Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Merauke Food Estate ditinggalkan investor.
Masalah laten tak teratasi meski berstatus kawasan pangan.
EMPAT pekerja menancapkan bibit padi hingga memenuhi sebidang petak sawah di Kampung Wapeko, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Papua. Pagi itu, Rabu, 5 Agustus lalu, air telah menggenangi petak-petak sawah di Wapeko. Area persawahan yang dikelola PT Parama Pangan Papua, bagian dari Medco Papua Group, itu tengah memasuki musim tanam gadu, menyambut datangnya kemarau tahun ini.
Medco menggarap lahan seluas hampir 400 hektare di Merauke. Sebagian besar ditanami padi. “Kami punya satu tempat untuk mencoba berbagai macam tanaman,” ucap Direktur Medco Papua Budi Basuki kepada Tempo, Selasa, 4 Agustus lalu.
Pemerintah Kabupaten Merauke mempercepat penanaman padi musim gadu, bahkan sejak akhir Mei lalu, untuk mengamankan stok. Alasannya, luas sawah pada periode tanam pertama atau musim rendeng lalu tak sesuai dengan harapan. Lewat keterangan tertulis, 20 Mei lalu, pemerintah Merauke menyebutkan target tanam seluas 36.155 hektare hanya terealisasi 33.948 hektare. Pada periode tanam gadu ini, target mencapai 25.341 hektare. Strateginya, waktu tanam dipercepat dengan memanfaatkan air.
Merauke adalah sentra pangan bagi Papua. Kabupaten ini memasok berbagai hasil pertanian ke beberapa wilayah, seperti Jayapura, Timika, Mappi, Boven Digul, dan Asmat. Pasokan selain beras adalah jagung, kedelai, dan sorgum. Pemerintah pusat bahkan telah menetapkan kabupaten hasil pemekaran ini sebagai lumbung pangan nasional, melalui Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), sepuluh tahun lalu.
Kini pemerintah menggagas calon lumbung pangan nasional yang baru di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, sebagai bagian dari Program Strategis Nasional 2020-2024. Proyek yang dirancang seluas 165 ribu hektare ini ditujukan untuk mengantisipasi ancaman krisis pangan karena dampak pandemi Covid-19. Pembangunannya akan mengintegrasikan pertanian, perkebunan, dan peternakan di satu kawasan.
Sementara itu, di Merauke Food Estate, sejumlah perusahaan telah berinvestasi. Medco satu di antaranya. Budi Basuki mengatakan Indonesia mau tidak mau harus melakukan ekstensifikasi karena lahan pertanian di Jawa kian menyusut.
Saat ini, Medco mengelola hampir 400 hektare lahan, tapi tak semuanya digarap sendiri. Perusahaan ini bermitra dengan petani untuk mengerjakan 300 hektare sawah yang ditanami padi. Seratus hektare sisanya menjadi semacam ladang percobaan untuk menanam berbagai tanaman pangan, seperti kedelai dan sorgum.
Budi bercerita, ketika baru dibuka, sawahnya hanya menghasilkan 1,5-2 ton beras per hektare. Kini produktivitas telah meningkat hingga 4 ton per hektare. “Tapi, kalau kena hama, aduh. Namanya pertanian biasa seperti itu.”
Tanaman padi di Kurik dipanen dua kali setahun, tak seperti di Jawa yang bisa lebih banyak. Itu pun pada periode tanam kedua alias tanam gadu petani harus memompa air. Medco sengaja tak menanam jagung. Sebab, harganya terlalu murah, tak sebanding dengan biaya produksi. Apalagi perlu ongkos angkut yang mahal untuk membawanya ke pasar di Jawa.
Berbeda dengan Medco, PT Bangun Tjipta Sarana mengkhususkan diri pada tanaman jagung. Perusahaan milik mantan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan, Siswono Yudo Husodo, itu mengincar ceruk pasar jagung domestik yang masih menganga, sebagian besar untuk pabrik pakan ternak. Indonesia masih mengimpor rata-rata 1 juta ton jagung setahun.
Pada akhir 2009, Bangun Tjipta sempat panen sekitar 1.000 ton jagung. Tapi panen raya itu membuat harga jeblok. Di Jember, Jawa Timur, misalnya, harga di tingkat petani yang biasanya Rp 2.500 melorot tinggal Rp 1.900 per kilogram. Di pasar dunia pun harga jatuh dari US$ 320 sen menjadi US$ 240 sen. Maka perusahaan menyetop penanaman kembali. “Sudah saya tutup. Rugi,” ucap Siswono, Selasa, 4 Agustus lalu. Ia mengatakan bisnis jagungnya di Merauke hanya berjalan sekitar dua tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH semula meresmikan megaproyek MIFEE pada Februari 2010, bertepatan dengan ulang tahun Kabupaten Merauke ke-108. Enam bulan kemudian, 11 Agustus 2010, pemerintah meluncurkan kembali program itu dalam grand launching. Sebelum Jakarta merancang MIFEE, Pemerintah Kabupaten Merauke era Bupati John Gluba Gebze lebih dulu menggagas program kawasan pangan bertajuk Merauke Integrated Rice Estate atau MIRE. Sebelumnya, pada 1939-1958, di wilayah itu dikenal program Padi Kumbe.
Pemerintah Merauke mencadangkan lahan seluas 2,5 juta hektare untuk proyek MIFEE. Tapi Badan Perencanaan Tata Ruang merekomendasikan area potensial yang efektif hanya 1,2 juta hektare. Sebagian besar lahan tersebut berupa kawasan hutan (91 persen) dengan fungsi hutan produksi yang dapat dikonversi dan hutan produksi terbatas.
Kawasan superluas di dataran rendah dengan stok air berlimpah ini dijadikan pusat tanaman pangan nasional. Sebanyak 20 distrik di Merauke dibagi dalam tiga zona sentra pangan. Zona I untuk komoditas padi, sorgum, dan gandum. Zona II untuk tebu, jagung, dan kedelai. Zona III untuk padi dan sagu.
Presiden Joko Widodo sempat berkunjung ke Merauke Food Estate ini pada 10 Mei 2015. Kala itu, Jokowi mengikuti panen raya padi di persawahan seluas 300 hektare di Wapeko, menjajal traktor penanam dan pemotong padi, hingga menyebarkan bibit ikan nila di saluran drainase.
Di hadapan sekitar 500 petani, Jokowi mengatakan Merauke ke depan akan menjadi lumbung pangan nasional, bahkan pemasok pangan negara lain. Untuk mencapai itu, kata dia, mekanisme pengolahan tidak bisa lagi manual, tapi kudu menggunakan mesin. Dengan begitu, hasil yang didapatkan bisa berkali-kali lipat lebih banyak. Apalagi area yang akan digunakan untuk tahap awal ini seluas 1,2 juta hektare. “Tidak mungkin bisa dikerjakan pakai tangan, sampai kiamat tidak mungkin. Harus pakai mesin modern. Nanti Merauke yang pertama pakai mesin modern,” tutur Jokowi saat itu.
Ia menambahkan, untuk mengembangkan lahan pertanian modern, dibutuhkan dukungan investor. Diperlukan juga dukungan masyarakat selaku pemilik lahan, termasuk soal skema bagi hasil dengan investor.
Sejumlah perusahaan besar pun dilibatkan. Medco salah satunya. Perusahaan milik keluarga Arifin Panigoro ini memiliki lahan uji coba di Distrik Semangga. Pelibatan ini merupakan kelanjutan dari kunjungan Arifin ke Kampung Wasur, Agustus 2009. Bangun Tjipta Sarana mengantongi izin pengelolaan 8.000 hektare. Tapi perusahaan baru menggarap 400-an hektare di Distrik Kurik dan 40 hektare di Distrik Wasur sejak 2007.
Pada pertengahan 2008, Binladin Group—kelompok usaha asal Arab Saudi—juga menyatakan minatnya berinvestasi di Merauke. Nilainya cukup fantastis: US$ 4,3 miliar atau sekitar Rp 40 triliun untuk menanam padi di area seluas 500 ribu hektare. Ditemani utusan khusus Presiden RI untuk Timur Tengah, Alwi Shihab, Vice Chairman Binladin Group Syekh Hassan M. bin Ladin saat itu juga bertemu dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Pertanian Anton Apriyantono.
Ketika itu, pemerintah berjanji kendala terbesar soal infrastruktur akan dipikirkan Kementerian Pekerjaan Umum. Pemerintah memperkirakan kebutuhan dana untuk membangun infrastruktur awal mencapai Rp 2,5-3 triliun. Bila tahap itu sukses, pemerintah optimistis bisa menyedot investasi Rp 50-60 triliun di Merauke.
Siswono Yudo Husodo menjelaskan, biaya produksi jagung di Merauke jauh lebih mahal. Ada banyak faktor penyebabnya. Pertama, kondisi tanah yang asam memerlukan lebih banyak pupuk. Berbeda dengan tanah di Jawa yang kerap dibanjiri lahar gunung api yang kaya hara. Kedua, bercocok tanam menggunakan alat-alat mekanisasi pertanian tak mudah di Merauke. Di Jawa, Siswono berkisah, kalau traktor macet, montir bisa segera datang. Bila onderdil rusak, suku cadang bisa dibeli dengan cepat. “Kalau di Merauke? Onderdil rusak mesti beli di Jawa. Suku cadangnya belum tentu tersedia,” ujarnya. Akibatnya, traktor bisa menganggur selama berhari-hari. “Itu membuat biaya menjadi lebih mahal.”
Ketiga, sebagian besar pasar jagung berada di Jawa, terutama pabrik pakan ternak. Buruknya infrastruktur membuat biaya pascapanen lebih besar. Ongkos angkut menggunakan moda transportasi laut ke Jawa juga relatif mahal. “Ujung-ujungnya, enggak nutup. Makanya kami tutup,” kata Siswono.
Siswono memang punya pengalaman pahit. Pada akhir 2009, ketika panen raya jagung, sekitar 1.000 ton produk Bangun Tjipta mentok di pinggir Sungai Kumbe. Truk pengangkut semestinya melintasi jembatan menuju Kota Merauke dalam dua jam perjalanan. Namun jembatan reyot. Jagung pun dipindahkan ke perahu untuk dibawa menyeberang. Di seberang sungai, perlu truk lain untuk melanjutkan perjalanan.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo