Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Yahya Cholil Staquf tak mau kader NU menjadi calon presiden atau wakil presiden lagi.
NU menjadi rebutan karena memiliki suara besar.
Melenggangnya kader nahdliyin ke Istana ditengarai membuat NU tak kritis terhadap pemerintah.
BERLAGA dalam Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33 di Lampung, Yahya Cholil Staquf tak mau ada kader organisasi itu menjadi calon presiden atau wakil presiden lagi. Ia melihat keberhasilan NU mendorong Ma’ruf Amin sebagai wakil presiden pada Pemilihan Umum 2019 berpotensi terulang. “Akibatnya bisa rawan untuk NU,” kata Yahya di Jakarta, Senin, 11 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Yahya, NU harus menjadi jembatan bagi semua kalangan. Alih-alih ikut berkompetisi dalam arena politik, kakak Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini ingin NU menjaga harmoni di masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mimpi tersebut bergulir sejak Muktamar NU di Situbondo, Jawa Timur, pada 1984. Saat itu, kaum nahdliyin bersepakat kembali ke khitah 1926—tahun pendirian NU di Surabaya—yakni menjadikan NU sebagai organisasi sosial, ekonomi, dakwah, dan pendidikan serta tak berpolitik.
Ketua Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU Rumadi Ahmad mengatakan kiprah NU sulit dilepaskan dari panggung politik. “Keterlibatan nahdliyin dalam arena politik untuk memastikan pemegang kekuasaan selaras dengan cita-cita organisasi,” ujar Rumadi.
Setelah Reformasi, kader NU selalu berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 1999 memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden. Gus Dur—panggilan Abdurrahman—dimakzulkan dua tahun kemudian. Cucu pendiri NU, Hasyim Asy’ari, itu dituding menyelewengkan dana Bulog.
Pada 2004, kontestan pemilihan presiden dari NU bertambah, seiring dengan penerapan sistem pemilihan langsung. Gus Dur sempat mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum, berpasangan dengan Marwah Dauh Ibrahim. Namun ia tak lolos karena alasan kesehatan. Adiknya, Salahuddin Wahid, digandeng bekas Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Wiranto.
Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi saat itu juga ikut berlaga. Ia berduet dengan Megawati Soekarnoputri. Begitu pula Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan saat itu, Hamzah Haz, maju sebagai calon presiden. Namun mereka kalah oleh Susilo Bambang Yudhoyono, yang merangkul Jusuf Kalla—belakangan menjadi anggota Mustasyar PBNU.
Kalla mencalonkan diri sebagai calon presiden pada Pemilu 2009. Namun ia, dan juga Megawati, kalah oleh Yudhoyono, yang meraih 60,8 persen suara. Lima tahun kemudian, Kalla menemani Joko Widodo menghadapi pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Jokowi-Kalla memperoleh 53,15 persen suara. Pada 2019, giliran Rais Am PBNU Ma’ruf Amin mendampingi Jokowi.
Ketua PBNU Marsudi Syuhud menjelaskan, partisipasi kader NU dalam arena politik merupakan hal wajar karena jumlah pemilih yang terafiliasi dengan NU sangat besar. Lembaga Survei Indonesia memperkirakan 108 juta orang Indonesia merupakan kaum nahdliyin.
“Kami hanya menjalankan peran di bidang sosial, keagamaan, dan pendidikan. Namun kalau ada manfaat di bidang lain, seperti politik, warga NU bebas saja memilih,” ucap pengasuh Pondok Pesantren Darul Uchwah, Jakarta Barat, ini.
Besarnya suara NU membuatnya jadi rebutan. Ketua Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia PBNU Rumadi Ahmad mencontohkan, dalam Muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, pada 1994, rezim Orde Baru berupaya menjegal Gus Dur, yang mencalonkan diri untuk yang ketiga kali. Kala itu, pemerintah mendukung calon lain, yaitu Abu Hasan.
Rumadi, yang waktu itu masih mahasiswa di Institut Agama Islam Negeri Walisongo, menyaksikan pamflet dan surat kabar yang menyudutkan Gus Dur bertebaran di arena muktamar. Namun Gus Dur tetap menang. “Semangat nahdliyin muncul ketika berhadapan dengan penguasa dan berhasil menggalang solidaritas bahwa NU sedang diintervensi,” katanya.
Suara agar NU kembali ke khitah masih nyaring. Mantan Ketua Umum Partai Kebangkitan Nasional Ulama, Choirul Anam, mendesak NU tak ikut berpolitik. Pada 2019, Ketua Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Timur di era Gus Dur itu membentuk Komite Khitah Nahdlatul Ulama setelah Ma’ruf Amin menjadi calon wakil presiden.
Anam mempersoalkan petinggi Nahdlatul Ulama yang dinilai melanggar aturan organisasi mengenai larangan terjun ke politik praktis. Menurut dia, NU kini terlalu dekat dengan kekuasaan dan luput mengoreksi berbagai kebijakan pemerintah yang tak berpihak kepada rakyat. “Pembunuhan laskar Front Pembela Islam dan merosotnya nilai demokrasi sama sekali tak tersentuh oleh NU,” ujarnya.
FRISKI RIANA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo