Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Ratu adil model irian

Sejumlah orang menyanyikan lagu rohani dipimpin seorang konor mengisahkan mansar manggundi, lelaki tua yang menjadi muda dan sakti. kedatangannya akan membebaskan rakyat irian dari kemelaratan. (ag)

28 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJELANG matahari terbenam di Gunung Yamnaibori, Pulau Biak, Irian Jaya, sejumlah orang mulai menyanyikan lagu-lagu kerohanian. Nadanya sendu, monoton. Semuanya berisi harapan akan pembebasan (koreri). Di belakang nyanyian ini, berdirilah sebuah bayangan sorga, yang akan datang bila pahlawan legendaris rakyat Biak-Numfor dan sekitarnya, Manseren Manggundi, tiba dengan kapal besarnya dari arah matahari terbenam. Lagu-lagu itu memang sudah tcrpahat sebagai lagu rakyat. Kadang-kadang berirama mars, ada yang mengisahkan peranan Mansar Manggundi yang tadinya seorang lelaki tla yang kudisan, Manarmakeri julukannya, yang kemudian berubah menjadi pemuda ganteng dan sakti setelah pertemuannya dengan Sampari (Bintang Kejora. Ada lagu yang mohon perlindungan bagi orang-orang yang tengah mengarungi lautan, agar mereka pun selamat memasuki koreri. Lalu suatu lagu kemenangan yang biasanya dinyanyikan jam 12 malam. Lewat tengah malam, para penyanyi melagukan nyanyian persiapan bagi kedatangan Manggundi, dilanjutkan dengan lagu yang ditarikan sampai orang-orang kesurupan dan mulai ngoceh. Menurut pengamatan para pendeta Gereja Kristen Injil (GKI) Irja, sudah 30 lagu koreri dinyanyikan secara teratur di puncak Yamnaibori. Pemimpin paduan suara setengah religius itu seorang dari Puak Awom, yang dalam kepercayaan dianggap sebagai seorang konor. Yakni pelopor, seperti Yahya Pembaptis dalam kepercayaan Kristen. Kalau Yahya memproklamirkan kedatangan Kristus yang akan mendirikan kerajaan sorga, konor itu nenlproklamirkan datangnya Manggundi yang membawa koreri bagi seluruh rakyat Irian. Gelap Total 3 Hari Istilah konor diambil dari nama putera Manggundi sendiri. Konori alias Manarbew. Dalam mithos Manarmakeri itu (nama lain dari Manggundi), sang konor kedudukannya hampir sederajat dengan "putera Allah". Perintahnya dituruti orang-orang desa yang sederhana itu. Misalnya ia memerintahkan persiapan: membangun rumah untuk kediaman tamu yang diharap-harapkan itu. Kemudian mempersiapkan kayu hakar sebanyak mungkin. Sebab menjelang kedatangan Mansar Manggwldi, dunia akan gelap total selama 3 hari. Sebagai tanda percaya pada Manggundi, mereka harus memotong semua babi dan mengumpulkan seluruh harta kekayaan dan makanan untuk dipersernbahkan pada tokoh pahlawan setengah dewata itu bila waktunya tiba. Malam hari, nyanyi dan tari rituil terus diselenggarakan. Dan kegiatan ini seperti pelita mengundang laron. Rakyat dari tempat-tempat yang jauh biasa berdatangan dengan biduk mereka. Ada yang sekedar tertarik untuk menonton, ada yang mau ikut gerakan Koreri itu, dan ada yang datang dengan tujuan mencari penyembuhan dari penyakit. Sebab, biasanya pada taraf pertama sang konor hanyalah seorang dukun yang kebetulan berhasil menyembuhkan beberapa pasien yang gawat. Kemudian lantaran merasa mendapat wahyu dari Mansar Manggundi atau Sampari (si bintang kejora), memproklamirkan satu gelombang gerakan Koreri baru. Tentu saja apa yang terjadi di Biak Utara itu bukan baru kali ini. Hanya, menurut sinyalemen sementara pendeta GKI Irja seperti V Maloali dan Karel Ph. Erari dalam Berila Oikumene, Juni dan Juli 1977, gejala laten itu mulai mengalami arus pasang kembali sekarang Ini. Dan kepercayaan itu sendiri belum pula lenyap dari benak orang Irian yang sudah Kristen, malah sering hidup berdampingan dengan kepercayaan mereka yang baru itu. Seperti dituturkan Pendeta Erari kepada TEMPO: "Kadang-kadang, bagi mereka Konon sama dengan Kristus. Ibunya, Insoraki, identik dengan Maria. Malah ada juga gereja Kristen yang diberi nama Gereja Koreri." "Organisasi Papua Merdeka" Mithos Koreri memang terutama hidup di lingkungan kebudayaan BiakNumfor, yang juga mencakup daerah Kepala Burung, Pulau-Pulau Raja Ampat, terus sampai kawasan Sungai Mamberamo. Tapi di daerah pedalaman Lembah Baliem dan pegunungan Jayawijaya, ada cerita-cerita rakyat yang hampir serupa. Semuanya menunggu kembalinya seorang pahlawan Irian yang dulu kala menyingkir ke barat karena rakyatnya tak mau menerima ajarannya. Tokoh legendaris dengan nama berbeda-beda itu akan kembali membebaskan rakyat Irian - dari kemelaratan dan keterbelakangan. Seperti ular yang berganti kulit (istilah koreri sebenarnya berasal dari kata-kata: ko = kita, dan rer = berganti kulit atau berubah) orang Irian akan menjadi muda kembali, dan tak pernah diganggu penyakit. Perlukah dirisaukan, legenda itu? Apakah dengan menganut faham Koreri mereka akan keluar dari agama (baca: Gereja) Kristen? Ternyata, bukan hal itu yang terlintas dalam benak para pemuka GKI Irja. Seperti dibeberkan Karel Erari kepada TEMPO: "Kesatuan gerakan pengharapan ini tak boleh dianggap enteng." Sebab, misteri keagamaan yang terkandung di dalamnya dapat begitu mengikat penganutnya sehingga mereka menjadi apatis terhadap gereja maupun pemerintahan yang ada. Nah, dalam konteks itulah, tutur Erari lebih lanjut, "OPM mencari akarnya ke bawah." Apalagi mengingat kebanyakan tokoh gerakan separatis memang berasal dari Pulau Biak atau kawasan pengaruh kulturilnya. Menghantam Pendatang Sinyalemen Erari itu diperkuat pula oleh survei sejarah CKI Irja, yang dikumpulkan dan disusun oleh Dr Fridolin Ukur dan Dr Frank L. Cooley (Seri 'Benih Yang Tumbuh' No. VIII, terbitan Lembaga Penelitian & Studi DGI 1977). Dengan mengeksploitir mithos Koreri tulis kedua peneliti DGI itu, "mereka (OPM) mencoba mempersatukan penduduk. Dan dengan jalan kekerasan mewujudkan Negara Papua Merdeka yang diidentikkan dengan Kerajaan Koreri." Ada yang lain lagi: karena sang ratu adil tak kunjung datang gerakan itu sering dibelokkan oleh konornya untuk menghantam kaum pendatang. Di zaman Belanda, misi atau pos-pos keamanan pemerintah penjajah sering jadi sasaran. Juga di zaman Jepang. Tragisnya, para pendatang (amberi) itu, pada mulanya sering disangka dan dipuja-puja sebagai juru selamat yang dinanti nantikan itu. Tapi setelah keadaan sosial-ekonomi rakyat tak banyak berubah malah menjadi jelek - si amberi itulah yang jadi bulan-bulanan. Pengalaman Zaman Belanda juga menunjukkan bahwa penumpasan gerakan-gerakan Koreri secara fisik, tak menyelesaikan masalah secara tuntas. Malah konor yang bisa lolos dari pengejar atau lepas dari penjara sesudah menjalani masa hukuman tertentu, cenderung menilai lagi gerakannya secara lebih radikal. Itu sebabnya beberapa pendeta GKI Irja yang diwawancarai TEMPO enderung berpendapat: "pendekatan, gerejani perlu dijalankan dalam pemecahan cetusan gerakan Koreri yang mulai dan masih akan timbul Lagi." Selain itu, akar permasalahannya yang menyangkut perbaikan nasib rakyat serta hak-hak asasi mereka, juga perlu dipecahkan bersama oleh pemerintah dan rakyat. Dengan rasa syukur, seorang anggota BPS (Badan Pekerja Sinode) GKI Irja mengutarakan pengertian pihak ABRI untuk tak menggunakan cara-cara militer dalam melindungi para penginjil GKI serta jemaat yang diancam OPM. "Mudah-mudahan kesepakatan 4 Januari lalu itu, agar gereja diperkenankan menjadi penengah dan pendamai, dapat dipegang terus oleh pihak pemerintah," katanya kepada TEMPO.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus