AKHIR-AKHIR ini Dirjen Perhubungan Udara Marsekal Muda Sugiri
sering bicara soal Garuda. Kepada para pejabat yang bertugas ke
luar negeri, Sugiri meminta agar mereka tak melupakan adanya
Instruksi Presiden RI tahun 1960, yang mensyaratkan mereka
menggunakan pesawat Garuda. Sugiri mengerti instruksi yang lahir
di zaman Bung Karno itu tak jalan karena pesawat yang dimiliki
PN Garuda waktu itu masih terbatas.
Tapi sekarang, di zaman Garuda sudah menjadi PT dan tambah
mekar, Sugiri menghimbau agar para pejabat yang ditugasi keluar
negeri tak lagi menggunakan pesawat asing. "Agaknya pejabat
pemerintah sudah terbiasa melakukan penerbangan dengan pesawat
terbang perusahaan asing/swasta atau memang betul-betul sudah
lupa atau tidak tahu adanya peraturan tersebut," kata Sugiri
selesal upacara penandatanganan pembelian tiga jenis alat
pengaman pelabuhan udara dari Prancis 26 Juni lalu.
Sehari sebelum itu Sugiri mengungkapkan sesuatu hal yang agak
di luar dugaan banyak orang: Pemerintah Indonesia melarang
penerbangan KLM antara Singapura-Sydney dengan melintasi wilayah
udara Indonesia. Hubungan antara Garuda dengan KLM sejak Wiweko
menjadi Dir-Ut Garuda pada 1968 sampai sekarang dinilai berjalan
lancar. Tapi ternyata, menurut Sugiri, permintaan Indonesia agar
Garuda juga diberi izin mengangkut penumpang dari Abu Dhabi dan
Jeddah ke Amsterdam, belum juga diizinkan oleh KLM.
Tentu saja tindakan Indonesia itu menyakitkan Belanda, karena
penerbangan KLM dari Singapura ke Sydney itu, menurut Sugiri,
termasuk lin gemuk. "Sekali terbang KLM bisa untung US$ 40
ribu," katanya. Sedang penerbangan Garuda yang seperti halnya
KLM kini juga sudah menggunakan pesawat besar Boeing 747,
sesampai di Abu Dhabi dan Jeddah umumnya tak banyak diisi
penumpang alias "kosong melulu," kata Sugiri.
Bisa diduga perundingan akan terjadi juga antara kedua
penerbangan yang sejak lama berhubungan akrab itu. Sekalipun
sampai awal pekan ini pihak Garuda masih berkeras hanya bersedia
berunding bila KLM menyetujui permintaan mereka.
Tapi yang menjadi pertanyaan adalah Mengapa Garuda tak pandai
mencari penumpang dari Arab? Salah satu sebabnya, tentu saja,
adalah persaingan yang bertambah sengit di udara. Sedang sebab
lain, seperti diakui sebuah sumber di Departemen Perhubungan,
kekosongan penumpang itu adalah akibat ekspansi PT Garuda
sendiri.
Sesudah Pemilu
Ekspansi Garuda ternyata memang tak berakhir dengan datangnya
empat Boeing 747. Garuda sudah memesan dua Boeing 747 lagi dan
tiga Airbus A-300, sebagai tambahan enam Airbus A-300 yang sudah
dipesan sebelumnya. Pembelian itu dilakukan dengan kredit,
hingga dalam waktu setahun utang Garuda melonjak mendekati US$ 1
milyar, satu jumlah yang luar biasa untuk sebuah perusahaan yang
pada 1980 nyaris mendapat laba.
Sebagaimana paket utang sebelumnya yang berasal dari sindikat
bank-bank terkemuka, kali ini pinjaman komersial US$ 146 juta
untuk dua tambahan Boeing 747 akan berasal dari sindikat bank
yang dipimpin Chase Manhattan, sedang US$ 283,5 juta untuk
tambahan tiga Airbus akan berasal dari sindikat beberapa bank
Prancis dan Jerman.
Kenapa hank-bank internasional itu masih bersedia memberi utang
kepada Garuda? Menurut Sekretaris Perusahaan Garuda R.A.J.
Lumenta itu pertanda mungkin Garuda semakin dipercaya. "Tapi
bisa juga dikarenakan bank-bank itu sedang bingung melempar
uangnya," katanya kepada TEMPO belum lama berselang.
Itu memang benar. Tapi yang lebih meyakinkan para bankir
internasional tadi adalah ini Departemen Keuangan ternyata tidak
lepas tangan dalam masalah keuangan Garuda. Hampir ambruknya
Pertamina di tahun 1975 telah membuat pemerintah tak mau lagi
menjamin perusahaan-perusahaannya yang mencari kredit di luar
negeri. Diam-diam sikap pemerintah seperti itu nampaknya sudah
berubah. Dalam hal PT Garuda, pemerintah ternyata telah
memberanikan diri untuk memberi dana, yang disalurkan dalam
bentuk semacam "penyertaan modal". Jumlahnya akan mencapai US$
300 juta pada akhir 1981.
Tanpa injeksi uang itu, nampaknya Garuda bisa menghadapi
kemungkinan pailit di hadapan para bankirnya. Dalam persetujuan
pemberian kredit disebutkan antara lain bahwa nilai perusahaan
(modal tambah cadangan dan laba yang ditahan) tak boleh lebih
rendah dari US$ 225 juta. Sebenarnya nilai perusahaan sudah
jatuh di bawah US$ 220 juta, tapi karena adanya injeksi
pemerintah tadi, nilai ini naik menjadi US$ 286 juta.
Syarat lain yang dikemukakan bankir Garuda adalah: aktiva
berjalan harus lebih tinggi minimal US$ 25 juta dari utang
berjalan (current liabilities). Tahun lalu kelebihan ini
berjumlah US$ 25,4 juta. Ini pun dimungkinkan karena pembayaran
cicilan utang-utangnya memakai uang pemerintah, sedang uang dari
penghasilannya sendiri ditaruh di rekening "kas dan bank".
Bantuan pemerintah yang dinikmati Garuda tidak saja terbatas
pada injeksi modal. Berbeda dengan perusahan penerbangan lain di
Indonesia, Garuda menikmati subisidi bahan bakar. Tanpa subsidi
ini, biaya operasional Garuda diperkirakan bisa meningkat dengan
US$ 36 juta, yang bisa menyebabkan Garuda menderita defisit pada
1980. Subisidi ini boleh dinikmati Garuda sekurangnya sampai
1982 sesudah pemilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini