MENJELANG matahari terbenam di Gunung Yamnaibori, Pulau Biak,
Irian Jaya, sejumlah orang mulai menyanyikan lagu-lagu
kerohanian. Nadanya sendu, monoton. Semuanya berisi harapan akan
pembebasan (koreri). Di belakang nyanyian ini, berdirilah sebuah
bayangan sorga, yang akan datang bila pahlawan legendaris rakyat
Biak-Numfor dan sekitarnya, Manseren Manggundi, tiba dengan
kapal besarnya dari arah matahari terbenam.
Lagu-lagu itu memang sudah tcrpahat sebagai lagu rakyat.
Kadang-kadang berirama mars, ada yang mengisahkan peranan Mansar
Manggundi yang tadinya seorang lelaki tla yang kudisan,
Manarmakeri julukannya, yang kemudian berubah menjadi pemuda
ganteng dan sakti setelah pertemuannya dengan Sampari (Bintang
Kejora. Ada lagu yang mohon perlindungan bagi orang-orang yang
tengah mengarungi lautan, agar mereka pun selamat memasuki
koreri. Lalu suatu lagu kemenangan yang biasanya dinyanyikan jam
12 malam. Lewat tengah malam, para penyanyi melagukan nyanyian
persiapan bagi kedatangan Manggundi, dilanjutkan dengan lagu
yang ditarikan sampai orang-orang kesurupan dan mulai ngoceh.
Menurut pengamatan para pendeta Gereja Kristen Injil (GKI) Irja,
sudah 30 lagu koreri dinyanyikan secara teratur di puncak
Yamnaibori. Pemimpin paduan suara setengah religius itu seorang
dari Puak Awom, yang dalam kepercayaan dianggap sebagai seorang
konor. Yakni pelopor, seperti Yahya Pembaptis dalam kepercayaan
Kristen. Kalau Yahya memproklamirkan kedatangan Kristus yang
akan mendirikan kerajaan sorga, konor itu nenlproklamirkan
datangnya Manggundi yang membawa koreri bagi seluruh rakyat
Irian.
Gelap Total 3 Hari
Istilah konor diambil dari nama putera Manggundi sendiri. Konori
alias Manarbew. Dalam mithos Manarmakeri itu (nama lain dari
Manggundi), sang konor kedudukannya hampir sederajat dengan
"putera Allah". Perintahnya dituruti orang-orang desa yang
sederhana itu. Misalnya ia memerintahkan persiapan: membangun
rumah untuk kediaman tamu yang diharap-harapkan itu. Kemudian
mempersiapkan kayu hakar sebanyak mungkin. Sebab menjelang
kedatangan Mansar Manggwldi, dunia akan gelap total selama 3
hari.
Sebagai tanda percaya pada Manggundi, mereka harus memotong
semua babi dan mengumpulkan seluruh harta kekayaan dan makanan
untuk dipersernbahkan pada tokoh pahlawan setengah dewata itu
bila waktunya tiba. Malam hari, nyanyi dan tari rituil terus
diselenggarakan. Dan kegiatan ini seperti pelita mengundang
laron. Rakyat dari tempat-tempat yang jauh biasa berdatangan
dengan biduk mereka. Ada yang sekedar tertarik untuk menonton,
ada yang mau ikut gerakan Koreri itu, dan ada yang datang dengan
tujuan mencari penyembuhan dari penyakit.
Sebab, biasanya pada taraf pertama sang konor hanyalah seorang
dukun yang kebetulan berhasil menyembuhkan beberapa pasien yang
gawat. Kemudian lantaran merasa mendapat wahyu dari Mansar
Manggundi atau Sampari (si bintang kejora), memproklamirkan satu
gelombang gerakan Koreri baru.
Tentu saja apa yang terjadi di Biak Utara itu bukan baru kali
ini. Hanya, menurut sinyalemen sementara pendeta GKI Irja
seperti V Maloali dan Karel Ph. Erari dalam Berila Oikumene,
Juni dan Juli 1977, gejala laten itu mulai mengalami arus pasang
kembali sekarang Ini.
Dan kepercayaan itu sendiri belum pula lenyap dari benak orang
Irian yang sudah Kristen, malah sering hidup berdampingan dengan
kepercayaan mereka yang baru itu. Seperti dituturkan Pendeta
Erari kepada TEMPO: "Kadang-kadang, bagi mereka Konon sama
dengan Kristus. Ibunya, Insoraki, identik dengan Maria. Malah
ada juga gereja Kristen yang diberi nama Gereja Koreri."
"Organisasi Papua Merdeka"
Mithos Koreri memang terutama hidup di lingkungan kebudayaan
BiakNumfor, yang juga mencakup daerah Kepala Burung, Pulau-Pulau
Raja Ampat, terus sampai kawasan Sungai Mamberamo. Tapi di
daerah pedalaman Lembah Baliem dan pegunungan Jayawijaya, ada
cerita-cerita rakyat yang hampir serupa. Semuanya menunggu
kembalinya seorang pahlawan Irian yang dulu kala menyingkir ke
barat karena rakyatnya tak mau menerima ajarannya.
Tokoh legendaris dengan nama berbeda-beda itu akan kembali
membebaskan rakyat Irian - dari kemelaratan dan keterbelakangan.
Seperti ular yang berganti kulit (istilah koreri sebenarnya
berasal dari kata-kata: ko = kita, dan rer = berganti kulit atau
berubah) orang Irian akan menjadi muda kembali, dan tak pernah
diganggu penyakit.
Perlukah dirisaukan, legenda itu? Apakah dengan menganut faham
Koreri mereka akan keluar dari agama (baca: Gereja) Kristen?
Ternyata, bukan hal itu yang terlintas dalam benak para pemuka
GKI Irja. Seperti dibeberkan Karel Erari kepada TEMPO: "Kesatuan
gerakan pengharapan ini tak boleh dianggap enteng."
Sebab, misteri keagamaan yang terkandung di dalamnya dapat
begitu mengikat penganutnya sehingga mereka menjadi apatis
terhadap gereja maupun pemerintahan yang ada. Nah, dalam
konteks itulah, tutur Erari lebih lanjut, "OPM mencari akarnya
ke bawah." Apalagi mengingat kebanyakan tokoh gerakan separatis
memang berasal dari Pulau Biak atau kawasan pengaruh
kulturilnya.
Menghantam Pendatang
Sinyalemen Erari itu diperkuat pula oleh survei sejarah CKI
Irja, yang dikumpulkan dan disusun oleh Dr Fridolin Ukur dan Dr
Frank L. Cooley (Seri 'Benih Yang Tumbuh' No. VIII, terbitan
Lembaga Penelitian & Studi DGI 1977). Dengan mengeksploitir
mithos Koreri tulis kedua peneliti DGI itu, "mereka (OPM)
mencoba mempersatukan penduduk. Dan dengan jalan kekerasan
mewujudkan Negara Papua Merdeka yang diidentikkan dengan
Kerajaan Koreri."
Ada yang lain lagi: karena sang ratu adil tak kunjung datang
gerakan itu sering dibelokkan oleh konornya untuk menghantam
kaum pendatang. Di zaman Belanda, misi atau pos-pos keamanan
pemerintah penjajah sering jadi sasaran. Juga di zaman Jepang.
Tragisnya, para pendatang (amberi) itu, pada mulanya sering
disangka dan dipuja-puja sebagai juru selamat yang dinanti
nantikan itu. Tapi setelah keadaan sosial-ekonomi rakyat tak
banyak berubah malah menjadi jelek - si amberi itulah yang
jadi bulan-bulanan.
Pengalaman Zaman Belanda juga menunjukkan bahwa penumpasan
gerakan-gerakan Koreri secara fisik, tak menyelesaikan masalah
secara tuntas. Malah konor yang bisa lolos dari pengejar atau
lepas dari penjara sesudah menjalani masa hukuman tertentu,
cenderung menilai lagi gerakannya secara lebih radikal. Itu
sebabnya beberapa pendeta GKI Irja yang diwawancarai TEMPO
enderung berpendapat: "pendekatan, gerejani perlu dijalankan
dalam pemecahan cetusan gerakan Koreri yang mulai dan masih akan
timbul Lagi."
Selain itu, akar permasalahannya yang menyangkut perbaikan nasib
rakyat serta hak-hak asasi mereka, juga perlu dipecahkan bersama
oleh pemerintah dan rakyat. Dengan rasa syukur, seorang anggota
BPS (Badan Pekerja Sinode) GKI Irja mengutarakan pengertian
pihak ABRI untuk tak menggunakan cara-cara militer dalam
melindungi para penginjil GKI serta jemaat yang diancam OPM.
"Mudah-mudahan kesepakatan 4 Januari lalu itu, agar gereja
diperkenankan menjadi penengah dan pendamai, dapat dipegang
terus oleh pihak pemerintah," katanya kepada TEMPO.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini