Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Himbauan & Ekspansi Garuda

Dirjen perhubungan udara sugiri minta kepada para pejabat yang bertugas keluar negeri agar mereka naik pesawat garuda. penerbangan klm rute singapura-sydny dilarang lewat indonesia.(eb)

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR-AKHIR ini Dirjen Perhubungan Udara Marsekal Muda Sugiri sering bicara soal Garuda. Kepada para pejabat yang bertugas ke luar negeri, Sugiri meminta agar mereka tak melupakan adanya Instruksi Presiden RI tahun 1960, yang mensyaratkan mereka menggunakan pesawat Garuda. Sugiri mengerti instruksi yang lahir di zaman Bung Karno itu tak jalan karena pesawat yang dimiliki PN Garuda waktu itu masih terbatas. Tapi sekarang, di zaman Garuda sudah menjadi PT dan tambah mekar, Sugiri menghimbau agar para pejabat yang ditugasi keluar negeri tak lagi menggunakan pesawat asing. "Agaknya pejabat pemerintah sudah terbiasa melakukan penerbangan dengan pesawat terbang perusahaan asing/swasta atau memang betul-betul sudah lupa atau tidak tahu adanya peraturan tersebut," kata Sugiri selesal upacara penandatanganan pembelian tiga jenis alat pengaman pelabuhan udara dari Prancis 26 Juni lalu. Sehari sebelum itu Sugiri mengungkapkan sesuatu hal yang agak di luar dugaan banyak orang: Pemerintah Indonesia melarang penerbangan KLM antara Singapura-Sydney dengan melintasi wilayah udara Indonesia. Hubungan antara Garuda dengan KLM sejak Wiweko menjadi Dir-Ut Garuda pada 1968 sampai sekarang dinilai berjalan lancar. Tapi ternyata, menurut Sugiri, permintaan Indonesia agar Garuda juga diberi izin mengangkut penumpang dari Abu Dhabi dan Jeddah ke Amsterdam, belum juga diizinkan oleh KLM. Tentu saja tindakan Indonesia itu menyakitkan Belanda, karena penerbangan KLM dari Singapura ke Sydney itu, menurut Sugiri, termasuk lin gemuk. "Sekali terbang KLM bisa untung US$ 40 ribu," katanya. Sedang penerbangan Garuda yang seperti halnya KLM kini juga sudah menggunakan pesawat besar Boeing 747, sesampai di Abu Dhabi dan Jeddah umumnya tak banyak diisi penumpang alias "kosong melulu," kata Sugiri. Bisa diduga perundingan akan terjadi juga antara kedua penerbangan yang sejak lama berhubungan akrab itu. Sekalipun sampai awal pekan ini pihak Garuda masih berkeras hanya bersedia berunding bila KLM menyetujui permintaan mereka. Tapi yang menjadi pertanyaan adalah Mengapa Garuda tak pandai mencari penumpang dari Arab? Salah satu sebabnya, tentu saja, adalah persaingan yang bertambah sengit di udara. Sedang sebab lain, seperti diakui sebuah sumber di Departemen Perhubungan, kekosongan penumpang itu adalah akibat ekspansi PT Garuda sendiri. Sesudah Pemilu Ekspansi Garuda ternyata memang tak berakhir dengan datangnya empat Boeing 747. Garuda sudah memesan dua Boeing 747 lagi dan tiga Airbus A-300, sebagai tambahan enam Airbus A-300 yang sudah dipesan sebelumnya. Pembelian itu dilakukan dengan kredit, hingga dalam waktu setahun utang Garuda melonjak mendekati US$ 1 milyar, satu jumlah yang luar biasa untuk sebuah perusahaan yang pada 1980 nyaris mendapat laba. Sebagaimana paket utang sebelumnya yang berasal dari sindikat bank-bank terkemuka, kali ini pinjaman komersial US$ 146 juta untuk dua tambahan Boeing 747 akan berasal dari sindikat bank yang dipimpin Chase Manhattan, sedang US$ 283,5 juta untuk tambahan tiga Airbus akan berasal dari sindikat beberapa bank Prancis dan Jerman. Kenapa hank-bank internasional itu masih bersedia memberi utang kepada Garuda? Menurut Sekretaris Perusahaan Garuda R.A.J. Lumenta itu pertanda mungkin Garuda semakin dipercaya. "Tapi bisa juga dikarenakan bank-bank itu sedang bingung melempar uangnya," katanya kepada TEMPO belum lama berselang. Itu memang benar. Tapi yang lebih meyakinkan para bankir internasional tadi adalah ini Departemen Keuangan ternyata tidak lepas tangan dalam masalah keuangan Garuda. Hampir ambruknya Pertamina di tahun 1975 telah membuat pemerintah tak mau lagi menjamin perusahaan-perusahaannya yang mencari kredit di luar negeri. Diam-diam sikap pemerintah seperti itu nampaknya sudah berubah. Dalam hal PT Garuda, pemerintah ternyata telah memberanikan diri untuk memberi dana, yang disalurkan dalam bentuk semacam "penyertaan modal". Jumlahnya akan mencapai US$ 300 juta pada akhir 1981. Tanpa injeksi uang itu, nampaknya Garuda bisa menghadapi kemungkinan pailit di hadapan para bankirnya. Dalam persetujuan pemberian kredit disebutkan antara lain bahwa nilai perusahaan (modal tambah cadangan dan laba yang ditahan) tak boleh lebih rendah dari US$ 225 juta. Sebenarnya nilai perusahaan sudah jatuh di bawah US$ 220 juta, tapi karena adanya injeksi pemerintah tadi, nilai ini naik menjadi US$ 286 juta. Syarat lain yang dikemukakan bankir Garuda adalah: aktiva berjalan harus lebih tinggi minimal US$ 25 juta dari utang berjalan (current liabilities). Tahun lalu kelebihan ini berjumlah US$ 25,4 juta. Ini pun dimungkinkan karena pembayaran cicilan utang-utangnya memakai uang pemerintah, sedang uang dari penghasilannya sendiri ditaruh di rekening "kas dan bank". Bantuan pemerintah yang dinikmati Garuda tidak saja terbatas pada injeksi modal. Berbeda dengan perusahan penerbangan lain di Indonesia, Garuda menikmati subisidi bahan bakar. Tanpa subsidi ini, biaya operasional Garuda diperkirakan bisa meningkat dengan US$ 36 juta, yang bisa menyebabkan Garuda menderita defisit pada 1980. Subisidi ini boleh dinikmati Garuda sekurangnya sampai 1982 sesudah pemilu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus