JABATAN rektor ternyata gampang dipermainkan. Bisa angkat- pecat-angkat-pecat silih berganti. Ini terjadi di Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya (ITATS) dan dialami Rektor I.K. Sandhi. Kisah angkat-pecat berkali-kali dalam tiga bulan itu berawal dari sidang pengurus Yayasan Pendidikan Teknik Surabaya (YPTS) Agustus lalu. Pengurus Yayasan yang mengelola ITATS memutuskan mencopot Sandhi sebagai rektor. Kursinya diberikan kepada Pembantu Rektor I, Soetikno. Keputusan ini tentu ditentang Sandhi. Sebab, penggantian rektor semestinya dilakukan lewat rapat senat institut. Dan lagi, kata ahli listrik lulusan Universitas Waseda Jepang ini, pengurus YPTS sudah demisioner. ''Saya yakin ada rekayasa negatif di balik penggantian saya,'' kata Sandhi, yang juga bendahara Yayasan. Bahkan ia merasa bahwa pencopotan itu berkaitan dengan kebijaksanaannya menertibkan penggunaan uang kampus. Setiap karyawan mesti membuat laporan keuangan. Ia merasa bahwa sebagian petinggi perguruan tinggi dengan 7.000 mahasiswa itu tak senang dengan caranya menertibkan keuangan. Soetikno sendiri, yang ditunjuk Yayasan, ternyata tak suka menjadi rektor sementara. Ia mengembalikan jabatan itu ke Yayasan. Maka, YPTS, 6 September, mengangkat lagi Sandhi sebagai rektor. Namun, gelombang curiga mulai menjadi-jadi setelah Sandhi kembali ke kursinya. Ia memecat Wasito dan lima dosen lainnya dengan tuduhan ''berkomplot mau menjatuhkannya''. Ketua Umum Yayasan, Rooseno, pun mencopot Wasito dari jabatan Sekretaris YPTS. Ia dianggap tak cakap membuat laporan keuangan. ''Tuduhan itu memutarbalikkan fakta,'' kata Wasito. Gelombang protes pun mulai menggelinding. Lima dosen yang dipecat, 12 Oktober lalu, mengadu ke DPRD Surabaya. Dan para mahasiswa pun mulai unjuk rasa di kampus. Ketua Harian Yayasan, Achmad Zainuri, sempat disandera sekitar 1.000 mahasiswa selama 16 jam. Mereka menuntut agar Sandhi dipecat. Ketua Yayasan, Zainuri, pun menyerah. Ia memberhentikan Sandhi dan mengangkat Lipen Gitoatmojo sebagai penjabat rektor. Kemelut ini akhirnya mengundang Rooseno, Ketua Umum Yayasan, untuk turun tangan. Dalam rapat senat, Rooseno mengangkat kembali Sandhi sebagai rektor untuk satu tahun, awal November lalu. Namun, keputusan senat ini justru menyulut unjuk rasa mahasiswa lebih besar lagi. Mereka lebih lantang memprotes penunjukan Sandhi. Maka, Rooseno pun menyerah. Yayasan kemudian bersidang dan memilih Haryono Mahhardo, Bendahara YPTS, sebagai rektor sementara. Keputusan ini memang ditentang para pengikut Lipen Gitoatmodjo, pejabat rektor sebelumnya. Namun, sampai pekan lalu Yayasan belum berubah pikiran untuk mengganti Haryono. Sandhi, yang diangkat dan dipecat berkali-kali itu, tentu merasa dipermainkan dan dicemarkan oleh Yayasan. Maka, pekan lalu ia melayangkan gugatan ke pengadilan Negeri Surabaya dengan tuntutan ganti rugi Rp 1,05 miliar. Di samping itu, Sandhi juga tampak pasrah. Ditemui di rumahnya, ia mengaku ingin istirahat dari kegiatan mengurus kampus. ''Saya akan mengurus keluarga saya,'' kata Sandhi, ayah dua putra dari istrinya yang berdarah Jepang itu. Akibat kemelut ini, tentu kegiatan kampus memang tersendat. Beberapa kuliah sempat kosong. ''Yang konflik rektor dan karyawan, kok kami yang kena getahnya,'' kata seorang mahasiswi. Surat-menyurat pun sampai diteken dua orang keduanya dengan jabatan rektor. Akankah tradisi pecat-angkat ini berlanjut? Wallahualam.Wahyu Muryadi (Jakarta) dan K. Candra Negara (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini