Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wanita itu muncul dari belukar kebun kakao. Melihat rambutnya yang acak-acakan, orang akan menyangka ia kurang waras. Tetapi coba perhatikan bayi yang masih menetek di dadanya dan anak kecil yang tak lepas dari jepitan lengannya. Wanita itu begitu ketakutan dikejar bayang-bayang sang maut yang menguntitnya.
Nurhaeni, wanita itu, terusir dari rumahnya di Nanakan, Kecamatan Aralle, Sulawesi Barat. Dia hanya bagian kecil dari gelombang pengungsi yang terus mengalir di tengah malam dari belasan desa di Aralle. Sesampai di kecamatan seberang, Mambi, mereka ditampung di bangunan sekolah dan rumah-rumah penduduk. Camat Mambi mencatat sekitar 2.000 pengungsi telah mereka tampung dalam seminggu ini.
Pengungsian ini akibat bentrokan yang terjadi antarpenduduk. Amuk massa itu tersulut beda pendapat setelah terjadi pembagian Kabupaten Polmas (Polewali-Mamasa). Melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2002, pemerintah membagi Polmas menjadi Polmas dan Mamasa.
Rupanya, membelah satu wilayah tak semudah memotong martabak. Pertentangan muncul di tiga kecamatan, yaitu Aralle, Tabulahan, dan Mambi (biasa disingkat ATM), yang dimasukkan ke wilayah Mamasa. Sebagian penduduk menolak bergabung dengan Mamasa. Mereka meminta tetap bergabung dengan kabupaten induk, Polmas.
Penolakan itu tak lepas dari jejak sejarah. Mamasa merupakan wilayah yang didominasi masyarakat yang mempunyai kedekatan dengan suku Toraja, yang sebagian besar menganut agama Kristen. Sedangkan Polmas merupakan wilayah tempat tinggal suku Mandar, yang mayoritas beragama Islam.
Nah, tiga kecamatan yang bergolak itu merupakan pertemuan kedua suku. Orang-orang Mandar menolak bergabung dengan Mamasa karena khawatir akan menjadi minoritas. Kekhawatiran menjadi minoritas juga ditakutkan orang Toraja jika menjadi bagian dari Polmas.
Penduduk yang menolak memakai rujukan sejarah Mandar yang menyebut ada 14 kerajaan, yaitu Pitu Ba'bana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai) dan Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di kawasan pegunungan). Dalam perjanjian adat empat abad lalu, mereka berikrar tidak akan berpisah walau apa pun yang terjadi. Nah, daerah yang kini bergolak merupakan tiga dari tujuh kerajaan Pitu Ulunna Salu yang harus menepati janji moyangnya.
Belum cukup, masih ada trauma yang memisahkan mereka. Pada awal kelahiran republik, warga muslim di ketiga kecamatan itu dicap sebagai anggota Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Pemerintah lalu menggandeng penduduk Mamasa dalam Operasi Per-lawanan Rakyat untuk meredam pemberontakan.
Sejak saat itu, perselisihan tak bisa dihapus. Mereka hidup terkotak-kotak dalam komunitasnya masing-masing. Seorang Nasrani hanya akan tinggal di desa yang seluruh penduduknya seagama. Begitu pula di desa-desa muslim. Pembagian wilayah kali ini memancing sentimen di antara mereka. Akibatnya, di satu kecamatan ada dua camat, sekolah di-pimpin dua kepala sekolah, puskesmas punya dua kepala puskesmas. Satu pimpinan pro-Mamasa, yang lain menolak pebagian wilayah.
Menjelang peresmian Sulawesi Barat sebagai provinsi ke-33, ketegangan memuncak Sabtu dua pekan lalu. Sehari kemudian pertikaian tak dapat dibendung. Kini mereka sudah benar-benar berhadapan dengan senjata terhunus. Mereka memperjelas perbedaan dengan menggunakan simbol kain putih dan merah. Harga dari pertikaian itu, tiga nyawa melayang, 47 rumah hancur dibakar, dan lebih dari 2.000 orang mengungsi.
Dalam beberapa hari terakhir, situasi mulai bisa diatasi aparat keamanan. Polisi menyita 50 pucuk senjata api rakitan, ratusan senjata tajam, dan menangkap tiga orang yang diduga sebagai pengobar pertikaian, Kamis pekan lalu. Mereka yang ditangkap adalah dua penduduk dan Kepala Desa Aralle Ana, Andi Jalilu. Jalilu dituding sebagai pemicu bentrokan. Beberapa saksi mata melihatnya memasang spanduk yang memancing amarah. Akibatnya, warga yang sebelumnya sudah sepakat tidak lagi mengungkit-ungkit perbedaan ini emosinya terbakar.
Hasyim Manggabarani, tokoh masyarakat Mandar yang juga mantan Bupati Polmas, mengakui adanya sejarah yang mengikat orang Mandar. Namun dia menolak akar kerusuhan ini akibat perbedaan suku dan agama. "Tidak semua penduduk muslim menolak bergabung dengan Mamasa," katanya kepada Tempo. Dia menyalahkan isi undang-undang yang mengatur pembagian wilayah ini telah mengabaikan masukan dari daerah.
Dalam keputusan DPRD Polmas yang menjadi salah satu dasar usulan pemecahan Kabupaten Polmas, disebutkan bagi masyarakat yang tidak ingin bergabung dengan Mamasa akan diberi keleluasaan memilih bergabung dengan Polmas. Ternyata Undang-Undang No. 11/2002 itu memastikan tiga kecamatan itu masuk dalam Kabupaten Mamasa. "Mengapa usul itu bisa berubah?"
Sementara itu, Bupati Mamasa, Said Saggaf, tetap berpegang pada kesepakatan hukum yang menyebut tiga kecamatan itu masuk dalam wilayah Mamasa. "Namun, sebagian teman-teman di Polmas masih berpegang pada keputusan DPRD Polmas," katanya.
Menurut seorang sumber yang mengikuti perjalanan perundangan ini, penggantian itu dilakukan di Jakarta. Melalui lobi-lobi dari kelompok tertentu, daerah abu-abu itu akhirnya dapat ditarik untuk menjadi bagian dari Mamasa. "Potensi pertanian dan perkebunan ketiga kecamatan ini menjadi alasan untuk diperebutkan," kata sumber yang menolak disebut namanya ini.
Ferri Mursidan Baldan, Wakil Ketua Komisi II DPR (1999-2004) yang terlibat dalam proses undang-undang pembagian wilayah Polmas ini, menolak jika perubahan itu dilakukan di DPR. Bahkan DPR sudah menawarkan agar undang-undang ini ditunda. Namun para pejabat dua wilayah yang bertikai ngotot untuk meneruskan. "Mereka menyatakan sanggup menyelesaikan perselisihan secara bersama," kata Ferri.
Upaya penyelesaian kini sedang dirancang Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Pejabat sementara Gubernur Sulawesi Barat, Oentarto Sindung Mawardi, menyebut salah satu alternatif penyelesaian konflik dengan membentuk kabupaten baru yang terdiri dari tiga kecamatan yang bertikai tersebut. Tapi membentuk kabupaten di tengah konflik membutuhkan langkah panjang. "Jangka pendek, kita akan mengajak pengungsi kembali ke daerahnya masing-masing," kata Oentarto seusai rapat dengan para pimpinan daerah di Sulawesi Barat, Rabu pekan lalu.
Agung Rulianto, Irmawati (Makassar)
Perjalanan Konflik Pemekaran Mamasa
April 2002 Pemerintah mengesahkan UU Nomor 11 Tahun 2002 tentang pembentukan Kabupaten Mamasa. Penduduk tiga kecamatan (Aralle, Tabulahan, dan Mambi) terbelah. Sebagian menolak bergabung dengan Mamasa dan memilih tetap menjadi bagian dari Kabupaten Polmas (Polewali Mamasa) sebagai kabupaten induk. Sebagian lagi menerima Mamasa.
16 September 2003 Sekitar 200 penduduk antipemekaran di tiga kecamatan yang bersengketa berunjuk rasa ke Kantor Gubernur Sulawesi Selatan di Makassar. Mereka meminta pemerintah merevisi UU No. 11/2002.
28 September 2003 Tiga penduduk di Sarulinduk, Kecamatan Aralle, tewas dianiaya warga yang diduga dari kelompok penyokong pembentukan Mamasa.
2 Oktober 2003 Terjadi gelombang pengungsian pertama. Sekitar 1.000 penduduk Desa Lakahang dan Desa Lakahang Rea, Kecamatan Tabulahan, mengungsi ke Kabupaten Mamuju.
6 Oktober 2003 Pertemuan antara Pemerintah Kabupaten Polmas, Kabupaten Mamasa, dan tokoh agama menghasilkan kesepakatan damai. Mereka akan memberikan hak bagi masyarakat di tiga kecamatan untuk memilih bergabung atau tidak dengan Mamasa.
23 Juli 2004 Terjadi pemblokiran jalan dan sweeping oleh masyarakat di perbatasan Mamasa dan Polmas.
1 Agustus 2004 Penduduk Polewali membalas dengan memblokade jalan yang menghubungkan Kabupaten Polewali dan Mamasa. Tindakan ini melumpuhkan aktivitas di wilayah tersebut.
3 Agustus 2004 Para pejabat Provinsi Sulawesi Selatan, termasuk Bupati Polmas dan Mamasa, menandatangani nota kesepakatan dalam pertemuan di rumah dinas gubernur. Mereka sepakat membuka pemblokiran jalan, dan para pejabat di Mamasa dan Polmas akan proaktif mengendalikan situasi di wilayah masing-masing.
22 September 2004 DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang Pembentukan Provinsi Sulawesi Barat.
16 Oktober 2004 Pemerintah meresmikan Provinsi Sulawesi Barat. Situasi yang mulai tenang dalam dua bulan terakhir kembali memanas. Kerusuhan diawali provokasi kelompok pendukung Mamasa yang memasang spanduk di wilayah yang menolak Mamasa. Sebanyak 47 rumah terbakar, tiga orang tewas, dan ribuan warga mengungsi.
*) Dari berbagai sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo