ABRI mengambil jalan pintas -- untuk memenuhi kebutuhan
penerbangnya. Ternyata perkembangan sarana ABRI yang semakin
membaik -- terutama di bidang yang menyangkut pesawat terbang
--tak bisa diimbangi oleh jumlah lulusan dari sekolah
penerbangnya sendiri.
Maka sejak tahun ini Sekolah Penerbang (Sekbang) ABRI menerima
pula lulusan SMA secara langsung. Program ini disebut program
Ikatan Dinas Pendek (IDP). Sebelumnya, sejak 1950, Sekbang ini
hanya mendidik calon dari Akabri.
Selama ini, telah 27 angkatan, rata-rata Akabri Udara mendidik
50 calon penerbang tiap tahun. Dan dari catatan ini Markas
Besar Angkatan Udara (MBAU) diketahui, ternyata hanya sekitar
60% yang lulus. "Dan dari jumlah itu yang mampu menjadi
penerbang pesawat tempur modern hanya 7 atau 8 orang," tutur
Marsekal Pertama Karjoto, Kepala Jawatan Personil MBAU. Betapa
sedikitnya.
Maka sekitar 5 ribu lembar poster ukuran 65 x 45 cm, yang berisi
pengumuman penerimaan calon penerbang ABRI langsung, disebar ke
seantero SMA di seluruh Indonesia. Pendaftaran masuk itu sendiri
-- bisa lewat Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta --
dibuka sejak awal Juni lalu sampai 10 Juli pekan depan. Pihak
MBAU menargetkan jumlah pendaftar sekitar 1.600. 'Meski yang
akan diterima hanya 40 orang," kata Karjoto pula. "Rasio 140
kiranya cukup baik. Akabri sendiri rasio penerimaan tarunanya
berbanding 1 : 20.
Untuk kali ini barulah lulusan SMA IPA yang diterima yang dari
STM masih dipertimbangkan. Pendidikannya itu sendiri berlangsung
di Sekbang ABRI Wing Pendidikan I Lanuma Adisucipto, Yogyakarta,
untuk pendidikan awal dan dasar. Kurikulum persis sama dengan
yang untuk pendidikan calon dari Akabri.
Hanya, ada tambahan. Empat bulan pertama, calon penerbang
langsung yang sipil ini dilatih kemiliteran dulu. Baru kemudian
pendidikan penerbangannya ground school 3 bulan, pendidikan awal
4 bulan, selanjutnya pendidikan dasar dan lanjut.
Dari masa pendidikan awal sudah ada penjurusan. Selama 4 bulan
latihan pertama itu, biasanya para calon penerbang sudah
ketahuan bakatnya. Mereka yang ternyata berbakat mengemudikan
pesawat dengan sayap tetap, pendidikannya tetap di Lanuma
Adisucipto, dengan pesawat T-34C. Yang berbakat mengemudikan
pesawat dengan sayap berputar, alias helikopter, dikirim ke
Bogor -- sebab di situlah pendidikan untuk penerbang heli.
Yang pesawat bersayap tetap masih dibagi lagi yang duduk di
kabin pesawat tempur dan yang di pesawat transpor. Yang tempur,
kini dilatih dengan HS Hawk. Pendidikannya di Madiun. Yang
transpor di Lanuma Halim Perdanakusuma pula. Total jenderal lama
pendidikan 19 bulan.
"Itu tak berarti yang menjurus ke pesawat tempur lebih jago dari
yang belajar mengemudikan heli atau pesawat transpor," tutur
Karjoto pula. "Masing-masing bagian punya kelebihan dan
sama-sama diperlukan."
Dan dijanjikan, penerbang ABRI yang dari Akabri maupun yang
lewat IDP tak bakal dibedakan kepangkatannya. Setelah masa
gemblengan, mereka yang lulus diberi pangkat calon perwira
penerbang. Setelah dua tahun tugas dalam angkatan yang ditunjuk,
langsung letnan muda.
"Dihitung-hitung sanla dengan yang dari Akabri. Artinya, 4 tahun
setelah lulus SMA, yang dari Akabri pun berpangkat Letda," kata
Karjoto.
Toh diakui oleh Sumardjono, Kabag Urpen Lanuma Adisucipto,
kira-kira "yang dari Akabri dari segi kemiliterannya lebih
tangguh." Dia memberi alasan. Untuk menjadi penerbang ABRI,
apalagi untuk pesawat tempur, persyaratannya sebenarnya tidak
mudah. Yang dari Akabri saja tak banyak yang bisa lolos.
Serangan Musuh
Perbedaan yang jelas lari segi lain. Namanya saja (penerbang
yang dari sipil ini) Ikatan Dinas Pendek. Artinya, masa pensiun
mereka bukan tanggungan Hankam. Jadi setelah 10 tahun bertugas
mereka akan disalurkan ke perusahaan penerbangan non-ABRI.
"tentu saja, sebelum dilepas mereka diberi kesempatan mengambil
lisensi menerbangkan pesawat sipil," tutur Karjoto dari MBAU
itu. Menurut dugaannya akan banyak perusahaan penerbangan yang
bersedia menampung mereka. "Pertama, perusahaan itu tak
susah-susah menyekolahkan orang. Kedua, umur mereka pun waktu
itu relatif masih muda, baru 30-an."
Tapi hal itu tak menutup kasus-kasus istimewa. Misalnya saja,
bila ada penerbang ABRI program IDP yang ternyata berbakat
sekali membawa pesawat tempur -- mungkin akan diperpanjang masa
tugasnya. "Yang jelas para penerbang dari sipil itu tak bisa
menduduki jabatan struktural." Tak mungkin mereka menjadi
komandan satuan Skuadom pesawat pemburu, misalnya.
Baik pihak Wing Pendidikan I Lanuma Adisucipto maupun MBAU
optimistis terhadap kebijaksanaan Hankam ini. Meski mereka tahu,
menjadi penerbang di perusahaan penerbangan sipil bisa lebih
sukses dari segi ekonomis, pendidikan penerbang ABRI ini gratis.
Dan di samping diasramakan juga ada uang saku. Lebih dari itu,
"menjadi penerbang ABRI ada kebanggaan lain, lho," ucap Marsekal
Pertama Karjoto. "Siapa tahu bisa duduk dalam kokpit pesawat
super sonic dan ikut menjaga udara Indonesia dari serangan
musuh." Bagai Gatutkaca menjaga Kerajaan Amarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini