Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hilang Generasi Ditelan Pandemi

Berbagai masalah muncul akibat pembelajaran jarak jauh selama pandemi corona. Angka putus sekolah dan pernikahan dini diperkirakan meningkat.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah pelajar berada di atas bangunan kamar mandi umum untuk mendapatkan sinyal jaringan internet gratis di Sigemplong, Batang, Jawa Tengah, 3 Juli 2020. ANTARA/Harviyan Perdana Putra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Keputusan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengizinkan sekolah tatap muka di zona kuning menuai kritik.

  • Di sejumlah daerah, banyak murid tak bisa mengakses pembelajaran jarak jauh.

  • Jumlah calon mahasiswa baru di sejumlah kampus mengalami penurunan.

MEMIMPIN rapat online bertema “Pembukaan Pembelajaran Tatap Muka di Zona Kuning” pada Senin siang, 3 Agustus lalu, Nadiem Makarim memaparkan berbagai permasalahan yang muncul akibat pembelajaran jarak jauh. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu menyoroti beban yang harus ditanggung para murid, seperti pembelian kuota Internet.

Deputi Koordinasi Bidang Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Sartono, yang hadir dalam pertemuan itu, bercerita bahwa Nadiem juga menyebutkan belum ada kurikulum yang disesuaikan dengan kondisi pandemi. “Dalam kondisi tidak normal, tapi pembelajarannya seperti sebelum pandemi,” kata Agus saat dihubungi Tempo pada Selasa, 4 Agustus lalu.

Rapat selama dua jam itu juga dihadiri Menteri Agama Fachrul Razi, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, serta Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo. Menurut Agus, Nadiem Makarim juga menyampaikan banyaknya kritik setelah dia mengeluarkan surat edaran tanggal 17 Maret, sekitar dua pekan setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus positif corona pertama. Isinya soal proses pembelajaran dilakukan dari rumah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang murid sekolah dasar membuat video belajar matematika dari rumah untuk sekolah di Desa Rawang, Pariaman, Sumatera Barat, 21 Juli 2020. Antara/Iggoy El Fitra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua pejabat pemerintah—salah satunya di Kementerian Pendidikan—mengatakan surat edaran itu muncul tanpa disertai hasil riset tentang jumlah sekolah yang memiliki akses Internet serta data guru dan murid yang punya telepon pintar atau laptop. Keduanya menyebutkan Nadiem baru menyetorkan data bahwa 46 ribu sekolah tak memiliki jaringan Internet ke Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan tiga bulan setelah surat edaran itu keluar. Agus Sartono membenarkan kabar bahwa pemerintah mengambil kebijakan belajar dari rumah tanpa riset karena keadaan mendesak. “Itu keputusan terbaik karena tidak ada pilihan lain,” ujarnya, Selasa, 4 Agustus lalu.

Dalam rapat itu, kata Agus, seorang peserta rapat sempat melontarkan ide pembelian telepon seluler atau laptop untuk murid-murid yang tak memiliki peralatan. Namun ide itu dianggap tak bisa dijalankan karena ketiadaan anggaran. Nadiem lalu mengusulkan pembukaan sekolah di zona kuning. Sebelumnya, surat keputusan bersama empat menteri menyatakan pembelajaran tatap muka hanya diperbolehkan bagi sekolah yang berada di zona hijau. Pada Jumat, 7 Agustus lalu, Nadiem mengumumkan keputusan rapat tersebut. Dia juga mengeluarkan kurikulum darurat yang akan berlaku hingga akhir tahun. Nadiem pun mengizinkan penggunaan dana bantuan operasional sekolah untuk membeli kuota Internet.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Retno Listyarti, menilai rencana itu berisiko untuk anak-anak. Ia mencontohkan, pembukaan sekolah di Pariaman, Sumatera Barat, yang masuk zona hijau, mengakibatkan satu guru dan satu petugas sekolah terinfeksi corona. “Seharusnya ada evaluasi terlebih dahulu terhadap pelaksanaan pembelajaran tatap muka di zona hijau,” kata Retno.

Namun Nadiem mengatakan pembelajaran daring tak optimal dan berdampak negatif. Ia mencontohkan, ada potensi murid putus sekolah dan terpaksa bekerja, terjadi penurunan kualitas pendidikan, serta angka kekerasan terhadap anak dan pernikahan dini meningkat. “Kita punya risiko generasi dengan learning loss. Lost generation,” ujarnya.

•••

PEMBAGIAN rapor pada Juni lalu membuat Ivan Maulana malu. Pada semester pertama, murid kelas X Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Bumijawa, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, itu menempati peringkat ke-17 dari 29 murid. Namun kali ini Ivan berada di peringkat terakhir. Nilai bahasa Inggrisnya D karena dia hanya mengantongi ponten 50. “Saya tidak mengirimkan tugas dan tidak ikut remedial karena tak punya telepon pintar,” katanya.

Ivan sempat memiliki telepon seluler, tapi beberapa saat sebelum corona mewabah, ponselnya jatuh dan rusak. Ayahnya, Anton Priyadi, yang bekerja sebagai buruh kontrak, tidak mampu memperbaikinya atau membelikan ponsel baru. Niat membelikan telepon seluler musnah karena kontrak Anton tak lagi diperpanjang setelah pandemi. Adapun SMKN 1 Bumijawa menggelar pembelajaran jarak jauh sejak pagebluk menyebar.

Ivan sempat belajar bersama teman satu sekolahnya yang memiliki ponsel. Ia mengayuh sepeda selama 30 menit dari rumahnya di Desa Kedawung ke rumah temannya di Desa Tuwel. Di sana, dia mengikuti pembelajaran daring bersama gurunya di jurusan teknik otomasi industri. Ivan pun mengerjakan soal-soal yang dikirim gurunya melalui aplikasi WhatsApp. Kalau tidak bisa menjawab, ia menyalin semua pertanyaan ke dalam buku. “Besoknya kembali lagi untuk mengirimkan jawaban,” kata Ivan.

Belakangan, Ivan merasa sungkan datang ke rumah temannya itu. Apalagi ia kerap diledek karena sering meminjam gawai. Dia pun tak lagi bisa rutin mengikuti pelajaran. Sesekali Ivan meminjam ponsel kerabatnya untuk mengerjakan soal.

Di Desa Meunasah Tuha, Kecamatan Bada, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Zulkiran juga keteteran mengikuti pembelajaran online. Murid kelas V Sekolah Dasar Negeri Lamteh itu juga tak memiliki gawai. “Susah belajar, tak mengerti,” ujar Zulkiran. Ibu Zulkiran, Zaidar, mengaku sering meminjam ponsel milik saudaranya yang tinggal di samping rumah mereka. Zaidar harus mengisi pulsa Rp 20 ribu untuk membeli paket Internet yang cukup digunakan selama empat hari. Ponsel itu dipakai untuk mengunduh tugas dari guru. Zulkiran lalu menyalinnya di secarik kertas. Tugas sekolah itu diserahkan ibunya keesokan harinya.

Zaidar mengatakan anaknya sempat mengalami stres karena tak memiliki ponsel dan tak bisa bertemu dengan teman-temannya di sekolah. Zaidar tak bisa berbuat banyak. Pekerjaannya sebagai buruh cuci, sementara suaminya menjadi tukang giling padi keliling, tak memungkinkan dia membeli gawai untuk putranya. Zaidar sempat memikirkan niat memberhentikan anaknya dari sekolah. Namun hal itu diurungkannya. “Meski kami miskin, anak harus pintar,” ujarnya.

Menurut Zaidar, anaknya kesulitan belajar karena guru kerap hanya memberikan tugas dan tak menyampaikan materi pelajaran. Tempo juga mewawancarai enam orang tua murid yang berada di Kabupaten Agam, Sumatera Barat; Kota Bengkulu; Jakarta; Bandung; Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara; dan Merauke, Papua. Semuanya mengeluhkan pendidikan jarak jauh menggunakan sarana daring. Ada kecenderungan guru tak mengajar seperti biasanya dan hanya memberikan tugas.

Sigi Komisi Perlindungan Anak Indonesia terhadap 1.700 murid di berbagai daerah mengemukakan hal serupa. Menurut anggota KPAI, Retno Listyarti, dalam survei tersebut, 76,7 persen anak tidak senang belajar secara online. Sedangkan sisanya, 23,3 persen, menyukainya. Dalam sigi yang sama, siswa mengeluhkan banyaknya tugas yang diberikan guru, waktu pembelajaran yang sedikit, tidak ada kuota Internet, dan tidak dimilikinya gawai ataupun laptop. “Ada siswa yang putus sekolah karena pandemi,” ujar Retno.

Pegiat pendidikan di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Sri Tiawati, menuturkan ada sekitar 20 anak di Kecamatan Sekatak yang tak lagi bersekolah karena pandemi dan tidak punya sarana belajar online. “Orang tua membawa mereka ke hutan dan berladang,” ujarnya. Hasil riset organisasi bantuan kemanusiaan untuk anak-anak, Save the Children, menunjukkan pandemi sangat berdampak terhadap anak-anak, dari soal orang tua yang kehilangan pekerjaan, tidak bisanya mereka mengakses layanan pendidikan yang berkualitas, sampai rentannya anak-anak mendapat kekerasan.

Selain itu, pembelajaran jarak jauh dan masalah ekonomi yang muncul karena Covid-19 dianggap sebagai pemicu pernikahan dini. Kajian Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, menunjukkan ada pertumbuhan permohonan kelonggaran perkawinan anak di Jawa Barat setelah pandemi. Di Surabaya, hingga Juli lalu, ada 182 pengajuan dispensasi. Angka itu mendekati jumlah permohonan sepanjang 2019, sebanyak 187.

Di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, ada 40 pengajuan dispensasi hingga Juli lalu. Padahal, sepanjang tahun lalu, hanya ada sepuluh permintaan. Bupati Pesisir Selatan Hendrajoni mengatakan salah satu penyebab meningkatnya pengajuan dispensasi itu adalah anak putus sekolah lantaran tak bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh. “Bisa jadi karena persoalan ekonomi, orang tua menikahkan anak mereka,” ujarnya.

•••

PERMASALAHAN pendidikan jarak jauh juga terjadi di dunia perkuliahan. Berbeda dengan pendidikan dasar dan menengah yang menyoroti kesusahan belajar daring, para mahasiswa menyoroti biaya kuliah yang tak kunjung turun. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional, Deodatus Sunda Se, menggalang dukungan dari rekan-rekannya karena kampus hanya menurunkan biaya kuliah senilai Rp 100 ribu. Deodatus menilai potongan itu terlalu kecil dibanding biaya perkuliahan Rp 5-7 juta per semester.

Mahasiswa pun menuntut pemotongan biaya minimal 50 persen. “Pembelajaran online juga efektif. Kampus tidak dipakai untuk kuliah. Biaya terlalu besar,” ujar Deodatus ketika dihubungi pada Kamis, 6 Agustus lalu. Sejumlah mahasiswa pun menggelar unjuk rasa yang berujung ricuh. Buntutnya, Deodatus dan tiga rekannya dikeluarkan dari universitas, sedangkan sejumlah mahasiswa lain diskors. Kepala Humas Universitas Nasional Marsudi mengatakan hukuman itu diberikan karena mahasiswa tersebut melakukan pelanggaran tata tertib. Selain itu, menurut dia, jumlah potongan biaya perkuliahan sudah sesuai. “Ada juga potongan lain sebesar Rp 150 ribu,” ujarnya.

Seorang mahasiswa mengerjakan Ujian Tengah Semester secara daring di pinggir jalan di Desa Kenalan, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. ANTARA/Anis Efizudin

Di Makassar, mahasiswa Universitas Hasanuddin juga menuntut keringanan biaya kuliah. Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Hasanuddin, Abdul Fatir Kasim, menyebutkan seharusnya uang kuliah pada masa pandemi tak sama dengan biaya saat normal. Juru bicara universitas ini, Ishaq Rahman, mengatakan kampus tak bisa menuruti permintaan itu. Menurut dia, sudah ada keringanan berupa potongan bagi mahasiswa dengan sejumlah syarat. Di antaranya surat keterangan penghasilan dari lurah dan surat pemberhentian kerja bagi orang tua mahasiswa yang tak lagi bekerja karena pandemi.

Persoalan biaya kuliah ini sempat ramai di media sosial. Pada 2 Juni lalu, muncul dua tanda pagar di Twitter, yaitu #MendikbudDicariMahasiswa dan #NadiemManaMahasiwaMerana. Pada awal Juli lalu, Nadiem Makarim mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi. Dalam aturan itu, perguruan tinggi dan Kementerian Pendidikan harus memberikan keringanan pembayaran uang kuliah. Misalnya, mahasiswa yang cuti tak perlu membayar uang kuliah. Sebanyak 410 ribu mahasiswa pun akan mendapat bantuan melalui Kartu Indonesia Pintar.

Pandemi juga berdampak terhadap penerimaan mahasiswa baru. Ketua Pusat Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Airlangga, Surabaya, Achmad Solihin, menuturkan hingga 6 Agustus lalu hanya terdapat 4.000 calon mahasiswa yang mendaftar melalui jalur mandiri. “Tahun lalu, angkanya bisa mencapai 10 ribu calon mahasiswa,” ujarnya.

Sedangkan Rektor Universitas Al Azhar Indonesia Asep Saefuddin mengatakan jumlah pendaftar calon mahasiswa di kampusnya berkurang drastis. Ia memprediksi hanya akan ada sekitar 600 mahasiswa baru atau separuh jumlah tahun lalu, yang mencapai 1.200 orang. Menurut Asep, turunnya angka pendaftaran ini akibat goyangnya ekonomi karena corona. “Keluarga memilih kebutuhan primer dibanding kuliah yang tersier,” ujarnya.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, ANWAR SISWADI (BANDUNG), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), NURHADI (SURABAYA), DIDIT HARIYADI (MAKASSAR)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Hussein Abri Dongoran

Hussein Abri Dongoran

Bergabung dengan Tempo sejak April 2014, lulusan Universitas Pasundan, Bandung, ini banyak meliput isu politik dan keamanan. Reportasenya ke kamp pengungsian dan tahanan ISIS di Irak dan Suriah pada 2019 dimuat sebagai laporan utama majalah Tempo bertajuk Para Pengejar Mimpi ISIS.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus