KETUA Umum DPP Golkar Wahono berseru, "Golkar"... dan sekitar 40 ribu massa partai kuning di Stadion Gelora 10 November Surabaya menyahut keras, ". .. Menang." Wahono yang mengenakan jaket kuning dengan suara agak serak meneruskan, "Pancasila..." dijawab massa... "Jaya". Yel-yel ini masih berlanjut dengan: "pembanguan terus" dan "agama maju". Empat "dagangan" itulah yang ditawarkan Golkar kepada rakyat pada kampanye perdana di Surabaya Ahad lalu. Sebagai partai yang selalu menang sejak Pemilu 1971, Golkar memang mengklaim sukses pembangunan nasional sebagai sukses Golkar. Program pemerintah dianggap identik dengan program Golkar. Para menteri pun seluruhnya anggota Golkar. Malah, selama kampanye yang berlangsung 25 hari, seluruh menteri sudah mendapatkan cuti agar bisa ikut menarik massa Golkar di berbagai tempat. Mungkin karena itulah Golkar sering menjadi sasaran "tembak" dua kontestan yang lain: PPP melansir isu melebarnya jurang kaya dan miskin, tumbuhnya konglomerat, Partai Banteng di hari pertama langsung menohok masalah suksesi kepemimpinan nasional, ketidakpastian hukum, monopoli dan ketidakpastian politik. Toh Wahono bukan tak punya jawaban. Golkar, katanya, juga melihat berbagai kekurangan pembangunan. Misalnya, ketidakseimbangan antara tenaga kerja dan jumlah lapangan kerja. Bekas Gubernur Jawa Timur dan Panglima Kodam Brawijaya ini juga tak menutupi berbagai ketimpangan sosial yang masih terjadi. "Itu memang merupakan pekerjaan rumah bagi Golkar," teriak Wahono di depan podium Gelora 10 November. Tapi ia tak lupa mengingatkan, tak benar pembangunan seluruhnya kelabu. Untuk itu Golkar mencetak buku Orde Baru dalam Angka yang berisi "angka sukses" pembangunan. Dalam buku yang dicetak 750 ribu eksemplar itu terlihat semua angka naik kecuali inflasi. Barangkali "bermain" dengan angka itu lebih aman untuk Golkar ketimbang masuk dalam isu monopoli seperti lahirnya Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) atau hadirnya PT Bima Citra Mandiri yang mengurus tata niaga jeruk dua isu yang sempat dilayangkan Partai Banteng di Surabaya. Di luar isu-isu yang "merepotkan" itu Partai Beringin agaknya yang paling siap memenangkan Pemilu. Kabarnya, dana yang tersedia sekitar Rp 50 milyar yang kalau dibandingkan dengan PDI, kata pengusaha beken Sugeng Saryadi, "Tak sampai sepersejutanya." Dari markasnya di kawasan Slipi, Jakarta Pusat, Sekjen Golkar Rachmat Witoelar, contohnya, tiap saat bisa memonitor berapa persen perkiraan angka kemenangan nanti dari sentral komputer yang dimiliki Golkar. Mau tanya di mana Ketua Umum Golkar akan kampanye, itu tinggal pencet tuts komputer dan di layar tampak peta Indonesia dengan garisgaris merah yang menghubungkan kota-kota yang dikunjungi. Soal fasilitas, Golkar tak bisa ditandingi. Setiap kali anggota DPP Golkar turun kampanye ke daerah, seperangkat bekal disiapkan. Lima ribu kaus, seratus buah ballpoint, 300 topi kuning Golkar, dan juga ini menarik seratus surah Yaasin. Untuk daerah-daerah sulit, kata Witoelar, Golkar menyewa pesawat carter. Beruntunglah Golkar yang punya berbagai organisasi pendukung. Kecuali milik pemerintah, seperti TVRI dan RRI, Golkar juga ditopang sejumlah media massa, seperti koran dan radio swasta. Miing, pelawak "Bagito Group", misalnya, mewawancarai Wahono pekan lalu. Wawancara serupa dengan sejumlah tokoh Golkar wajib disiarkan 520 radio swasta seluruh Indonesia. Di daerah "rawan" seperti DKI Jakarta tempat Golkar sempat kalah dari PPP pada Pemilu 1982 upaya ekstra dilakukan oleh Ketua DPD DKI Mayjen. (Purn.) Mochamad Basofi Sudirman. Sejak terpilih sebagai Ketua Golkar DKI tiga tahun lalu, anggota Kopassus itu mendirikan Forum Dinamika Jakarta (FDJ). FDJ berkembang dengan cepat. Basofi, yang juga Wakil Gubernur DKI Jaya, agaknya memilih prioritas garapan yang tepat. Yaitu, kaum muda, wanita, tokoh agama, dan golongan yang ekonominya paspasan. Untuk kaum muda, FDJ mengadakan bimbingan belajar massal yang melibatkan sekitar 200 ribu pelajar, festival beduk, dan lain-lain. Para kawula muda dari golongan ekonomi lemah di masa libur diajak pesiar ke Dunia Fantasi atau Pulau Seribu. Untuk merangkul golongan beragama, Basofi pun keluar masuk masjid dan majelis taklim di berbagai pelosok Jakarta. Remaja-remaja masjid juga dirangkulnya. Langkah Basofi ini terasa lebih komplet setelah album rekaman dangdutnya dengan judul Tak Semua Laki-Laki beredar di Jakarta. Walau sempat dikritik, Basofi jalan terus. "Toh Sunan Kalijaga dulu juga begitu caranya," ia menjelaskan. Walhasil, dengan semua ini, Basofi yakin perolehan suara Golkar akan mencapai 53% seperti pada Pemilu lalu. Golkar barangkali perlu punya Basofi lebih banyak di berbagai daerah. Agar lebih jelas, mana yang dikerjakan Golkar dan mana karya pemerintah. Dengan begitu, akar Golkar akan lebih menjalar. Toriq Hadad, Wahyu Muryadi (Jakarta), Reza Rohadian, dan Kelik Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini