GEDUNG Pengadilan Negeri Malang, Jawa Timur, dijaga ketat. Sekitar satu peleton polisi, Senin pekan ini, tampak berjaga-jaga mulai pintu masuk hingga pintu utama gedung, yang hari itu tampak dibanjiri pengunJung. Mereka adalah para pendatang yang rupanya ingin menyaksikan peristiwa yang memang agak langka di kota dingin itu. Yakni pemeriksaan perkara subversif. Secara maraton, mulai hari itu, pengadilan tersebut mulai memeriksa lima berkas perkara yang diajukan jaksa, sebagai kasus yang antara lain masuk kategori merongrong ideologi negara. Yang pertama, dan sudah mulai diperiksa Senin itu, adalah dua terdakwa, Andi Sukisno, 21, mahasiswa IKIP Malang, dan Murdjoko, 26, karyawan tata usaha Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang. Sedangkan tiga kasus lainnya, yang menyangkut terdakwa Sugeng Budiono, Faisal Fachri, dan Ir. Fachtul Wiyoto segera diajukan hari-hari berikutnya. Sesuai dengan surat tuduhan Jaksa Goenardi Hadisetioko, mereka semua terlibat dalam kegiatan antara lain merongrong atau menyelewengkan ideologi Pancasila, lewat pembentukan wadah Lembaga Pendidikan & Pengkajian Pesantren Kilat (LP3K). Lembaga ini didirikan di Malang, pada 1982, oleh Mohammad Achwan. Aktif mengadakan ceramah-ceramah dan pengajian, pesantren ini mula-mula beranggotakan sekitar 50 orang. Lalu mempunyai cabang di pelbagai kota. Karena ceramah-ceramah yang diberikan di pesantren ini dianggap keras dan selalu mendiskreditkan pemerintah, pesantren ini ditutup pada akhir 1984. Pemimpinnya, Mohammad Achwan, juga akan segera diadili. Melalui pesantren itu pula, kata Jaksa, mereka dituduh berusaha menggulingkan, merusakkan, atau merongrong kekuasaan negara, serta menyebarkan rasa permusuhan, atau menimbulkan permusuhan dan kekacauan di kalangan penduduk atau masyarakat dengan menanamkan rasa fanatisme kepada para peserta Program Pembinaan Kepribadian Muslim (PPKM). Untuk tuduhan itu, para terdakwa diancam hukuman pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun. Di pemeriksaan pertama, kasus Andi Sukisno dan Murdjoko, yang diadili di ruang terpisah itu, petugas kepolisian tampak mencatat identitas semua yang ingin masuk ke sidang pengadilan. Namun, kedua terdakwa terlihat santai saja menghadapi sidang yang dihadiri sejumlah wanita berjilbab itu. Baik Andi, yang bertubuh kecil, berkumis dan berjanggut tipis, maupun Murdjoko, yang tinggi tegap dan berewokan, tak tampak tegang menghadapi majelis. Kedua terdakwa ini mulai ditahan 29 Januari 1985. Andi ditangkap sesaat tiba dari kuliah di rumahnya. Sedangkan Murdjoko, menurut orangtuanya, diciduk oleh empat petugas Kodim hanya satu jam setelah terjadi ledakan di sebuah gereja pada malam Natal tahun lalu. Kepada TEMPO, keluarga Murdjoko mengaku tak tahu persis apa kesalahan anak mereka. Hanya, ketika ditangkap, dia disebut-sebut terlibat dalam kegiatan Pesantren Kilat. "Dia memang bercita-cita jadi mubalig, jadi masuk Pesantren Kilat. 'Kan pesantren seperti itu juga dianjurkan pemerintah?" kata Muhammad Dali, 65, ayah Murdjoko. Dia membantah anaknya membenci Pancasila. "Dia itu sering memimpin kegiatan simulasi P4 di Karang Taruna. Kenapa kok bisa dituduh anti-Pancasila?" tanya ayah sepuluh anak itu. Sidang terhadap para terdakwa dari Pesantren Kilat, Malang, itu masih akan dilanjutkan hari-hari ini. Dan baik Murdjoko maupun Andi masih menghadapi tuduhan terlibat kasus subversif itu dengan santai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini