PORKAS tak diperpanjang izinnya? Itulah kabar yang beberapa waktu lalu terdengar. Tapi kini, ada kabar baik uat penggemar yang suka menebak-nebak. Yakni, akan diperpanjangnya izin Porkas yang sedianya berakhir tahun ini. "Insya Allah," tutur Menteri Sosial Nyonya Nani Soedarsono, Jumat pekan lalu di Istana Negara. "Presiden sudah mengatakan dapat dipertimbangkan, karena hasil tim yang dikirim Depsos ke daerah-daerah menilai Porkas betul-betul positif." Benar, Porkas tak seratus persen positif. Tapi itu "hanya bersifat kasuistis," kata Mensos kepada wartawan. Justru, kata Nyonya Nani pula, manfaat Porkas lebih banyak ketimbang kerugiannya. Umpamanya, pada SEA Games XIV, di Jakarta, Indonesia kembali menjadi juara umum. Itu antara lain berkat pembinaan dengan biaya Rp 11 milyar, dana dari sebagian hasil Porkas yang Rp 27 milyar itu. Tapi debat tentang Porkas seperti tak pernah berkeputusan sejak dimasyarakatkan, awal 1986: sebenarnya Porkas judi atau bukan. Pertengahan 1986, MUI (Majelis Ulama Indonesia) menulis surat kepada pemerintah, meminta agar pelaksanaan Porkas dievaluasi kembali. Lalu Ketua DPRD Jawa Timur Blegoh Sumarto cemas melihat Porkas merasuki semua lapisan dari atas sampai rakyat kecil. Tak kurang ekonom dari Universitas Indonesia Iwan Jaya Aziz berkesimpulan "Dari sudut mana pun Porkas tidak baik." Hasil pengumpulan pendapat TEMPO mencatat bervariasinya penggemar Porkas ini. Dari 1.200 lembar kuesioner yang disebarkan ke pusat penjualan Porkas di seluruh Indonesia, diperoleh gambaran sebagai berikut. Latar belakang pendidikan penggemar Porkas terbesar adalah lulusan SD (lebih dari 20%). Sedangkan pekerjaan pemasang Porkas: karyawan swasta (lebih dari 21,5%), wiraswastawan (hampir 21%), dan persentase sisanya terdiri dari buruh kasar, mahasiswa, pegawai negeri dan ABRI, juga penganggur. Dan bila seorang Ketua DPRD mencemaskan nasib rakyat kecil, masuk akal: hampir separuh jumlah responden adalah mereka yang berpenghasilan di bawah Rp 50 ribu per bulan. Memang, resminya kupon Porkas hanya boleh beredar sampai ke ibu kota kabupaten. Tapi apa susahnya kupon masuk desa? Konon, seorang sopir di Aceh -- daerah yang dikenal bebas Porkas -- sering dititipi membelikan kupon Porkas bila menyopir sampai ke Medan. Dan jangan dibayangkan titipan itu cuma selembar dua. Dari Langsa dan Kualasimpang, menurut sebuah sumber, pernah 300an orang nitip dibelikan kupon. Bila Departemen Sosial lalu membentuk tim antardepartemen untuk mengevaluasi dampak Porkas, itulah karena sejumlah kisah sedih karena kupon ini. Di Medan, misalnya, diberitakan seorang suami membakar istrinya, karena sang istri tak sengaja menghancurkan kupon Porkas sewaktu mencuci celana suaminya. Terakhir, Juli tahun ini tim antardepartemen meninjau 15 provinsi. Menurut hasil survei tim tersebut, Porkas dianggap lebih banyak manfaatnya. "Kalau misalnya ada yang bunuh diri karena masalah lain, itu lalu dikait-kaitkan dengan Porkas," kata Mensos, mengutip hasil survei. Sementara itu pro dan kontra jalan terus. Senin malam pekan ini, di Hotel Sahid Jakarta, berlangsung acara laporan MUI daerah seluruh Indonesia. Tak ayal lagi, terdengar pula yang meminta Porkas ditutup. Wakil Sulawesi Selatan jelas menolak Porkas. Yang agak lunak, wakil Sulawesi Utara, minta agar Porkas dibatasi wilayah edarnya. Adakah MUI Padang akan kembali menyatakan hasil sidang Komisi Fatwa mereka yang menyimpulkan Porkas haram? Memang tak mudah, tampaknya, untuk sama sekali melarang Porkas, atau membatasi peredarannya. Dan kata Mensos Nyonya Nani, "Kalau tidak setuju Porkas, tolong bagaimana jalan keluarnya agar dana untuk olah raga bisa terpenuhi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini