PEMASANGAN patok tapal batas Indonesia-Malaysia di daratan Kalimantan tertunda lagi. Dalam pertemuan dua pekan silam di Kuala Lumpur, panitia untuk menyelesaikan garis perbatasan kedua negara itu gagal mencapai kata sepakat. Seperti 10 perundingan sebelumnya yang dimulai sejak 1974, delegasi kedua negara menghadapi jalan buntu karena adanya perbedaan penafsiran beberapa ayat konvensi perbatasan, peninggalan Inggris dan Belanda. Konvensi yang menetapkan tapal batas bekas jajahan kedua negara itu disepakati 1891, 1915, dan 1928. Perbatasan Indonesia-Malaysia sepanjang 1.746 km membentang dari Pulau Sebatik di antara Kalimantan Timur dan Sabah sampai di batas Kalimantan Barat dengan Kucing Serawak. Pada zaman kolonial, perbatasan ditandai dengan patok-patok kayu. Tapi kemudian patok-patok kayu itu lenyap dimakan umur. Setelah kedua negara merdeka, pada 1973, disepakati untuk menata kembali tapal batas dan survei peta perbatasan. Untuk menarik garis yang tepat, panitia perbatasan secara rutin mengadakan pertemuan, sedikitnya setahun sekali. Walau demikian, pelaksanaan penataan tapal batas itu tidak terlalu mulus. Setelah 11 kali perundingan, baru 464 km atau seperempat nya garis batas yang selesai dipatok. Sementara itu, tim juga menghadapi perbedaan penafsiran atas konvensi yang ditinggalkan Inggris dan Belanda, yang kebetulan memang menjadi pegangan pokok kedua pihak. Sebagai misal, awal batas di baglan timur (Sabah-Kal-Tim) di Pulau Sebatik. Pihak Indonesia meragukan pilar yang menjadi batas, yang menurut konvensi 1915 terletak pada garis 410 Lintang Utara. Masih di ujung timur perbatasan, kedua pihak belum sependapat mengenai daerah muara Sungai Segai dan Sinapat. Pihak Indonesia, berdasarkan perjanjian 1915, mengklaim sebagai wilayahnya, sementara Malaysia enganggapnya masuk bagian bekas jajahan Inggris. Sedangkan persoalan di bagian tengah garis batas, kelihatannya, tidak terpancang pada pengelompokan penduduk yang menghuninya. Penduduk Indonesia dan Malaysia pernah mengadakan tukar-menukar tanah garapan meliputi 230 hektar. Masalah garis batas di bagian darat juga menyita waktu banyak terutama menyangkut penafsiran generally north.. Indonesia menganggap garis batas itu harus tepat mengarah ke utara. Sebaliknya, Malaysia menafsirkan bisa sedikit condong ke timur laut atau barat laut. Akibatnya, garis demarkasi bisa bergeser sampai 600 meter. Daerah lain yang masih menjadi "rebutan" di sektor barat antara lain Batu Aum, Jagoi, dan Gunung Raya. Dasar perbedaan penafsiran itu mungkin pada sistem pengukuran. Indonesia menganut sistem water shed atau pemisahan aliran air yang sering dipakai untuk menetapkan tapal batas dua negara di berbagai tempat. Sistem ini sekaligus bisa memisahkan pengelompokan penduduk yang menghuninya karena dibatasi oleh puncak dan punggung gunung atau bukit. Garis dan patok batas memang akan dipasang di sepanjang Bukit Kelingkan, Pegunungan Kapuas Hulu, dan lain-lain. Untuk daerah yang datar, batas kedua negara bisa dilihat lewat pos-pos atau patok yang dibuat dari kayu. Delegasi Indonesia yang dipimpin sekjen Departemen Dalam Negeri Aswis Marmo, dalam perundingan itu, konon, meminta agar perbedaan interpretasi itu diangkat ke tingkat menteri. Dan delegasi Malaysia, yang diketuai Datuk Nasruddin Bahari, sekjen Kementerian Pembangunan Tanah dan Wilayah, merasa tidak perlu. Jalan buntu yang dihadapi, menurut Datuk Nasruddin kepada wartawan TEMPO di Kuala Lumpur Ekram H. Atamimi, sebenarnya semata -mata masalah teknis. Tentu saja, mematok tapal batas kedua negara itu akan makan waktu lama. Menteri Pembangunan Tanah dan Wilayah Datuk Seri Adib Adam ketika membuka perundingan RI-Malaysia itu memperkirakan, paling cepat tahun 2000 pemancangan tiang untuk garis batas akan selesai. Syaratnya, perbedaan penafsiran segera dihindari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini