Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
DPRD Nusa Tenggara Timur akan memanggil pemerintah provinsi perihal kenaikan tarif tiket Taman Nasional Komodo menjadi Rp 3,75 juta.
Jika pemerintah menunjuk PT Flobamor untuk menjual paket wisata tanpa adanya peraturan daerah, kutipan atas besaran harga tiket yang naik dianggap pungli.
Faktor mogok massal warga Labuan Bajo dianggap justru karena adanya kebijakan dari pemerintah provinsi.
JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Timur (NTT) akan memanggil Pemerintah Provinsi NTT perihal kebijakan kenaikan tarif tiket Taman Nasional Komodo (TNK) menjadi Rp 3,75 juta. Dewan, dalam rapat dengar pendapat nantinya, juga memanggil PT Flobamor selaku badan usaha milik daerah (BUMD) yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola pariwisata di kawasan Taman Komodo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut anggota Komisi II DPRD NTT, Yohanes Rumat, pemerintah provinsi tidak memiliki dasar hukum dalam menetapkan kebijakan kenaikan tarif serta penunjukan PT Flobamor. Ia mengatakan kendali pengelolaan Taman Nasional Komodo dipegang pemerintah pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Balai Taman Nasional Komodo kemudian didapuk menjadi perpanjangan tangan kementerian. “Pemerintah provinsi terlalu memaksakan diri tanpa payung hukum yang kuat,” kata dia kepada Tempo, Jumat, 5 Agustus 2022.
Warga berunjuk rasa menentang kenaikan harga tiket Taman Nasional Komodo di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, 18 Juli 2022. Dok. Flores Documentary Network
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tarif tiket wisata Taman Komodo yang semula Rp 200-400 ribu menjadi Rp 3,75 juta berlaku sejak Senin, 1 Agustus 2022. Penerapan kebijakan yang dinilai ujug-ujug ini membuat ribuan warga Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, turun ke jalan pada tanggal yang sama saat tarif tiket baru diberlakukan. Mereka menggelar aksi mogok massal dan menuntut pemerintah membatalkan kenaikan tarif tiket.
Sebelum diberlakukan, masyarakat sebetulnya telah merasakan dampak kebijakan tersebut. Pada Juli lalu, calon tamu para pelaku pariwisata berbondong-bondong membatalkan pesanan paket wisatanya. Pemerintah juga dinilai tidak pernah melibatkan stakeholder atau kalangan yang berkepentingan kala menyusun kebijakan. Perusahaan pelat merah NTT, PT Flobamor, juga diduga akan memonopoli pariwisata di Labuan Bajo dari hulu hingga hilir.
Yohanes menjelaskan, ada sebagian kewenangan yang diberikan ke pemerintah provinsi dalam mengelola Taman Nasional Komodo. Namun kewenangan ini diterjemahkan Gubernur NTT Victor Laiskodat untuk menunjuk PT Flobamor sebagai pengelola pariwisata di kawasan Taman Komodo. “Di dalamnya ada urusan bagi hasil. Maka suka tidak suka, wajib hukumnya ada peraturan daerah atau peraturan gubernur yang dibuat provinsi,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Berdasarkan dokumen yang diterima Tempo, Gubernur NTT Viktor Laiskodat menandatangani nota kesepahaman bersama Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno. Nota kesepahaman terdiri atas delapan pasal. Nota ini menyebutkan para pihak sepakat bekerja sama untuk penguatan fungsi kawasan konservasi dan konservasi sumber daya alam hayati serta ekosistemnya secara berkelanjutan di Taman Nasional Komodo.
Menurut Yohanes, DPRD provinsi, yang berperan melakukan pengawasan, mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menunjuk PT Flobamor sebagai pengelola. Sebab, kata dia, segala jenis dana yang masuk dalam postur anggaran pasti dibahas di DPRD provinsi. Dengan demikian, jika pemerintah menunjuk PT Flobamor untuk mengelola dan menjual paket wisata tanpa adanya peraturan daerah atau peraturan gubernur, kutipan atas besaran harga tiket tersebut dianggap pungutan liar (pungli). “PT Flobamor berlindung di balik kekuasaan pemerintah, tapi tidak ada produk hukum yang melindungi dia. Karena itu, pelaku di lapangan melihatnya sebagai pesaing baru yang akan memonopoli,” kata dia.
Berdasarkan positioning paper PT Flobamor yang diterima Tempo, PT Flobamor ditunjuk pemerintah provinsi untuk mengelola pariwisata di Pulau Komodo, Pulau Padar, dan perairan di sekitarnya. Perusahaan ini membuat paket wisata bernama Experimentalist Valuing Environment (EVE) yang dibanderol Rp 15 juta untuk empat orang. Pengunjung yang memilih paket EVE dibatasi hanya 5.000 paket per tahun.
Rencananya, harga paket Rp 15 juta tersebut dialokasikan untuk penerimaan negara bukan pajak sebesar Rp 2 juta, pendapatan asli daerah Rp 200 ribu, biaya asuransi Rp 100 ribu, dana konservasi Rp 7,1 juta, pendapatan PT Flobamor Rp 5,4 juta, dan pajak Rp 165 ribu. PT Flobamor menjadi satu-satunya perusahaan daerah yang mendapatkan izin usaha pemanfaatan jasa wisata alam (IUPJWA) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Anggota Komisi II DPRD Manggarai Barat, Blasius Janu, mengatakan pemerintah tidak pernah berkomunikasi dengan DPRD ihwal kebijakan kenaikan tarif tiket Taman Nasional Komodo. Begitu pun dengan penunjukan PT Flobamor. Padahal, kata dia, kawasan TNK terletak di Manggarai Barat. “Tidak pernah membicarakan hal itu dengan kami. Katanya, pemerintah hanya menyampaikan langsung ke KLHK, padahal ini negara hukum,” ujar Blasius kepada Tempo, Jumat, 5 Agustus 2022.
Blasius senada dengan Yohanes yang mempertanyakan dasar hukum pemerintah menaikkan tarif dan menunjuk PT Flobamor sebagai pengelola paket wisata. Menurut dia, pemerintah semestinya lebih dulu melakukan sosialisasi ke masyarakat, melibatkan pakar, dan menyertakan kajian akademis. “Tidak bisa serta-merta begini, masak langsung diumumkan,” ujarnya.
Blasius berencana mengusulkan ke pimpinan DPRD untuk merangkum peristiwa di Labuan Bajo ihwal kebijakan kenaikan tarif tiket. Nantinya, perwakilan DPRD akan menyambangi DPR Komisi X di Jakarta untuk menyuarakan penolakan masyarakat. Secara personal, dia pun menyatakan dengan tegas menolak kebijakan kenaikan tarif tiket dan penunjukan PT Flobamor oleh pemerintah. “Semakin kacau saja, harus ada pendekatan ke masyarakat dulu. Lalu alasan konservasi, memangnya kami di Manggarai tidak ada konservasi?” ujarnya.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT, Zeth Sony Libing, menilai ada miskomunikasi antara pemerintah dan masyarakat ihwal kekhawatiran terhadap PT Flobamor. Ia menjelaskan, PT Flobamor akan berkolaborasi dengan berbagai stakeholder di Labuan Bajo. Integrasi ini, kata dia, dilakukan melalui aplikasi INISA yang dimaksudkan untuk menata dan mengatur standar pariwisata di Labuan Bajo.
Sony mengatakan pemerintah provinsi bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui memorandum of understanding (MOU). “Pemerintah tidak boleh bisnis di sini, maka menunjuk BUMD-nya untuk mewakili pemerintah dalam mengelola wisata di Pulau Komodo dan Pulau Padar,” kata dia, Jumat, 5 Agustus 2022. Menurut dia, ketentuan tarif tiket didasarkan pada kajian analisis. Ihwal perda atau pergub, Sony menjelaskan bahwa peraturan tersebut akan terbit dalam waktu dekat setelah dirembukkan bersama pihak terkait.
Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi X DPR, yang bermitra dengan Kementerian Pariwisata, Andreas Hugo Pareira, mendorong pemerintah bersama stakeholder segera menyelesaikan kekisruhan di Labuan Bajo sebagai buntut kebijakan kenaikan tarif tiket di Taman Nasional Komodo. Ia mengatakan pelaku wisata Labuan Bajo memahami ihwal pentingnya konservasi bagi keberlanjutan komodo. “Faktor mogok massal justru karena adanya kebijakan dari pemerintah provinsi,” kata dia, Rabu, 3 Agustus 2022. Andreas dan komisinya berencana mengagendakan rapat dengar pendapat bersama Kementerian Pariwisata. Selain itu, Komisi X turut mengundang perwakilan pelaku wisata Labuan Bajo, Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo-Flores, dan PT Flobamor.
IMA DINI SHAFIRA | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo