BILA massa dijadikan ukuran, PPP bakal payah. Lihat saja, bagaimana kampanye partai bintang itu di Surabaya, Minggu lalu, dihadiri tak sampai 5.000 pengunjung. Padahal, yang tampil di atas mimbar Ketua Umum Ismail Hasan Metaerum. Kemudian, sebagai basis NU, Jawa Timur selama ini merupakan penyumbang kursi terbesar bagi PPP. Apalagi kampanye diadakan di lapangan di Jalan Nyamplungan, tak jauh dari Masjid Ampel, yang dikenal sebagai daerah kaum santri. Di Jakarta, di hari yang sama, kampanye PPP di Lapangan Banteng, yang menghadirkan cendekiawan Sri Bintang Pamungkas dan ekonom Hamzah Haz, cuma disambut sekitar 1.500 pengunjung. Lebih parah lagi, kampanye Ketua PPP Yogyakarta Alfian Darmawan di Gunungkidul dikunjungi 600 hadirin. Partai ini juga tampaknya minus artis yang mampu menyemarakkan kampanye. Dalam kampanye di Jakarta tadi, misalnya, panitia menampilkan rombongan musik dangdut kelas kampung. Begitu mau naik pentas, baru ketahuan penyanyinya memakai rok mini. Terpaksa seorang penitia melilitkan bendera hijau PPP di pinggul gadis itu. Untunglah, penyanyi itu tak terganggu bergoyang dengan betis ditutup bendera. Pengunjung yang sedikit itu tampaknya pendukung tradisional. Mereka, seperti disebutkan Affan Gafar, pengajar UGM, datang dari kalangan santri yang menganggap PPP sebagai partai Islam. "PPP itu partai Islam. Kalau bukan umat Islam siapa lagi yang memilihnya," kata Abdul Halim, penduduk Kemayoran, Jakarta, peserta kampanye PPP di Lapangan Banteng. Buya Ismail Hasan Metareum berkali-kali menegaskan, target PPP mengembalikan perolehan suara Pemilu 1982. Ketika itu PPP beroleh 94 kursi DPR. Jumlah ini merosot drastis, tinggal 61 kursi, dalam Pemilu 1987, setelah Ketua Umum PPP J. Naro (saat itu) mendepak para tokoh NU, dan kepengurusan PPP terus dilanda perpecahan. Para tokoh NU kemudian menggembosi PPP. Target tadi diharapkan Buya tercapai dengan kembalinya para pemilih tradisional yang lari pada pemilu 1987. Sebab itu, begitu terpilih menggantikan Naro, Buya berusaha mendekati NU. Berhasil? Belum tentu. Soalnya, Golkar juga sudah dekat dengan para tokoh NU. Ketua NU Jawa Timur sendiri, K.H. Syafei Sulaiman, berkampanye untuk pohon beringin. Walaupun banyak juga tokoh NU yang hadir di panggung kampanye PPP, seperti K.H. Zaky Gufron, Wakil Ketua NU Jawa Timur, K.H. Arifin, pimpinan Pesantren Denanyar, Chalik Ali, bendahara PB NU, dan beberapa lainnya. "Saya bergabung kembali dengan PPP, untuk bertemu lagi dengan temanteman lama," kata Chalik Ali, yang dulu termasuk tukang gembos itu. Selain dengan kartu NU itu, menghadapi pemilu ini, PPP memanfaatkan hasrat sejumlah besar ulama dan ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Alwasliyah yang ingin mencalonkan kembali Soeharto sebagai presiden. Dari pentas kampanye PPP di hari pertama, soal itu sudah dilontarkan. "PPP mencalonkan lagi Soeharto, sesuai dengan amanat warga PPP," kata Ismail Hasan Metareum. Tokoh PPP asal Aceh ini menyebutkan pula bahwa sesepuh NU, almarhum K.H. As'ad Syamsul Arifin, ketika masih hidup dua tahun yang lalu, juga mengamanatkan hal itu kepadanya. Saking bersemangatnya, di Jakarta, juru kampanye Djufrie Asmoredjo, selain menyebut Soeharto, mengumumkan Jenderal Try Sutrisno sebagai calon wakil presiden. "Itu sesuai pembicaraan saya dengan pengurus PPP," kata Djufrie, Ketua PPP Jakarta. Tapi, kepada TEMPO, Buya mengatakan itu cuma pendapat Djufrie pribadi. Menurut Buya Ismail PPP baru mengumumkan nama calon wakil presiden setelah berkonsultasi dengan presiden terpilih. Dengan kampanye pencalonan Pak Harto itu, kritik PPP terhadap Pemerintah akan kurang menyengat dibanding pemilu sebelumnya. Maka, sasaran difokuskan pada isu pemerataan, dengan anggapan umat Islam yang mayoritas masih tertinggal dalam soal kemakmuran. Maka, pembelaan terhadap kaum dhu'afa (tertindas), tampaknya menjadi tema sentral kampanye PPP kali ini. "Yang miskin itu umumnya umat Islam, ya atau tidak, saudara-saudara," teriak juru kampanye Mujib Ridwan di Surabaya tadi. Ismail Hasan Metareum mengatakan, PPP telah menyiapkan konsep ekonomi Indonesia berdasarkan kerakyatan, yang dengan konsep itu, kata Buya, "Tak ada lagi konglomerat, dan tak ada dominasi politik oleh satu golongan." Sri Bintang Pamungkas, dosen Fakultak Teknik UI yang menjadi calon PPP untuk Jakarta, menjelaskan bahwa ekonomi kerakyatan ialah konsep yang meletakkan pemerataan dalam prioritas paling atas. Dia menyebut ada 12 jalur pemerataan dalam konsep itu, di antaranya, pemerataan kesempatan berusaha dan menguasai pasar, serta pemerataan hak politik. PPP pun mengampanyekan tuntutan agar pengusaha pribumi perlu diberi kepercayaan untuk mendistribusikan 9 bahan pokok kepentingan rakyat. "Monopoli harus dibuang jauh-jauh, jangan sampai pengusaha raksasa sekelas Liem Sioe Liong masih menyabet kesempatan orang lain yang kecil dengan bikin pabrik agaragar," kata Ketua PPP Darussamin. Saking bersemangatnya, seorang juru kampanye PPP di Lapangan Banteng tadi sampai nyerempat soal-soal yang peka. Kiai Sumarno Syafii, juru kampanye itu, misalnya, mengajak massa berdialog tentang para calon yang non-Islam. Kalau soal seperti ini diteruskan, semprit wasit akan terarah ke partai bintang ini. Agus Basri, Iwan Qodar Himawan, dan Zed Abidien
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini