TIDAK ada barang berharga di kompleks makam seluas setengah hektar itu. Hanya ada 10 nisan yang membisu. Namun, Taryam, 40 tahun, tak segan mengeluarkan Rp 20 juta buat kubur itu. Pekan lalu ia dilantik Kepala Desa sebagai juru kunci makam tersebut untuk masa jabatan 1988- 1990. Taryam memegang jabatan itu setelah November lalu ia memenangkan lelang untuk menjadi penjaga kubur itu. Ia mungkin tak mau memperebutkan kedudukan itu seandainya di kompleks itu tak ada makam Mbah Buyut Tambi yang biasa diziarahi mereka yang ingin mudah rezeki, naik pangkat sampai yang meminta kode Porkas. Atau kubur Mbah Buyut Rasiah, khusus bagi cewek-cewek yang sulit jodoh. Tiap hari rata-rata 50 orang peziarah yang datang dari berbagai tempat di Jawa dan luar Jawa menginap di sini. Mereka tidur di tikar di depan kuburan. Sepanjang siang dan malam ada yang membaca doa, ada yang tepekur. Tiap peziarah diwajibkan menjalani tirakat dengan cuma makan sekepal nasi tanpa lauk-pauk dan segelas air bening. Bau kemenyan yang dibakar sepanjang siang dan malam merebak ke seluruh penjuru makam. Tak jelas, siapa sebenarnya Mbah Buyut Tambi itu. Dasta, 62 tahun, juru kunci lama, pun tidak mampu menjelaskan asal usul kuburan yang dikeramatkan itu. Konon, Buyut Tambi adalah seorang perwira tentara Mataram yang tidak mau pulang kembali setelah bala tentara Sultan Agung gagal merebut Batavia pada awal abad ke-17. Bagi juru kunci, asal-usul penghuni kubur itu tak jadi soal. Yang penting, berlimpahnya peziarah yang royal dengan sedekah. Paling sedikit mereka memberi sedekah Rp 500 seorang. Tapi kalau permohonannya terkabul, mereka umumnya melakukan kaul berupa sedekah yang lebih besar lagi. Setahun sekali para alumni peziarah yang berhasil itu mengadakan reuni di halaman Makam. "Dalam upacara ini banyak makanan yang mubazir tak termakan," kata Sucita, 33 tahun, bendahara makam itu. Itu sebabnya jabatan juru kunci makam dilelang. Pada lelang bulan November lalu misalnya, Taryam, pemenang lelang itu, mengajukan penawaran Rp 20,1 juta. "Uang itu hasil gotong royong keluarga," kata Dasta, ayah Taryam. Penawaran Taryam sebenarnya bukan penawaran tertinggi. Masih kalah dengan penawaran Durojak, 70 tahun, yang mengajukan penawaran Rp 22 juta. Tapi karena menyalahi tata tertib, orang tua ini didiskualifikasi. Ia mengisi formulir pada waktu lelang sudah dibuka. Padahal, menurut tata tertib lelang, pengisian formulir penawaran harus ditulis pada amplop tertutup dan diajukan kepada panitia sehari sebelum lelang dibuka. Tak sembarang orang yang bisa mengikuti lelang, memang. Dalam tata tertib lelang disebutkan antara lain peserta harus punya surat bebas Gestapu dan bersih lingkungan (tidak punya keluarga yang terlibat Gestapu/ PKI), surat keterangan dokter dan masih keturunan Buyut Tambi. Yang terakhir ini memang agak sulit membuktikannya. Dua tahun lalu harga lelang untuk juru kunci ini Rp 12,6 juta. "Saya sendiri tak menyangka penawaran sekarang sampai di atas Rp 20 juta," kata Tri Wisnu, Kepala Desa Tambi. Lelang ini dipimpin langsung oleh Kepala Desa. "Untuk mencegah keributan," kata Tri. Tampaknya "bisnis" makam ini menguntungkan. Tapi Dasta menolak menyebutkan berapa keuntungan yang bakal diraih. "Rezeki tak pernah surut di langit," katanya. Tapi menurut Sucita, bendahara makam itu, "Dalam tempo satu tahun saja saya optimistis, modal kembali." Ihwal lelang ini menarik perhatian Majelis Ulama (MU) Jawa Barat. "Islam tak melarang berziarah ke kubur, agar kita juga ingat akan mati. Tapi melarang meminta-minta ke kuburan. Yang mati itu harus didoakan, bukan diminta," kata K.H. Totoh Abdul Fatah, Ketua MU Ja-Bar. Hasan Syukur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini