Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pohon turi masih berdaun

Diancam bahaya kelaparan, kini air sudah sulit di dapat, dan penduduk sudah lama tak mengenal nasi. (dh)

5 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POHON-POHON turi masih berdaun. Ini artinya kelaparan belum begitu ganas di Lombok bagian selatan. Sebab jika pohon itu sudah gundul berarti daunnya telah habis untuk mengganjel perut. Tapi sejak 3 bulan terakhir ini hampir semua lelaki dewasa di beberapa desa Lombok Selatan meninggalkan rumah menuju Mataram, ibukota Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bukan piknik tapi menjadi pengemis. Karena memang tak ada kerja lain. Desa-desa asal mereka kekeringan. Lumbung pai kosong. Desa-desa seperti Kateng, Mangkung, Pujut, Kawo, Bondir dan Sengkol, memang dikenal rawan pangan. Beras memang banyak terdapat di pasar-pasar, juga sampai di pelosok-pelosok desa. Tapi penduduk tak kuasa menyentuhnya, sebab daya beli mereka hampir punah. Di beberapa desa pemandangan akan terganggu oleh petak-petak sawah yang kering dan retak-retak. Tidak Putus Asa Lombok Selatan sebenarnya bukan kabupaten, hanya istilah untuk wilayah itu. Di sana ada 9 kecamatan yang selalu kritis pangan: 6 kecamatan di Kabupaten Lombok Tengah, 3 kecamatan di Kabupaten Lombok Timur bagian selatan. Sembilan bulan lalu hujan pernah turun sedikit dan padi sempat tumbuh setinggi pinggang. Tapi kemudian layu dan mati lantaran diganyang wereng. Petani tidak putus asa. Mereka lalu menanam padi jenis IR yang dikenal tahan wereng. Tapi baru saja dirawat, muncul hama tikus. Kembali petani menanam IR. Maka datanglah kemarau panjang, hingga areal sawah tadah hujan seluas 50.000 ha kehausan. Sejak zaman Belanda, Lombok Selatan sudah dikenal sebagai daerah minus. Menurut dr. Soeroso MPH, Ka Kanwil Depkes NTB, pemerintah kolonial sendiri dulu sulit mencari pemecahannya. Kelaparan berkali-kali pernah terjadi sejak 1907. Sehingga pemerintah Hindia Belanda pernah punya rencana mengosongkan daerah itu dari manusia. Dan sekarang, Pemda setempat bukannya berpangku tangan. Tapi sayang sebuah bendungan di Desa Batujai yang mampu mengairi sawah 3.000 ha baru akan selesai 1982 nanti. Tapi penduduk tampaknya mulai menolehkan harapannya ke pulau-pulau lain. Mereka mulai kejangkitan demam transmigrasi. Sudah 2.275 KK yang kini pindah dan mukim di Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Maluku dan Kalimantan Selatan. "Sekarang kami malah kewalahan menerima pendaftaran. Habis, semuanya minta segera diberangkatkan," kata Moetantho Dwidjosapoetro, Ka Kanwil Ditjen Transmigrasi NTB. Beberapa KK yang masih tinggal terutama di desa-desa Batujai, Penujak, Kateng dan Bondir di Kabupaten Lombok Tengah -- berusaha menyambung hidup dengan usaha baru. Ini berkat petunjuk Bupati Lombok Tengah, Parwoto WP, yang melihat banyak belut terkapar jadi korban obat pembasmi hama tikus dan wereng. Lalu ia menganjurkan penduduk mencoba beternak belut. Kini tak kurang dari 2.000 KK, terutama di Desa Penujak, memelihara belut di kubangaIl halaman rumah selebar 1 meter dan kedalaman « meter. Di sana debut bong. Setiap KK rata-rata memiliki 10 bong. Ke dalam bong ini, mula-mula hanya dimasukkan 6 pasang belut saja. Setelah beberapa waktu, Haji Kirana misalnya (yang paling banyak memiliki bong di Desa Penujak) seminggu bisa menangkap 20.000 ekor belut. Di Bali Kelaparan seperti di Lombok, sebelumnya juga terdengar di Bali, terutama di Kabupaten Karangasem -- beberapa waktu sebelum gempa bumi terjadi di sana baru-baru ini. Sepintas, terutama dari arah barat, bayangan kelaparan itu memang tidak tampak. Tapi di Buleleng, mulai dari Desa Culik, kegersangan ini tampak. Daun-daun pohon ental, kelapa dan bambu pada menguning dan rontok. Rumput tak lagi hijau. Petani juga gagal menanam palawija. Penduduk Desa Tianyar dan Kubu juga kehausan. Untuk mencari air, mereka terpaksa harus naik-turun gunung sejauh 10 km. "Harus pula berangkat jam 2 dinihari. Sebab kalau berangkat jam 9 pagi saja, sudah tidak tahan panas terik matahari," tutur Camat Kubu, I Wayan Djestra. Banyak penduduk mengorbankan tidur malam buat mencari air. Banjar Pedahaan Kelod di Desa Tianyar sangat parah. Untuk mencapai banjar ini harus mendaki gunung sejauh 5 km. Penduduknya tidak punya apa-apa. Menyambut hari raya galungan dan kuningan tempo hari, tak ada pesta adat di sana. Jangankan menyembelih babi, bikin sajen saja tak mampu. "Kami cukup mempersembahkan canang sari, sajen kecil saja," ucap Nengah Bagia, 48 tahun, Kelian Banjar Pedahaan Kelod. Banjar yang berpenduduk 2.103 jiwa ini hampir tak mengenal nasi. Karena mereka tak mampu membeli beras. Makanan pokok di sana adalah cacah ketela pohon yang dimasak dicampur kacang. Bulan lalu makanan yang juga biasa menjadi konsumsi ternak babi itu masih bisa di dapat. Tapi selanjutnya membeli cacah saja mereka sudah tak mampu lagi. Di NTT Di SumbaTimur Nusa Tenggara Timur, kelaparan juga melanda beberapa desa. Bahkan menurut Bupati Sumba Timur, dr. Lapumuku, ada 3 kecamatan -- yaitu Paberiwahi, Rindi Umalulu dan Tabundung -- sejak Maret sampai Mei 1979 sudah dihantam lapar. Seperti halnya di beberapa tempat lainnya di NTT dan NTB, sudah sejak Oktober kemarin panas terik mencekik Sumba Timur. Tapi bagi Gubernur NTT Ben Mboi, kelaparan di Sumba tidak luar biasa. Katanya: "Di seluruh NTT gejala kurang pangan sudah bukan hal yang baru."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus