Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ramai di Sana, Ramai di Sini

Ratusan pelajar SMP Alwasliyah, Asahan, protes, sekolahnya terkena banjir kiriman dari proyek bah bolon. Pedagang kaki lima, sopir truk tangki, tukang becak & nelayan pada protes.

28 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI ramai-ramai yang tidak biasa. Di Sumatera Utara dan Aceh dalam dua pekan belakangan ini terkesan bahwa unjuk rasa lagi musim. Para pelajar, mahasiswa, abang becak, sopir truk, nelayan, dan pedagang kaki lima melakukannya. Pelajar Empat ratus pelajar dari Perguruan Alwasliyah Indrapura, Asahan, melakukan gerak jalan enam km. Mereka membawa poster-poster yang dibuat mendadak, dan berbaris sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Tujuan langkah mereka Kantor Proyek Bah Bolon. Itulah proyek pembenahan saluran air di sepanjang Sungai Bah Bolon, kerja sama Indonesia-Australia. Para pelajar itu hendak mengadu. Sudah sejak dua bulan lalu sekolah mereka sering ketamuan banjir kiriman. Seperti yang terjadi di hari gerak jalan itu, 9 November lalu, kendati tak turun hujan, Alwasliyah tergenang air setinggi satu meter. Entah bagaimana, tiba-tiba saja dengan spontan para siswa yang sebagian masih bercelana pendek itu tergerak melakukan unjuk rasa. Mereka tahu, Proyek Bah Bolon-lah yang bertanggung jawab atas jebolnya sebagian tanggul sungai. Sedikit selingan terjadi ketika mereka telah berjalan dua kilometer. Dua polisi bermotor menghadang. Tapi apalah artinya dua polisi dibanding 400 siswa. Apalagi ada "kipasan" dari orang-orang yang menonton. Walhasil, sampailah mereka di tempat tujuan, disambut oleh Staf Proyek beserta Tim Musyawarah Pimpinan Kecamatan. Setelah bingung sebentar, lima siswa akhirnya terpilih mewakili mereka semua. Uneg-uneg pun mengalir tak kalah dengan derasnya banjir: mulai dari soal banjir, hingga Tes Hasil Belajar yang sudah dekat waktunya. Alhamdulillah, keringat 6 km mereka tak sia-sia. Beberapa hari kemudian Subkontraktor Bah Bolon, PT Waskita Karya, dibantu oleh para siswa Alwasliyah langsung memperbaiki tanggul yang sudah lama jebol. Mungkin ada yang bertanya, mengapa para siswa ini tak mengadu dulu ke wakil rakyat di DPRD. Akhmadan, siswa kelas III SMP, salah seorang wakil pemrotes, menjawab, "Tindakan yang paling tepat, langsung mendatangi proyek itu." Itu benar. Tapi benar juga bahwa kantor DPRD-nya ada di Kaisaran atau 47 km dari sekolah mereka. Jalan kaki sejauh itu? Wah. Adalah sikap toleran Letkol Sofyan Jacob, Kapolres Asahan, yang memeriksa protes para pelajar Alwasliyah, yang mesti juga dipuji. Tak satu pun dari lima siswa yang dimintai keterangan ditahan, atau dikenai wajib melapor. "Mereka sebenarnya tidak mengerti bahwa demonstrasi itu dilarang," tutur letkol itu. Sementara itu, ada pula protes mahasiswa Universitas HKBP Nommensen, Medan (lihat Pendidikan). Pedagang Kaki Lima Sebelum itu, di Pajak Dame, Medan, 5 November, diiringi lagu-lagu rohani -- dan sesekali diselingi teriakan "Hidup Golkar" --sekitar 200 pedagang kaki lima melakukan aksi. Mereka membuat barikade dengan cara saling mempertautkan tangan, mencegah masuknya petugas Tibum dan kepolisian. Mereka mencoba mempertahankan tempat berdagang yang akan dijadikan tempat parkir. Bukan maksud mereka hendak melawan. Tapi mereka heran, karena tempat penampungan yang dijanjikan, hingga batas waktunya, tidak pernah terwujud. Memang, mereka ditawari pindah ke lokasi di lantai III dan IV di pasar yang baru dibangun itu. Mereka menolak, dengan alasan pembeli akan segan naik tangga. Apalagi seminggu sebelumnya, ketika meresmikan pasar di lain daerah, Pasar Minggu Baru di Bengkulu, Menteri Dalam Negeri mengatakan, "...pedagang kaki lima jangan diusir, karena mereka merupakan potensi ekonomi...." Salinan teks pidato itulah yang diacung-acungkan bak senjata untuk mencegah petugas. Tak seberuntung para siswa Alwasliyah, untuk sementara para pedagang kaki lima itu harus mengalah. Mengapa tak mengadu ke DPRD ? "Kami tak punya waktu, dan kalaupun ada siapa yang menunggu jualan kami," kata Hasalohan Simanjuntak, seorang penjual ikat pinggang yang ikut protes. Pengemudi Truk Tangki. Lalu dalam pekan lalu pula, dua ratus pengemudi truk tangki melakukan aksi mogok di Depo Pembekalan Dalam Negeri, Belawan. Mereka memprotes pemasangan sebuah rambu-rambu menjelang jalan tol Belmera, yang memerintahkan semua truk melalui jalan tol. Mestinya, para sopir ini senang, diberi jalan mulus dan bebas hambatan. Repotnya, majikan mereka tidak mau menanggung biaya tambahan, yakni tarif tol, dan BBM tambahan karena jalan tol lebih panjang daripada jalan biasa. Untung, pihak Pemda cukup tanggap. Sebelum pemogokan berlangsung 24 jam, rambu-rambu dicabut kembali. Harap maklum, bila tidak, bisa-bisa keresahan lebih berat bisa muncul di Medan. Ibu kota Sumatera Utara itu bisa jadi sepi, karena mobil-mobil tak bisa jalan, karena pompa bensin di Medan kosong. Pengemudi Becak dan Nelayan Dari aksi-aksi unjuk rasa itu, protes para pengemudi becak di Aceh, dan para nelayan di pantai Merdeka, Deli Serdang, boleh disebut menggunakan "saluran tepat": mereka langsung ke DPRD. Sekitar 250 abang becak mengadu karena lahan rezeki mereka diserobot oleh angkutan kota. Adapun para nelayan pantai Merdeka, 75 km dari Medan, protes lantaran pantai mereka dikeruk pasirnya oleh seorang pengusaha, sehingga rumah-rumah di sekitar itu digenang air laut. Para nelayan termasuk beruntung juga. Begitu seorang anggota DPRD terjun ke lokasi, pengerukan pun dihentikan. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Tak perlu cemas, tak perlu bercuriga. Seorang sosiolog dari IKIP Medan, Dr. Usman Pelly, menganggap unjuk rasa tersebut menunjukkan adanya kesadaran masyarakat akan hak dasarnya. Sayangnya, sebagian mereka tidak, atau belum, mengalirkan tuntutannya pada saluran yang tepat. Maksudnya saluran DPR(D). Katanya, "Sisi inilah yang masih harus dibenahi." Budi Kusumah (Jakarta), Makmun Al Mujahid, Mukhlizardy Mukhtar, Irwan E. Siregar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus