POHON-POHON turi masih berdaun. Ini artinya kelaparan belum
begitu ganas di Lombok bagian selatan. Sebab jika pohon itu
sudah gundul berarti daunnya telah habis untuk mengganjel perut.
Tapi sejak 3 bulan terakhir ini hampir semua lelaki dewasa di
beberapa desa Lombok Selatan meninggalkan rumah menuju Mataram,
ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bukan piknik tapi menjadi
pengemis. Karena memang tak ada kerja lain. Desa-desa asal
mereka kekeringan. Lumbung pai kosong. Desa-desa seperti
Kateng, Mangkung, Pujut, Kawo, Bondir dan Sengkol, memang
dikenal rawan pangan.
Beras memang banyak terdapat di pasar-pasar, juga sampai di
pelosok-pelosok desa. Tapi penduduk tak kuasa menyentuhnya,
sebab daya beli mereka hampir punah. Di beberapa desa
pemandangan akan terganggu oleh petak-petak sawah yang kering
dan retak-retak.
Tidak Putus Asa
Lombok Selatan sebenarnya bukan kabupaten, hanya istilah untuk
wilayah itu. Di sana ada 9 kecamatan yang selalu kritis pangan:
6 kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah, 3 kecamatan di Kabupaten
Lombok Timur bagian selatan.
Sembilan bulan lalu hujan pernah turun sedikit dan padi sempat
tumbuh setinggi pinggang. Tapi kemudian layu dan mati lantaran
diganyang wereng. Petani tidak putus asa. Mereka lalu menanam
padi jenis IR yang dikenal tahan wereng. Tapi baru saja dirawat,
muncul hama tikus. Kembali petani menanam IR. Maka datanglah
kemarau panjang, hingga areal sawah tadah hujan seluas 50.000 ha
kehausan.
Sejak zaman Belanda, Lombok Selatan sudah dikenal sebagai daerah
minus. Menurut dr. Soeroso MPH, Ka Kanwil Depkes NTB, pemerintah
kolonial sendiri dulu sulit mencari pemecahannya. Kelaparan
berkali-kali pernah terjadi sejak 1907. Sehingga pemerintah
Hindia Belanda pernah punya rencana mengosongkan daerah itu dari
manusia. Dan sekarang, Pemda setempat bukannya berpangku tangan.
Tapi sayang sebuah bendungan di Desa Batujai yang mampu mengairi
sawah 3.000 ha baru akan selesai 1982 nanti.
Tapi penduduk tampaknya mulai menolehkan harapannya ke
pulau-pulau lain. Mereka mulai kejangkitan demam transmigrasi.
Sudah 2.275 KK yang kini pindah dan mukim di Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Maluku dan Kalimantan Selatan. "Sekarang kami
malah kewalahan menerima pendaftaran. Habis, semuanya minta
segera diberangkatkan," kata Moetantho Dwidjosapoetro, Ka Kanwil
Ditjen Transmigrasi NTB.
Beberapa KK yang masih tinggal terutama di desa-desa Batujai,
Penujak, Kateng dan Bondir di Kabupaten Lombok Tengah --
berusaha menyambung hidup dengan usaha baru. Ini berkat petunjuk
Bupati Lombok Tengah, Parwoto WP, yang melihat banyak belut
terkapar jadi korban obat pembasmi hama tikus dan wereng. Lalu
ia menganjurkan penduduk mencoba beternak belut.
Kini tak kurang dari 2.000 KK, terutama di Desa Penujak,
memelihara belut di kubangaIl halaman rumah selebar 1 meter dan
kedalaman « meter. Di sana debut bong. Setiap KK rata-rata
memiliki 10 bong. Ke dalam bong ini, mula-mula hanya dimasukkan
6 pasang belut saja. Setelah beberapa waktu, Haji Kirana
misalnya (yang paling banyak memiliki bong di Desa Penujak)
seminggu bisa menangkap 20.000 ekor belut.
Di Bali
Kelaparan seperti di Lombok, sebelumnya juga terdengar di Bali,
terutama di Kabupaten Karangasem -- beberapa waktu sebelum gempa
bumi terjadi di sana baru-baru ini. Sepintas, terutama dari arah
barat, bayangan kelaparan itu memang tidak tampak. Tapi di
Buleleng, mulai dari Desa Culik, kegersangan ini tampak.
Daun-daun pohon ental, kelapa dan bambu pada menguning dan
rontok. Rumput tak lagi hijau. Petani juga gagal menanam
palawija.
Penduduk Desa Tianyar dan Kubu juga kehausan. Untuk mencari air,
mereka terpaksa harus naik-turun gunung sejauh 10 km. "Harus
pula berangkat jam 2 dinihari. Sebab kalau berangkat jam 9 pagi
saja, sudah tidak tahan panas terik matahari," tutur Camat Kubu,
I Wayan Djestra. Banyak penduduk mengorbankan tidur malam buat
mencari air.
Banjar Pedahaan Kelod di Desa Tianyar sangat parah. Untuk
mencapai banjar ini harus mendaki gunung sejauh 5 km.
Penduduknya tidak punya apa-apa. Menyambut hari raya galungan
dan kuningan tempo hari, tak ada pesta adat di sana. Jangankan
menyembelih babi, bikin sajen saja tak mampu. "Kami cukup
mempersembahkan canang sari, sajen kecil saja," ucap Nengah
Bagia, 48 tahun, Kelian Banjar Pedahaan Kelod.
Banjar yang berpenduduk 2.103 jiwa ini hampir tak mengenal nasi.
Karena mereka tak mampu membeli beras. Makanan pokok di sana
adalah cacah ketela pohon yang dimasak dicampur kacang. Bulan
lalu makanan yang juga biasa menjadi konsumsi ternak babi itu
masih bisa di dapat. Tapi selanjutnya membeli cacah saja mereka
sudah tak mampu lagi.
Di NTT
Di SumbaTimur Nusa Tenggara Timur, kelaparan juga melanda
beberapa desa. Bahkan menurut Bupati Sumba Timur, dr. Lapumuku,
ada 3 kecamatan -- yaitu Paberiwahi, Rindi Umalulu dan Tabundung
-- sejak Maret sampai Mei 1979 sudah dihantam lapar. Seperti
halnya di beberapa tempat lainnya di NTT dan NTB, sudah sejak
Oktober kemarin panas terik mencekik Sumba Timur.
Tapi bagi Gubernur NTT Ben Mboi, kelaparan di Sumba tidak luar
biasa. Katanya: "Di seluruh NTT gejala kurang pangan sudah bukan
hal yang baru."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini