Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, mengatakan pada debat capres pertama, para kandidat belum berhasil menyampaikan politik gagasan dan program kerja yang konkret.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Semua itu masih sebatas abstraksi saja. Mungkin juga karena dipengaruhi beberapa faktor, seperti faktor pertanyaan yang tidak terlalu menukik," kata Neni, saat dimintai pendapat perihal debat capres pertama, melalui sambungan telepon pada Jumat, 15 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Dia mengatakan pertanyaan dalam debat itu tidak menyentuh akar permasalahan dan substansi yang sangat spesifik. Kemudian faktor waktu debat masih sangat singkat. Sehingga debat cenderung monolog.
"Kalau disiapkan dengan baik, sebetulnya debat ini bisa memberikan insentif elektoral," ujar Neni. Efek elektoral itu bisa datang dari undecided voters dan swing voters yang masih tinggi.
Neni juga menyoroti adanya sentimen negatif yang menguat di ruang debat. Sentimen antarpasangan calon itu muncul karena dipengaruhi oleh waktu debat yang sangat singkat. "Tampak kita lihat saling serang, saling sindir, saling mengejek," tutur dia.
Menurut dia, saling mengejek itu tidak hanya ada pada paslon, tapi juga terjadi di tengah para pendukungnya. Sehingga kandidat yang tidak bisa mengelola emosinya dengan baik, dia bertutur, pasti akan terjebak pada sentimen tersebut.
Pendukung dinilai tak tertib
Selain itu, dia menjelaskan, ada juga para pendukung yang tidak tertib di arena debat. Sebab itu, dia menyarankan Komisi Pemilihan Umum atau KPU perlu memperketat aturan di ruang debat. "Perlu ada running text untuk mengingatkan para pendukung tidak terbawa emosi dan bisa menahan emosi," kata dia.
Dia mengatakan, Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Bawaslu perlu memberikan para pendukung yang tidak tertib. Seperti paslon, akan mendapatkan sanksi karena keributan yang dilakukan para pendukung. "Tampaknya kalau ada sanksi gitu para pendukung bisa mengelola emosi," tutur dia.
Dalam hal lain, pemicu yang membuat debat tidak berjalan efektif adalah waktu debat. Komisi Pemilihan Umum menetapkan waktu debat, di antaranya pemaparan program visi misi selama empat menit. Menjawab pertanyaan dua menit. Menanggapi pertanyaan satu menit.
Dengan waktu yang terbilang singkat itu, Neni menilai, itu menjadi salah satu pemicu debat tidak berjalan efektif. Berikutnya, evaluasi yang perlu dilakukan KPU adalah nama-nama panelis dan moderator perlu diumumkan sepekan sebelum debat dimulai. Sehingga masyarakat bisa melihat rekam jejak panelis dan moderator tersebut.
Menurut dia, format debat itu harus bisa dikelola dengan mengelaborasi permasalahan dan program kerja konkrit yang ditawarkan sebagai solusi. Karena itu, KPU, kata dia, perlu melibatkan organisasi, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang tertentu.
Dia mencontohkan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang berkonsentrasi di bidang lingkungan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH), yang terlibat dalam advokasi korban konflik agraria di Wadas, Jawa Tengah, serta Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mengetahui bagaimana data kasus korupsi di Indonesia.
"Sejauh mana pemerintah menangani masalah konflik lingkungan. Apa yang perlu dibenahi," kata dia. "Kan ada banyak kasus, misalnya seperti Wadas. Kan teman-teman itu bergerak di situ. Terus pemberantasan korupsi, kita bisa mendengar bagaimana pandangan ICW terhadap pemberantasan korupsi hari ini."
Dengan keterlibatan organisasi atau LSM, di bidang tertentu yang berhubungan dengan tema debat, pertanyaan yang dibuatkan untuk para capres juga bisa lebih menukik ke inti permasalahan. "Kalau kemarin pertanyaannya hanya umum saja, ya," ucap Neni.