Scroll ke bawah untuk membaca berita

Logo
Pendidikan

Revisi UU PPP, Bivitri Susanti: Melegalkan Legislasi yang Ugal-ugalan

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai revisi UU PPP (Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) justru melegalkan legislasi yang ugal-ugalan. Dia mengatakan proses legislasi yang sangat buruk telah terjadi setidaknya sejak 2019, yaitu ketika revisi UU KPK, revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, revisi UU MK, dan UU Ibu Kota Negara.

21 Juni 2022 | 08.50 WIB

Ahli Hukum Tata Negara dan Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti saat mengikuti audiensi terkait polemik TWK di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin, 14 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis
Perbesar
Ahli Hukum Tata Negara dan Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti saat mengikuti audiensi terkait polemik TWK di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Senin, 14 Juni 2021. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) justru melegalkan legislasi yang ugal-ugalan. Dia mengatakan proses legislasi yang sangat buruk telah terjadi setidaknya sejak 2019, yaitu ketika revisi UU KPK, revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja, revisi UU MK, dan UU Ibu Kota Negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo

“Sekarang revisi UU PPP justru melegalkan kekacauan itu dan mengerdilkan proses legislasi sebagai proses teknokratik belaka dengan bahkan membuka peluang merevisi UU yang sudah disetujui. Namun, salah ketik tanpa proses deliberative,” kata Bivitri dalam keterangannya,Senin, 20 Juni 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Faktanya, kata Bivitri banyak kajian yang telah dilakukan, tetapi kajian tersebut tidak diadopsi melainkan hanya melegalkan proses yang buruk.

Bivitri menyimpulkan bahwa revisi UU PPP memang ditujukan untuk mengamankan UU Cipta Kerja yang terlihat dari: siapa yang memimpin proses (Kemenko Perekonomian) bahkan masih ada perdebatan di kalangan pemerintah dalam proses pembahasan. Kemudian, hanya melegalisasi Omnibus Law, tidak mengatur hal-hal yang lebih dibutuhkan

“Revisi UU PPP yang seharusnya memperbaiki, justru melegalkan proses legislasi yang ugal-ugalan. Harus ada upaya untuk meluruskan hal ini, menggunakan berbagai forum hukum dan politik,” kata Bivitri.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo menandatangani Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP).

Sebelumnya, UU PPP yang direvisi sudah disahkan oleh DPR pada 24 Mei lalu. Dengan revisi tersebut, UU PPP kini bisa menjadi landasan hukum perbaikan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Revisi UU PPP dilakukan pemerintah dan DPR lantaran UU tersebut tidak mengatur mekanisme pembentukan UU secara Omnibus Law atau Gabungan. Setelah direvisi, UU PPP akan menjadi landasan hukum untuk memperbaiki UU Cipta Kerja No. 11/2020 yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi.

Mengutip Pasal 42A UU PPP yang telah diubah, kini disebutkan tentang aturan pembuatan undang-undang dengan metode Omnibus Law.

MUTIA YUANTISYA


Baca: Jokowi Resmi Teken UU PPP yang Mengatur Metode Omnibus

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Mutia Yuantisya

Alumnus Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Padang ini memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2022. Ia mengawalinya dengan menulis isu ekonomi bisnis, politik nasional, perkotaan, dan saat ini menulis isu hukum dan kriminal.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini

Logo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus