Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Panggilan Gatotkaca

Abri membuka kesempatan bagi lulusan sma untuk jadi penerbang tanpa lewat pendidikan akabri. program ini disebut ikatan dinas pendek. pangkat akan sama dengan akabri, perbedaan pada masa pensiun.

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABRI mengambil jalan pintas -- untuk memenuhi kebutuhan penerbangnya. Ternyata perkembangan sarana ABRI yang semakin membaik -- terutama di bidang yang menyangkut pesawat terbang --tak bisa diimbangi oleh jumlah lulusan dari sekolah penerbangnya sendiri. Maka sejak tahun ini Sekolah Penerbang (Sekbang) ABRI menerima pula lulusan SMA secara langsung. Program ini disebut program Ikatan Dinas Pendek (IDP). Sebelumnya, sejak 1950, Sekbang ini hanya mendidik calon dari Akabri. Selama ini, telah 27 angkatan, rata-rata Akabri Udara mendidik 50 calon penerbang tiap tahun. Dan dari catatan ini Markas Besar Angkatan Udara (MBAU) diketahui, ternyata hanya sekitar 60% yang lulus. "Dan dari jumlah itu yang mampu menjadi penerbang pesawat tempur modern hanya 7 atau 8 orang," tutur Marsekal Pertama Karjoto, Kepala Jawatan Personil MBAU. Betapa sedikitnya. Maka sekitar 5 ribu lembar poster ukuran 65 x 45 cm, yang berisi pengumuman penerimaan calon penerbang ABRI langsung, disebar ke seantero SMA di seluruh Indonesia. Pendaftaran masuk itu sendiri -- bisa lewat Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta -- dibuka sejak awal Juni lalu sampai 10 Juli pekan depan. Pihak MBAU menargetkan jumlah pendaftar sekitar 1.600. 'Meski yang akan diterima hanya 40 orang," kata Karjoto pula. "Rasio 140 kiranya cukup baik. Akabri sendiri rasio penerimaan tarunanya berbanding 1 : 20. Untuk kali ini barulah lulusan SMA IPA yang diterima yang dari STM masih dipertimbangkan. Pendidikannya itu sendiri berlangsung di Sekbang ABRI Wing Pendidikan I Lanuma Adisucipto, Yogyakarta, untuk pendidikan awal dan dasar. Kurikulum persis sama dengan yang untuk pendidikan calon dari Akabri. Hanya, ada tambahan. Empat bulan pertama, calon penerbang langsung yang sipil ini dilatih kemiliteran dulu. Baru kemudian pendidikan penerbangannya ground school 3 bulan, pendidikan awal 4 bulan, selanjutnya pendidikan dasar dan lanjut. Dari masa pendidikan awal sudah ada penjurusan. Selama 4 bulan latihan pertama itu, biasanya para calon penerbang sudah ketahuan bakatnya. Mereka yang ternyata berbakat mengemudikan pesawat dengan sayap tetap, pendidikannya tetap di Lanuma Adisucipto, dengan pesawat T-34C. Yang berbakat mengemudikan pesawat dengan sayap berputar, alias helikopter, dikirim ke Bogor -- sebab di situlah pendidikan untuk penerbang heli. Yang pesawat bersayap tetap masih dibagi lagi yang duduk di kabin pesawat tempur dan yang di pesawat transpor. Yang tempur, kini dilatih dengan HS Hawk. Pendidikannya di Madiun. Yang transpor di Lanuma Halim Perdanakusuma pula. Total jenderal lama pendidikan 19 bulan. "Itu tak berarti yang menjurus ke pesawat tempur lebih jago dari yang belajar mengemudikan heli atau pesawat transpor," tutur Karjoto pula. "Masing-masing bagian punya kelebihan dan sama-sama diperlukan." Dan dijanjikan, penerbang ABRI yang dari Akabri maupun yang lewat IDP tak bakal dibedakan kepangkatannya. Setelah masa gemblengan, mereka yang lulus diberi pangkat calon perwira penerbang. Setelah dua tahun tugas dalam angkatan yang ditunjuk, langsung letnan muda. "Dihitung-hitung sanla dengan yang dari Akabri. Artinya, 4 tahun setelah lulus SMA, yang dari Akabri pun berpangkat Letda," kata Karjoto. Toh diakui oleh Sumardjono, Kabag Urpen Lanuma Adisucipto, kira-kira "yang dari Akabri dari segi kemiliterannya lebih tangguh." Dia memberi alasan. Untuk menjadi penerbang ABRI, apalagi untuk pesawat tempur, persyaratannya sebenarnya tidak mudah. Yang dari Akabri saja tak banyak yang bisa lolos. Serangan Musuh Perbedaan yang jelas lari segi lain. Namanya saja (penerbang yang dari sipil ini) Ikatan Dinas Pendek. Artinya, masa pensiun mereka bukan tanggungan Hankam. Jadi setelah 10 tahun bertugas mereka akan disalurkan ke perusahaan penerbangan non-ABRI. "tentu saja, sebelum dilepas mereka diberi kesempatan mengambil lisensi menerbangkan pesawat sipil," tutur Karjoto dari MBAU itu. Menurut dugaannya akan banyak perusahaan penerbangan yang bersedia menampung mereka. "Pertama, perusahaan itu tak susah-susah menyekolahkan orang. Kedua, umur mereka pun waktu itu relatif masih muda, baru 30-an." Tapi hal itu tak menutup kasus-kasus istimewa. Misalnya saja, bila ada penerbang ABRI program IDP yang ternyata berbakat sekali membawa pesawat tempur -- mungkin akan diperpanjang masa tugasnya. "Yang jelas para penerbang dari sipil itu tak bisa menduduki jabatan struktural." Tak mungkin mereka menjadi komandan satuan Skuadom pesawat pemburu, misalnya. Baik pihak Wing Pendidikan I Lanuma Adisucipto maupun MBAU optimistis terhadap kebijaksanaan Hankam ini. Meski mereka tahu, menjadi penerbang di perusahaan penerbangan sipil bisa lebih sukses dari segi ekonomis, pendidikan penerbang ABRI ini gratis. Dan di samping diasramakan juga ada uang saku. Lebih dari itu, "menjadi penerbang ABRI ada kebanggaan lain, lho," ucap Marsekal Pertama Karjoto. "Siapa tahu bisa duduk dalam kokpit pesawat super sonic dan ikut menjaga udara Indonesia dari serangan musuh." Bagai Gatutkaca menjaga Kerajaan Amarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus