Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pihak mengusulkan agar Komisi Pemilihan Umum atau KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menjadi badan ad hoc. Alasannya, pelaksanaan pemilu dan pilkada dilakukan di tahun yang sama, sementara di tahun berikutnya, KPU dan Bawaslu tak memiliki aktivitas yang signifikan.
Menanggapi usulan tersebut, pakar ilmu politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Luthfi Makhasin, menilai KPU tetap dibutuhkan sebagai lembaga permanen atau bukan ad hoc.
“Selain sebagai lembaga teknis penyelenggaraan pemilu, KPU penting untuk mengawal pelembagaan dan penguatan demokrasi. Fungsi itu tidak bisa berjalan optimal kalau statusnya ad hoc,” ujar Luthfi saat dihubungi dari Jakarta, Selasa, 26 November 2024, seperti dikutip dari Antara.
Menurut dia, jika KPU menjadi lembaga ad hoc, maka rawan terjadi intervensi dari birokrasi dan kekuatan-kekuatan politik di luar lembaga yang berpotensi melemahkan kelembagaan.
“Hal yang diperlukan saat ini justru memperkuat kelembagaan KPU agar lebih mandiri dan benar-benar independen, serta bebas dari campur tangan partai politik atau kekuatan lain,” kata dia.
Karena itu, dia menilai wacana KPU menjadi lembaga ad hoc dengan alasan penghematan anggaran mengada-ada dan tidak memiliki pijakan yang kuat.
Sementara itu, dia mengatakan mekanisme rekrutmen untuk komisioner KPU RI di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan penganggaran yang masuk skema Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sudah cukup ideal untuk memastikan kontrol dan efisiensi kelembagaan dapat berjalan.
Menkopolkam Sebut Perlu Kajian Mendalam
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan atau Menkopolkam Budi Gunawan mengatakan usulan pengubahan status KPU menjadi lembaga ad hoc perlu dikaji secara mendalam. “Penting dikaji lebih dalam dulu terhadap dampak dari perubahan status tersebut,” ujar Budi dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Polkam, Jakarta, Senin, 25 November 2024.
Menurut dia, sebelum wacana perubahan status tersebut diimplementasikan, seharusnya perlu dilakukan analisis dampak perihal independensi, kredibilitas, dan efektivitas KPU. Sebab, kata dia, lembaga penyelenggara pemilu itu semestinya bersifat bebas dan aktif.
“Karena itu, perlu ada diskusi secara terbuka dan masukan berbagai pihak. Ini penting bagi kami untuk mendengar,” ujarnya.
Dia menuturkan adanya pengkajian dan diskusi lebih lanjut tersebut dapat membantu pemerintah menentukan langkah terbaik guna mereformasi kelembagaan KPU.
Wakil Ketua Komisi II DPR Tolak Ubah Status KPU dan Bawaslu Jadi Lembaga Ad Hoc
Adapun Wakil Ketua Komisi II DPR) RI, Zulfikar Arse Sadikin, menolak usulan mengubah status Komisi Pemilihan Umum atau KPU RI dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menjadi lembaga ad hoc.
“UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan kepada kita bahwasanya pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Itu termaktub dalam Pasal 22E Ayat 5,” kata Zulfikar di Jakarta pada Ahad, 24 November 2024.
Zulfikar merespons usulan yang menyebutkan KPU dan Bawaslu menjadi badan ad hoc atau tidak lagi permanen. Menurut dia, segala perubahan berkaitan dengan KPU dan Bawaslu harus berdasarkan pada Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Evaluasi terhadap penyelenggara pemilu, kata dia, memang harus terus dilakukan. Namun bukan berarti mengubah statusnya dari lembaga tetap menjadi lembaga ad hoc.
“Terutama (evaluasi) dalam rekrutmen dan seleksi penyelenggara pemilu di semua tingkatan agar menghasilkan penyelenggara pemilu yang berintegritas, capable, dan profesional, serta tidak bisa diintervensi oleh pihak mana pun. Sehingga bisa menghasilkan pemilu yang makin berkualitas dan legitimate,” ucapnya.
Alih-alih mengubah status KPU dan Bawaslu dari lembaga tetap menjadi lembaga ad hoc, politikus Partai Golkar itu mendorong evaluasi secara menyeluruh terhadap rekrutmen dan seleksi penyelenggara pemilu di semua tingkatan.
Usulan KPU dan Bawaslu menjadi lembaga ad hoc muncul karena pelaksanaan pemilihan anggota legislatif (pileg), pemilihan presiden (pilpres), dan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dilakukan serentak pada tahun ini. Dengan demikian, tidak ada lagi perhelatan pesta demokrasi dalam waktu dekat dan demi menghemat anggaran negara.
Mengenai hal tersebut, Zulfikar mengatakan penyelenggara pemilu justru akan semakin kokoh keberadaannya apabila ide pemisahan pemilu menjadi pemilu nasional dan pemilu lokal bisa diwujudkan dalam revisi Undang-Undang Pemilu.
“Tugas penyelenggara pemilu itu bukan hanya saat masuk tahapan pileg, pilpres, dan pilkada. Di tahun-tahun tidak menyelenggarakan pemilihan, KPU dan Bawaslu serta DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) bisa fokus untuk meningkatkan kapasitas struktur dan infrastruktur kepemiluan melalui kegiatan seperti sosialisasi, pelatihan, kajian, edukasi, dan literasi,” kata Zulfikar.
Usulan agar KPU dan Bawaslu Jadi Badan Ad Hoc
Sebelumnya, Sekretaris Fraksi Partai Gerindra DPR Bambang Haryadi mengusulkan agar KPU dan Bawaslu menjadi badan ad hoc saja. Menurut dia, pelaksanaan pemilu dan pilkada dilakukan di tahun yang sama, sementara di tahun berikutnya, KPU dan Bawaslu tak memiliki aktivitas yang signifikan.
“Bukan berarti keputusan ini akan langsung di-adhoc-kan, tapi kami akan kaji secara mendalam dan menyeluruh, apakah ke depan KPU-Bawaslu kami buat ad hoc,” kata Bambang pada Jumat, 22 November 2024.
Bambang menyebutkan salah satu alasan utama wacana ini adalah efisiensi anggaran negara. Menurut dia, pengelolaan anggaran akan lebih hemat jika KPU dan Bawaslu tak menjadi lembaga permanen.
“Tujuannya untuk efisiensi anggaran. Toh, beberapa tahun ke depan mereka tidak ada kegiatan, tapi perlu kajian mendalam,” ujarnya.
Wacana tersebut, kata dia, masih dalam tahap awal dan membutuhkan analisis serta masukan dari berbagai pihak. Fraksi Partai Gerindra juga akan mempertimbangkan dampak politik dan ekonomi sebelum mengajukan usulan resmi.
Selain Bambang, sebelumnya anggota Badan Legislasi atau Baleg DPR Saleh Partaonan Daulay juga pernah mengusulkan agar KPU dijadikan sebagai lembaga ad hoc dua tahunan. Hal tersebut dia sampaikan dalam rapat dengar pendapat umum di kompleks parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 31 Oktober 2024.
“Jadi, kami sedang berpikir sekarang di DPR justru KPU itu hanya lembaga ad hoc, dua tahun aja,” katanya.
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu menilai, adanya KPU ini hanya menghabiskan uang negara. Padahal, menurut dia, KPU hanya bekerja selama dua tahun. Pada tahun ketiga hingga kelima, anggota KPU hanya datang ke Jakarta untuk pelatihan.
“Ngapain kita menghabiskan uang negara kebanyakan untuk, misalnya, ya tadi, nanti mereka setelah tahun ketiga, keempat, kelima, datangnya tuh bimtek aja ke Jakarta ini," ujar Saleh.
Dia juga menyinggung perihal urgensi Bimtek tersebut. Apakah benar-benar penting atau tidak. "Sebentar-sebentar nanti sudah bimtek, datang ke Jakarta. Gak tahu kami apa yang dibimtekkan itu.”
Ketua KPU Mochammad Afifuddin juga pernah merespons usulan Saleh itu. Afif mengatakan dia akan mengikuti sebagaimana aturan yang ada.
“Kami kan menjalankan aturan saja. Kalau undang-undangnya mengatur kanan, kanan, tergantung aturannya,” katanya kepada Tempo saat ditemui di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis, 31 Oktober 2024, usai rapat kerja bersama Komisi II DPR.
Afifuddin menjelaskan KPU sudah diatur oleh undang-undang. Mengacu pada undang-undang yang ada, masa keanggotaan KPU adalah lima tahun.
“(Berdasarkan) Undang-undangnya aja. Kan KPU ini ada karena undang-undangnya. Lima tahun, ya lima tahun. Kami ikut aturannya aja pokoknya,” ujarnya.
NOVALI PANJI NUGROHO | ANNISA FEBIOLA | ANTARA
Pilihan editor: Ketua KPU RI: Saya Pastikan Pilkada 2024 Sudah Siap Digelar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini