MENJELANG G30S meletus, D.N. Aidit pernah sesumbar di hadapan anggota Central Comite (CC) PKI. "Sekarang PKI telah combat ready," katanya. Lantas ia membeberkan jumlah massa PKI dan simpatisan partai tersebut: 20.000.000 orang -- terdiri dari 3.000.000 anggota aktif partai, dan sisanya merupakan simpatisan yang tersebar di pelbagai organisasi massa. Awal 1965, PKI membentuk sayap militer dengan kekuatan sekitar 2.000 pemuda. Kekuatan ini, yang dipersenjatai dan dilatih kemiliteran di kompleks pangkalan udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, ternyata dipersiapkan PKI untuk merampas kekuasaan dengan kekuatan bersenjata. Terbukti memang ketika PKI melaksanakan petualangan berdarah pada 30 September 1965 malam, yang meminta nyawa enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama TNI-AD, massa bersenjata itu terlibat dalam penyiksaan korban. Tapi kudeta berdarah yang digerakkan PKI, dan dilaksanakan oleh komandan pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa, Letnan Kolonel Untung, dapat dipatahkan Panglima Kostrad (kini Presiden) Mayor Jenderal Soeharto dalam tempo singkat. Sejak itu pimpinan PKI cerai-berai. Pada 11 Oktober 1965, Untung tertangkap di Tegal, Jawa Tengah, dan sekitar enam bulan kemudian, setelah dikorek berbagai rahasia yang diketahuinya, dihukum mati. Pada 22 November, Aidit tertangkap di Surakarta, dan ditembak mati dalam perjalanan ke Semarang gara-gara mencoba lari. G30S bukan keterlibatan pertama Aidit dalam aksi berdarah menggulingkan pemerintahan yang syah. Ia, selaku anggota CC, terlibat aktif dalam Peristiwa Madiun, pemberontakan PKI yang digerakkan oleh Muso, pada 1948. Aidit ditangkap bersama Alimin, dan ditahan di Yogyakarta. Setahun kemudian, ketika Belanda menyerbu Yogya, 19 Desember 1949, kedua tahanan itu berhasil kabur. Pada 1950 PKI muncul kembali. Aidit membentuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), dan forum ini jadi corong ampuh PKI menyerang golongan lain. Dalam Kongres PKI ke-5 di Jakarta, Maret 1954, Aidit terpilih sebagai sekretaris jenderal orang nomor satu partai. Ia dibantu oleh dua wakil: M.H. Lukman dan Nyoto. Kongres 1954 juga memilih anggota dua lembaga tinggi partai: CC dan Politbiro. Aidit duduk dan mengendalikan kedua lembaga tersebut. Mereka yang merangkap anggota CC dan Politbiro, selain Aidit, adalah Sudisman dan Sakirman. Sisanya: Achmad Sumadi, Jusuf Adjitorop, Djokosudjono, Peris Pardede, K. Supit (CC), Lukman, dan Nyoto (Politbiro). Dalam struktur organisasi PKI, kekuasaan tertinggi ada di tangan CC, yang keanggotaannya dipilih lewat kongres nasional partai. CC merumuskan kebijaksanaan politik, pengembangan organisasi, dan memilih sekjen, wakil sekjen, serta anggota Politbiro. Di daerah, lembaga yang berkuasa adalah Provinci Comite, yang membawahkan Seksi Comite (komite untuk kota besar atau kabupaten), Subseksi Comite (tingkat kecamatan), dan Resort Comite (tingkat desa, pabrik, perkebunan dan kantor). Dari mata rantai organisasi inilah PKI berhasil mengumpulkan 6.176.914 suara (16,4% dari total pemilih) pada Pemilu 1955 -- urutan keempat, di bawah PNI, Masyumi, dan NU. Menjelang G30S, PKI telah membentuk 1.403 Subseksi Comite (setingkat pengurus partai kecamatan) serta 18.722 resor partai. Belum terhitung jaringan organisasi yang dibawahkan PKI, seperti serikat buruh (SOBSI), tani (BTI), pamong praja, intelektual, pemuda pelajar, mahasiswa, sampai budayawan. Tak kalah menentukan adalah Biro Khusus, yang dipimpin Kamaruzaman (lebih terkenal dengan sebutan Syam) bersama Pono dan Waluyo. Biro ini sering disebut sebagai "PKI malam" karena kegiatannya sangat dirahasiakan. Syam adalah kunci yang menghubungkan PKI dengan G30S. Biro Khusus dibentuk pada Juli 1957. Sasaran utamanya adalah menggarap personel di lingkungan ARRI. Biro Khusus mempunyai cabang di 15 provinsi -- tersebar di Pulau Jawa (4), Sumatera (5), Kalimantan (2), Sulawesi (2), Bali (1), dan Irian Jaya (1). Operasi Biro Khusus -- untuk daerah dilakukan oleh Biro Khusus Daerah -- berhasil menggarap sekitar 600 personel ABRI. Selain itu, Biro Khusus juga menggarap parpol dan ormas. Biro Khusus melahirkan "PNI Merah" di bawah pimpinan Ir. Surachman. Setelah ketahuan belangnya, Surachman kabur ke Blitar Selatan, bergabung dengan gerakan sisa-sisa PKI yang dipimpin Rewang dan Oloan Hutapea (keduanya anggota CC). Tapi akhirnya mereka tertumpas juga. Di luar negeri, ratusan anggota PKI dan simpatisannya mencoba bertahan sambil membangun partai yang dinyatakan terlarang di Indonesia sejak Maret 1966 dari luar pagar. Mereka diam-diam terbagi dalam dua kubu: pro-Moskow dan pro-Beijing. Kelompok pro-Moskow beranggapan bahwa aksi G30S lebih merupakan petualangan pribadi Aidit. Mereka yang pro-Beijing membenarkan tindakan pemimpinnya. Pengiriman kader-kader PKI itu ke luar negeri, sebagian untuk program studi, tak lepas pula dari persaingan kubu Moskow dan Beijing. Mereka yang masuk kubu Moskow konon dikirim oleh Nyoto, dan ditempatkan di negara-negara Eropa Timur, sedangkan mereka yang pro-Beijing dikirim atas rekomendasi kelompok Aidit. Setelah PKI tertumpas, mereka mencoba melupakan perbedaan. Mereka berkomunikasi. Bahkan sebagian pelarian di Eropa Timur itu hijrah ke Cina. Kini pintu bagi bekas anggota-anggota PKI itu untuk pulang ke Indonesia sudah dibuka, dengan syarat bersedia diajukan ke pengadilan. Siapa tahu ada yang pulang. Putut Trihusodo dan Liston P. Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini