MASIH adakah PKI? Pertanyaan ini pekan lalu hadir kembali meskipun partai ini sudah dinyatakan terlarang oleh pemerintah Indonesia sejak 24 tahun yang silam. Yang jelas, hingga saat ini masih ada bekas anggota PKI, atau mereka yang dianggap terlibat Peristiwa "Gerakan 30 September", bebas hidup di luar negeri. Jumlahnya tak diketahui secara persis. Kegiatan mereka beragam. Namun, mungkin karena usia tambah lanjut, banyak yang rindu kampung halaman. Mereka sudah berada di negeri pengasingan sekitar seperempat abad. Bahkan ada yang lebih lama. Gelagat ini terbaca oleh pemerintah Indonesia. Apalagi setelah mencairnya Perang Dingin di kawasan Asia -- salah satunya ditandai dengan cairnya hubungan diplomatik RI dan Cina, yang semula beku selama 23 tahun. Presiden Soeharto sendiri melakukan kunjungan bersejarah ke Cina, dan juga Vietnam, sampai dengan pekan lalu. Dalam suatu kesempatan berjumpa dengan Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (PKC) Jiang Zemin di Beijing, Presiden tak lupa mengangkat soal PKI sebagai salah satu topik pembahasan -- sebab memang karena peristiwa G30S hubungan kedua negara jadi retak. Dalam pertemuan itulah terungkap bahwa ada sejumlah bekas anggota PKI yang selama ini hidup di Cina, ternyata, ingin pulang ke Indonesia. Kepada Presiden Soeharto, Jiang menjelaskan bahwa bekas anggota PKI yang berada di Cina tinggal sedikit. "Mereka sudah banyak yang pergi dan tinggal beberapa orang yang sudah tua. Mereka dilarang melakukan kegiatan politik. Karena itu, mereka mengharapkan untuk dapat kembali ke Indonesia," cerita Pak Harto kepada wartawan dalam perjalanan kembali dari lawatannya ke Jepang, Cina, dan Vietnam, Rabu pekan silam di pesawat DC-10 Garuda Indonesia. Mungkinkah mereka kembali? Presiden membuka kemungkinan itu. Katanya, orang-orang bekas anggota PKI yang berada di luar negeri diizinkan pulang ke Indonesia. Namun, katanya lagi, mereka harus lebih dulu "mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan pengadilan". Alasan Pak Harto: "Kalau mereka hanya kembali, kemudian enakenak saja, tentu tak adil terhadap anggota PKI lainnya yang telah mempertanggungjawabkan perbuatannya." Di antara mereka memang terdapat tokoh terkenal waktu itu. Sebut saja Jusuf Adjitorop, kini satu-satunya anggota Politbiro PKI, lembaga terpenting dalam partai. Umurnya kini 72 tahun, dan sudah hidup di Beijing lebih dari 25 tahun. Atau tokoh Lekra, sebuah organisasi kebudayaan yang merupakan organ PKI, Basuki Resobowo. Ia salah satu pelukis terkemuka Indonesia, dan Ketua Departemen Seni Rupa Lekra. Umurnya kini 75 tahun, sekarang bermukim di Amsterdam. Ada pula yang di tahun 1960-an yang terkenal sebagai simpatisan PKI, atau tokoh sayap kiri yang sangat dekat kepada pemerintahan "Orde Lama". Misalnya Djawoto, dulu dubes RI di Cina dan Mongolia. Kini umurnya 84. Juga Sukrisno, bekas dubes RI di Vietnam Utara, dan Tahsin, bekas dubes RI di Mali. Mereka, usia yang pasti tak jelas, tapi kira-kira di atas 70, hidup di Negeri Belanda. Sedangkan bekas dubes RI di Sri Lanka, Moh. Ali Hanafiah, kini diduga bermukim di Stockholm, Swedia. Di Prancis juga ada beberapa tokoh lainnya. Seperti Oemar Said, 62 tahun, bekas pemimpin redaksi koran Ekonomi Nasional, yang sudah dibredel karena dianggap jadi terompet PKI. Ia sejak tahun 1974 menetap di Noisy Le Grand di pinggiran kota Paris. Di tempat ini juga menetap A.M. Hanafi, bekas duta besar RI di Kuba, yang usianya sudah sangat lanjut. Mereka, sebelum hijrah ke Eropa Barat, di antaranya ada juga yang mencoba bermukim di Cina. Basuki Resobowo, misalnya. Ia pernah tinggal di Beijing dan Nanking sampai tahun 1972. Menurut pengakuan Oemar Said, ketika meletus peristiwa G-30-S di Cina terdapat sekitar 150 anggota PKI dan simpatisannya -- termasuk para istri dan anak-anak. Karena Revolusi Kebudayaan melanda Cina tahun 1966-1976, akhirnya banyak yang tak betah tinggal di sana. Satu per satu di antara mereka banyak yang memilih Eropa Barat -- di masyarakat kapitalis -- sebagai tujuan. Dan ini belum termasuk sejumlah mahasiswa kiri yang mendapat tugas belajar di Eropa Timur sebelum 1965. Karena itu, seperti dikatakan oleh Kepala Pusat Penerangan ABRI Brigjen. Nurhadi Purwosaputro, memang sulit untuk menghitung berapa jumlah bekas anggota PKI dan simpatisannya yang masih berada di luar negeri. Namun, diperkirakannya ada sekitar 80 orang eks PKI yang berada di Cina dan Eropa Timur. Mereka yang pada tahun 1960-an berstatus mahasiswa kini berumur sekitar 45 tahun. Yang berstatus diplomat atau lainnya usianya pasti di atas 65 tahun. Bekas anggota PKI yang berada di luar negeri itu, menurut Nurhadi, minimum bisa diklasifikasikan sebagai Golongan B. Menurut Buku Putih yang dikeluarkan oleh Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) pada tahun 1978, golongan B adalah mereka yang "nyata-nyata terlibat secara tak langsung peristiwa G30S-PKI". Misalnya, mereka mengetahui adanya gerakan itu dan kegiatan lanjutannya, dan "sikap, perbuatan, dan ucapannya menyetujui gerakan itu." Dalam kategori ini termasuk pengurus dan anggota PKI, atau mereka yang jadi pengurus atau tokoh organisasi yang "seasas aktivitasnya". Salah satu contoh adalah Suharyo, bekas brigjen dan Pangdam IX Mulawarman. Perwira tinggi ini, yang suka musik dan pernah ikut membantu pembuatan film Tangan-Tangan Kotor yang didukung Lekra, pada pertengahan tahun 1977 mendarat di Bandar Udara Halim Perdanakusuma bersama istri dan kelima anaknya setelah bermukim selama hampir 12 tahun di Moskow. Dari hasil pemeriksaan, Suharyo diklasifikasikan sebagai golongan B. "Sekarang dia sudah bebas," ujar Nurhadi. Sejauh ini, menurut Nurhadi, belum ada anggota PKI yang mengikuti jejak Suharyo. Bagaimana kalau ada? "Mereka tak bisa langsung masuk ke masyarakat," kata Nurhadi lagi. Mereka akan dijemput di bandara dan akan dapat "litsus". "Litsus" adalah kependekan dari "Penelitian Khusus" -- untuk menakar "kadar ideologi". Namun, bukan berarti tak ada yang pulang. Beberapa waktu yang lalu ada juga keluarga eks anggota PKI yang mencoba masuk. Kata Nurhadi, anak Salawati Daud, tokoh pimpinan Gerwani pernah menyamar sebagai turis Belanda dan masuk menggunakan fasilitas bebas visa di bandar udara. "Untung ketahuan di Yogyakarta berdasarkan laporan masyarakat," cerita Nurhadi. Memang tak mudah menyidik soal ini. PKI pernah mengklaim bahwa anggotanya yang aktif ada 3,5 juta orang. Dan ini masih ditambah lagi dengan 20 juta orang simpatisan yang merebak di berbagai organisasi. Misalnya anggota organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI). Organisasi petani yang dikembangkan PKI sejak tahun 1948 itu mengaku pernah punya anggota sebanyak enam juta orang. Pemuda Rakyat, organisasi pemuda komunis, beranggotakan tiga orang. Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) 3,5 juta, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) tiga juta orang. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) masing-masing setengah juta orang. Dari semua itu, ada sekitar 20 juta anggota dan simpatisan PKI -- kalaupun angka itu tak dibesar-besarkan oleh PKI sendiri sewaktu masih berkuasa. Dari jumlah itu, sebagian tertangkap. Data dari Departemen Dalam Negeri di tahun 1985 menyebutkan hampir 1,5 juta anggota PKI dan simpatisannya sudah terjaring. Dari jumlah itu, sekitar 350 merupakan Golongan A -- dianggap nyata-nyata terlibat langsung Peristiwa G30S. Ada 34.000 dikategorikan sebagai Golongan B, dan sebanyak 1,4 juta dianggap termasuk Golongan C -- artinya "terdapat petunjuk atau patut diduga terlibat secara langsung atau tak langsung". Lalu, ke mana sisanya? Di antara mereka inilah ada yang kebetulan bisa lolos dan tinggal di luar negeri. Ada yang masih getol memusuhi pemerintah Indonesia sekarang. Koordinatornya berkedudukan di Belanda. Kegiatan mereka antara lain mencoba merangkul siapa saja yang "sakit hati" seperti kelompok Aceh Merdeka, Papua Merdeka atau Republik Maluku Selatan (RMS) -- kerja sama yang dulu tak cocok dengan pandangan PKI. Mereka hidup dari bantuan pemerintah setempat, yang lazim diperoleh bagi para pencari suaka politik. Atau bisnis, atau lainnya. Hidup mereka lumayan, tapi bukannya tanpa problem. Seorang bekas anggota PKI yang tinggal di sebuah negara Eropa Timur menyaksikan bagaimana kedua anaknya ikut demonstrasi anti-Partai Komunis, yang ideologinya sudah bangkrut itu. Dan ternyata di sana gerakan komunis juga kalah. "Di Indonesia saya tak menyaksikan pembubaran PKI," kata orang ini, "sekarang di sini saya melihat keruntuhan komunisme." Namun, seperti kata sebaris sajak Hr. Bandaharo, tokoh Lekra dulu, tak semua "berniat pulang, walau mati menanti." Ucap Basuki, "Buat apa saya pulang kecuali kalau ada amnesti." Ahmed K. Soeriawidjaja, Diah Purnomowati, Liston P. Siregar (Jakarta), Asbari N. Krisna (Amsterdam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini