Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalangan tentara mengenalnya sebagai ”gudang setan”. Itu-lah gudang pusat senjata Ang-katan Darat, sebuah tempat yang sangat tertutup, yang hanya bisa dibuka dengan izin dari segelintir pejabat militer. Gudang ini terletak di kompleks Direktorat Peralatan Angkatan Darat, Pulogebang, Jakarta Timur.
Di gudang itulah semua senjata dan amunisi yang baru dibeli seharusnya disimpan. Administrasi penyimpanan- senjata di tempat itu dibuat ber-jenjang. Begitu senjata dibeli, Kepala Staf Umum Tentara Nasional Indonesia mela-lui Asis-ten Logistik menerbitkan surat perintah penerimaan kepada Asisten Logistik Kepala Staf Angkatan Darat.
Asisten Logistik KSAD kemudian- me-ngeluarkan surat perintah kepada Direktur Peralatan Angkatan Darat untuk menerima senjata. Baru setelah terbitnya surat ini, senjata bisa masuk gudang. ”Dengan prosedur seperti itu, semua senjata TNI mestinya terkontrol dengan baik,” kata seorang perwira tinggi Angkatan Darat.
Pengedaran senjata ke satuan-satuan Angkatan Darat pun diatur dengan ketat. Prosedurnya serupa, dimulai de-ngan keluarnya surat perintah pendistribusi-an Kepala Staf Umum TNI melalui Asisten Logistik kepada Asisten Logistik KSAD. Direktorat Peralatan Angkatan Darat kemudian mengedar-kan senjata ke satuan-satuan dengan persetujuan KSAD.
Proses itulah yang diduga tak diikuti Brigadir Jenderal Koesmayadi, Wakil Asisten Logistik KSAD, yang ramai diberitakan akhir Juni lalu setelah ditemukan ratusan pucuk senjata dan ribu-an amunisi di rumahnya. Penemuan ini membuat Pusat Polisi Militer TNI t-u-run tangan dengan memeriksa be-lasan orang. Hasilnya, yang dinanti banyak orang, menurut janji Panglima TNI Mar-sekal Djoko Suyanto di DPR akan di-umumkan pada Rabu pekan ini.
Menurut bocoran dari seorang sumber, Pusat Polisi Militer Angkatan Darat menyimpulkan bahwa Koesmayadi telah melakukan kesalahan prosedur. Kesimpulan itu didapat dari jejak senjatanya. Saat Koesmayadi membeli 95 pucuk senjata senilai US$ 209.200 pada Juni 2002, misalnya, seharusnya senjata itu disetor ke gudang paling lambat 14 Desember 2002. Ternyata, mereka baru tiba di ”gudang setan” tiga tahun kemudian. Itu pun tak dilengkapi surat administrasi. Direktur Peralatan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Heru Gu-naedi, sampai melaporkan masalah ini kepada KSAD, 14 Februari lalu.
Koesmayadi meninggal 25 Juni lalu. Pada hari yang sama, Polisi Militer langsung menggeledah tiga kediaman alum-ni Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Angkatan 1975 itu: rumah dinas di Blok E No. 15 Kompleks Perwira Tinggi Gatot Subroto, Kuning-an, Jakarta Selatan, Jalan Pangandaran V No. 15 Ancol, Jakarta Utara, dan kompleks Raflesia Blok BI No. 15, Cileungsi, Jawa Barat.
Dari tiga rumah itu, Polisi Militer me-nemukan 145 senjata dari berbagai je-nis, termasuk senapan serbu SS-1, M-16, AK-47, dan senapan mesin Heckler and Koch MP5. Juga ditemukan 28.000 amunisi, granat, dan teropong.
Belakangan, jumlah senjata bertambah karena Koesmayadi ternyata juga menyimpan senjata di tempat lain, di antaranya dititipkan kepada Kolonel Infanteri Tedy Laksmana, Asisten Intelijen Kodam Siliwangi, dan disimpan di Markas Komando Pasukan Khusus, Cijantung, Jakarta Timur.
Panglima TNI Marsekal Djoko Suyan-to langsung memerintahkan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat menggelar penyelidikan setelah temuan besar itu. Untuk mengusut senjata simpanan Koesmayadi itu, Po-lisi Militer meminta keterangan sekitar 120 saksi, di antaranya mantan KSAD Jenderal (Purn.) -Ryamizard Ryacudu, mantan -Wa-kil KSAD Letnan Jenderal (Purn.) Kiki Syahnakri, dan mantan Panglima Komando Cadang-an Strategis Angkatan Darat Let-jen (Purn.) Bibit Waluyo.
Menurut Kepala Dinas Pene-rangan Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Ricardo Siagian, Ryami-zard dimintai keterangan justru atas permintaan mantan atasan Koesmayadi itu sendiri. ”Jadi,” katanya, ”Pak Ryamizard meng-ambil inisiatif untuk memberi klarifikasi.”
Polisi Militer juga meminta ke-terangan kerabat dan kolega Koes-mayadi, di antaranya pemilik kelompok usaha Arthagraha, Tommy Winata, dan Direktur Utama Transwisata Aviation, Maxwell Armand. Menurut Komandan Pusat Polisi Militer Angkatan Darat Mayor Jenderal Hendardji Supandji, Tommy dimintai keterangan karena ia ”teman dekat Koesmayadi”.
Tak semua saksi yang dimintai kete-rangan mengaku kenal dan mengetahui sepak terjang Koesmayadi. Bibit Waluyo, misalnya, bahkan menyatakan tidak pernah berhubungan dengan almarhum. ”Saya hanya dimintai kete-rangan 10 menit,” katanya. ”Begitu saya bilang tidak kenal, Danpuspom menga-takan: ‘Ya sudah, Mas’.”
Selain meminta keterangan saksi, Polisi Militer membuka dokumen berbagai transaksi yang dilakukan Koes. Dari dokumen itu diketahui, almarhum melakukan impor 721 pucuk senjata sejak 2001 hingga Maret 2006. Senjata-senjata itu didatangkan dari berbagai negara dalam 29 kali kesempatan.
KSAD Jenderal Djoko Santoso bulan lalu menyatakan senjata-senjata itu diimpor antara lain untuk membangun Peleton Intai Tempur, pasukan baru Kostrad. Koesmayadi juga mendatangkan senapan olahraga untuk anggota tim lomba tembak Angkatan Darat se-Asia Tenggara. Semua senjata impor itu dibeli dari dana nonbujeter dan dike-tahui para petinggi Angkatan Darat. Cuma, ya itu tadi, semua prosedur di-terobos.
Dari membuka-buka berkas lawas itu, Polisi Militer menemukan selisih jumlah senjata yang diimpor Koesmayadi de-ngan yang dibagikan ke kesatuan. Total senjata standar militer yang diimpor 661 pucuk, sedang yang terdata di Detasemen Intelijen Tempur Kostrad ha-nya 524 pucuk. Selisih jumlah inilah yang diduga disimpan oleh Koesmayadi.
Di awal penyelidikan, Polisi Militer mengantongi tiga dugaan motif Koesmayadi menimbun senjata dan amunisi: sekadar koleksi, pembelian senjata untuk pembangunan satuan Angkatan Darat yang tidak langsung disetorkan, dan ”kemungkinan lain”. Nah, menurut sumber, dugaan kedualah yang pekan ini akan diumumkan sebagai ke-simpulan.
Seorang perwira tinggi Angkatan Darat menyatakan, kesimpulan itu bisa jadi tak sesuai ”harapan” kalangan Istana. Sejak awal, kata dia, lingkaran dekat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono curiga pengumpulan senjata oleh Koesmayadi itu berhubungan dengan rencana kudeta.
Kecurigaan itu muncul karena hubung-an dekat Koesmayadi dengan sejumlah purnawirawan yang dianggap berseberangan dengan Yudhoyono, di antara-nya Ryamizard yang menjadi atasannya di Markas Besar Angkatan Darat sejak 2002.
Kecurigaan bertambah karena menantu Koesmayadi, Kapten CPM Achmad Irianto, bertugas di lingkungan Istana sebagai Komandan Kompi A Batalion Kawal Pasukan Pengamanan Pre-siden. Ia kemudian ditahan de-ngan tuduhan memindahkan senjata- mertuanya dari rumah dinas di Kuningan ke rumah di Ancol.
Menurut perwira tinggi itu, du-gaan bahwa penimbunan senjata oleh Koesmayadi berhubungan dengan kudeta sulit dilacak. Ke-simpulan ke arah kudeta, kata dia, juga akan menyeret keterlibatan sejumlah jenderal aktif dan purnawirawan. ”Jadi, kesimpulannya-, ya cuma kesalahan prosedur,” -tuturnya.
Juru bicara kepresidenan, Andi Mallarangeng, menolak berko-mentar sebelum ada pengumuman resmi. Namun, ia tetap menegaskan, tak mungkin ratusan senjata disimpan Koesmayadi hanya se-bagai koleksi. ”Senjata koleksi itu lazimnya kuno, peninggalan Napoleon misalnya,” katanya, ”ini kan senjata-senjata modern.”
Mayjen Hendardji yang di-mintai konfirmasi soal kesimpulan penyelidikan hanya tersenyum. Ia memastikan penyelidikan telah selesai. ”Hasilnya 9 Agustus di-umumkan,” katanya.
Budi Setyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo