima tahun? "Sebab, kita sekarang menggunakan cara-cara persuasif," jawab sumber itu. Cara ini sudah dicoba Soedarmadji ketika menjadi kepala Polda Ja-Tim, untuk memasyarakatkan helm di Surabaya. Ketika dimulai, 1982, pengendara sepeda motor wajib memakai helm di dua jalan utama kota itu. "Kita mengondisikannya dulu, tidak tiba-tiba menyuruh orang serempak memakai helm," ujar Soedarmadji. Dua tahun kemudian kewajiban itu diperluas meliputi delapan jalan utama - Dan kini seluruh jalan utama, seperti Jalan Raya Darmo, Urip Sumohardjo, Basuki Rachmat, dan Blauran, sudah "wajib helm". Pada mulanya, pengendara yang tak pakai helm akan memilih jalur jalan yang masih "bebas helm". Tapi, lama-kelamaan, ketika jalur jalan "wajib helm" diperluas, cara itu tidak lagi efisien. "Mereka harus berputar putar, dan akhirnya akan menyerah, pakai helm," kata Soedarmadji berteori. Menurut sumber Mabak tadi, cara polisi menerapkan pemakaian helm sekarang memperhatikan juga kegagalan tahun 1971. Ketika itu, melalui maklumat 2 Agustus, Kapolri Hoegeng Iman Santoso mewajibkan pemakai sepeda motor mengenakan topi penyelamat itu. Ternyata, timbul berbagai reaksi pro dan kontra di masyarakat: ada yang menolak karena harus keluar uang membeli helm, ada yang mempersoalkan dasar hukumnya, malah ada yang curiga polisi main mata dengan importir helm. "Soalnya, ketika itu masyarakat belum dikondisikan memakai helm,sehingga maksud baik Kapolri itu disalahtafsirkan," kata perwira menengah di Mabak itu. Padahal, dari penelitian yang dilakukan polisi ketika itu, 1972, "Sekitar 50% korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal disebab kan luka di bagian kepala." Belakangan, kematian akibat cedera kepala itu menanjak. Di RSCM Jakarta, misalnya, 75% kasus cedera kepala yang dirawat disebabkan kecelakaan lalu lintas. Dari jumlah itu, angka kematian sekitar 60%. Sepanjang 1983, untuk contoh, ada 133 pengendara sepeda motor yang tewas, 95 di antaranya diketahui mati akibat cedera kepala karena tak memakai helm. Data di berbagai rumah sakit di kota-kota besar lainnya juga menunjukkan keadaan yang tak jauh berbeda (TEMPO, 19 Januari 1985). Tak mengherankan kalau kemudian polisi menjadikan helm sebagai alterna-tif, seperti yang sudah dimulai Kapolda Soedarmadji di Surabaya itu. Belakangan, awal tahun ini, Kapolri Anton Soedjarwo mewajibkan seluruh anggota polisi memakai helm bila bersepeda motor. Setelah itu, di berbagai provinsi, para kapolda mulai mewaijibkan masyarakat memakai topi pengaman itu di jalur jalan utama. DiJawa Tengah, misalnya, sejak bulan lalu helm diwajibkan di tiap kota kabupaten. Malah, menurut sumber Mabak, di Jawa Tengah sedang ada usaha membuat peraturan daerah (perda) tentang kewajiban memakai helm. "Kalau melalui undang-undang prosesnya lama, kalau perda 'kan boleh saja dikeluarkan tiap daerah," ujar sumber itu. Di Jakarta kewajiban memakai helm itu juga belum dilandasi undang-undang. Karena itu, yang diharapkan adalah kesadaran pengendara. Untuk sementara, yang wajib memakai helm di Jalan Sudirman dan Gatot Subroto terbatas pada pengendara, sedangkan yang dibonceng masih bebas helm. Tapi nanti, kata Soedarmadji, "Kalau istri mau pakai sanggul, harus naik taksi atau bemo, biar suami naik sepeda motor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini