JUSUF ADJITOROP Ia satu-satunya bekas anggota Politbiro CC PKI yang masih hidup. Soalnya Jusuf Adjitorop sejak pertengahan 1964 tinggal di Beijing, hingga tak tersenggol akibat peristiwa G30S-PKI seperti rekan-rekannya. Kini, usianya 72 tahun. Kepalanya botak. Semua giginya masih utuh, kecuali dua yang palsu. Dalam wawancaranya dengan wartawan TEMPO Seiichi Okawa September lalu, suaranya masih terdengar lantang seperti umumnya orang Batak. Dengan tinggi badan 164 sentimeter, ia masih tampak tegap. Berat badannya antara 61 dan 65 kilogram. Kesehatannya memang tampak sangat baik. Dalam pengakuannya, hal itu lantaran tiap pagi ia selalu melakukan senam taijiquang selama kira-kira 15 menit. Belajar berenang pada usia 65 tahun, kini ia mampu berenang 200 sampai 300 meter. Ia tidak lagi merokok dan minum minuman keras. Jusuf, yang juga pernah menjabat Wakil Ketua II Fraksi PKI di DPRGR itu, tinggal tak jauh dari pusat Kota Beijing bersama istri dan dua dari ketujuh anaknya. Istrinya, Yuswati, kini 58 tahun, menyusul suaminya ke Beijing begitu ia bebas pada 1978 setelah ditahan selama 12 tahun sebagai tapol PKI golongan B. "Orang yang sudah bebas tentu berhak bertemu dengan keluarganya, setelah lebih dari 20 tahun berpisah," ujar Jusuf. Jusuf Adjitorop mengaku rindu Indonesia. Berkali-kali ia menyebut pepatah Batak Dolgi ranggas diingani bodat ngali aek diingani dekke. Artinya: meski dedaunan kering banyak berlubang, monyet suka tinggal di sana kendati air sangat dingin, ikan memilihnya sebagai tempat tinggal untuk hidup dan mati. Dan Jusuf pun melukis. Tak kurang dari 500 sketsa dan 100 lukisan cat minyak dihasilkannya -- rata-rata imajinasi mengenai Indonesia dan orang-orang yang sangat dikenalnya. Ada pemandangan alam Danau Toba yang airnya membiru, wajah kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya, juga wajah istrinya. Sejak masih duduk di sekolah dasar, ia memang sudah gemar menggambar. "Saya ingin melihat kembali tanah air. Bukan hanya dalam imajinasi, bukan hanya dengan melukiskannya. Bukan hanya melihat kembali keindahan Danau Toba, tapi juga Danau Singkarak, pemandangan alam di Jawa, Bali, Kalimantan. Dalam usia setua saya ini, saya masih ingin memperkenalkan Indonesia kepada rakyat Tiongkok," katanya. "Saya juga sangat rindu masakan Indonesia, terutama masakan Padang dan Batak," katanya. Misalnya na-ni-ura (ikan mentah), atau namar gota na margota (ayam masak campur darah ayam). Selama seperempat abad ia selalu sarapan roti, lalu makan siang dan malam dengan masakan Cina. Kadang-kadang ia mencoba memasak dengan resep masakan Indonesia yang dibacanya dari Kompas Minggu atau Merdeka Minggu. Jusuf Adjitorop merasa tidak terlibat G30S-PKI. Sebab, katanya, ia sudah setahun bermukim di Beijing ketika peristiwa berdarah itu meletus. "Jadi, yang saya tahu dari peristiwa itu hanya dari berita-berita surat kabar," katanya. Namun, bukankah PKI yang merencanakan kudeta itu, dan fakta-fakta jelas menunjukkan bahwa mereka membunuh beberapa jenderal? "Soal itu saya kurang bisa mengerti," katanya lagi. Apakah ia masih menyebut diri anggota PKI? Jawabnya, "Masa lalu itu buat saya sudah jadi sejarah. Yang sudah lewat itu sejarah buat saya." Apakah di RRC sekarang ada organisasi yang menyebut diri PKI? Lagi-lagi jawabnya, "Itu sudah sejarah. Tidak ada organisasi yang menyebut diri PKI di Tiongkok sekarang." Tapi bukankah dari Beijing dulu sering keluar pernyataan yang mengatasnamakan PKI? "Memang, pernah juga PKI di sini mengeluarkan pernyataan atas nama PKI, tapi itu sudah sejarah," sahutnya lagi. Diakuinya, dulu ada organisasi "delegasi PKI" di RRC, dan ketuanya adalah dia sendiri. Ia pernah bertemu dengan para pemimpin RRC, termasuk Mao Zedong dan Deng Xiaoping, "Karena ada kebutuhan kan, waktu itu." Lalu, katanya, sejak awal 1970-an tidak ada lagi organisasi PKI di Cina. Soalnya, saat itu RRC sudah menginginkan normalisasi hubungan dengan Indonesia, dan keberadaan PKI di RRC dianggap akan mengganggu. "Pembubaran" PKI itu, tutur Jusuf, dilakukan tanpa upacara. "Tidak ada kami mengadakan upacara. Tidak pernah juga Tiongkok mengedarkan pernyataan, kan?" Diungkapkannya, pemerintah RRC memang tidak pernah "menasihatinya" agar membubarkan PKI. "Itu bukan urusan pemerintah RRC. Itu urusan yang bersangkutan. Tapi saya mengerti, kalau ada suatu organisasi yang dilarang di sana melakukan kegiatan di negara lain, padahal mereka mau mengadakan hubungan peaceful coexistence, itu bisa jadi soal." Melihat gelagat, orang-orang PKI di RRC "tahu diri", dan lalu membubarkan diri. Setelah itu, kata Jusuf, bekas-bekas PKI di RRC yang jumlahnya sekitar 200 orang pergi ke Eropa Barat, "Karena di sana mudah berhubungan dengan keluarga." Jusuf, dengan alasan kesehatan, dan karena keluarganya memang ada di RRC, tetap tinggal di sana. Kini, tampaknya Jusuf sangat berharap dengan pemulihan hubungan diplomatik RI-RRC. Ia ingat betul sambutan Presiden Soeharto ketika menjamu Perdana Menteri RRC Li Peng di Jakarta Agustus silam. Dengan lancar, Adjitorop berkali-kali mengutip ucapan Presiden Soeharto, yang antara lain menyatakan, tidaklah adil dan realistis kalau kita bebankan kejadian seperempat abad yang lalu kepada generasi sekarang dan di masa datang. "Saya berharap, kebijaksanaan itu bisa dilaksanakan oleh semua pejabat. Dan saya sebagai warga negara Indonesia dalam hal ini tentu berpedoman pula pada Memorandum of Understanding yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Li Peng pada tanggal 8 Agustus lalu," katanya. Lalu ia menegaskan lagi, masa lalu haruslah dianggap sebagai sejarah yang sudah lewat. Dalam penuturannya, ia berangkat ke Beijing pada bulan Juli 1964, bersama beberapa orang lainnya, untuk berobat. Ketika itu, katanya, ia mengidap penyakit yang tidak diketahui secara persis oleh para dokter Indonesia yang memeriksanya. "Setiba di Beijing saya lansung dibawa ke rumah sakit. Di sini barulah diketahui penyakitnya: radang hati. Dan berkat pengobatan yang intensif, kesehatan saya mulai pulih," tuturnya. Selama hampir 20 tahun ia berobat jalan, masuk-keluar rumah sakit, dan belajar, mempersiapkan diri sebagai dosen. Ia memang sengaja membawa banyak buku dari Indonesia. Sejak musim gugur 1986 ia mengajar di Universitas Beijing dalam mata kuliah hukum Islam dan hukum adat Indonesia. Ia sudah menulis dua buah buku. Sebagai "tamu", hidupnya ditanggung oleh pemerintah RRC. Makan, tempat tinggal, pengobatan, transportasi. "Tapi setelah mengajar di Universitas Beijing, sebagian biaya hidup saya tanggung sendiri," katanya. Kini ia menerima gaji sekitar 230 yuan. Itu jumlah yang cukup banyak, mengingat biaya sehari-hari di Beijing sekitar 6 yuan. Apalagi beras dan sayur-mayur gratis. Sebelum pada akhirnya menetap di Beijing, sudah dua kali Jusuf Adjitorop berkunjung ke sana. Pertama, pada 1956, sebagai anggota delegasi parlemen, dan tinggal di sana selama tiga minggu. Kedua, pada tahun 1962, sebagai anggota delegasi Himpunan Sarjana Indonesia (HSI, organ PKI). Dan kini, katanya, ada sekitar 10 orang bekas PKI, lelaki dan perempuan, bekerja di beberapa instansi pemerintah RRC. Jusuf Adjitorop lahir dari keluarga petani di Desa Tampahan, Balige, Tapanuli Utara. Tamat SD, Jusuf dibiayai abangnya, S.M. Simanjuntak, belajar di sekolah menengah HIS di Medan. Sebelumnya ia masuk HIS Kristen di Pematangsiantar. Jusuf sangat terkesan atas keberanian si abang yang berani memprotes asisten residen Belanda yang memperlakukan pegawai-pegawai Indonesia secara tidak adil. Seperti halnya pemuda yang lain, di masa mudanya Jusuf Adjitorop juga aktif dalam organisasi pemuda. Misalnya Perkumpulan Pemuda Kristen bersama bekas Kepala Staf Angkatan Perang, almarhum T.B. Simatupang, dan bekas Menteri Sosial A.M. Tambunan. Ketika itu, tahun 1939, ia belajar di Sekolah Dagang di Jakarta. Belakangan, tahun 1941, ia keluar dan mendirikan organisasi lain, "Hinsa Mardalan" (Lincah Berjalan) yang lebih berorientasi pada nasionalisme. Ketika organisasi itu mementaskan sandiwara Manusia Baru, dan Jusuf menjadi salah seorang pemainnya, ia bertemu dengan D.N. Aidit -- kelak menjadi ketua CC PKI. Rupanya, aspirasi kedua pemuda ini klop. Aidit, yang ketika itu sudah aktif di Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), juga menjadi salah seorang pemain sandiwara. Setelah tamat dari Sekolah Dagang, ia bekerja selama tiga bulan di studio reklame Rembrandt Atelier milik pelukis S. Tutur. Kemudian selama setahun bekerja di Departemen Ekonomi Hindia Belanda. Barangkali di sana pula ia berkenalan dengan Amir Sjarifuddin -- yang kemudian menjadi salah seorang tokoh dalam pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. Pernah menjadi wakil kepala Sekolah Rakyat "Tjahaja Moelja" di Matraman, Jakarta, ia dapat menyalurkan minatnya pada hukum dan politik ketika ia mengikuti kursus hakim dan jaksa selama satu setengah tahun yang dibuka oleh pemerintah pendudukan Jepang. Kemudian ia bekerja sebagai hakim di Pengadilan Negeri Bandung. Di masa revolusi ia menjadi hakim di Pengadilan Negeri Purwakarta. Ketika ibu kota RI pindah ke Yogyakarta pada 1948, Jusuf pun ke sana dan kuliah di Fakultas Hukum UGM. Sambil kuliah ia belajar melukis pada Affandi dan Sudjojono, yang mendirikan kelompok "Pelukis Rakyat". Ia juga sempat menyalurkan minatnya di bidang pers dengan bekerja sebagai anggota redaksi di harian Patriot yang dipimpin Usmar Ismail. Tapi rupanya ketika itu ia sudah menjadi anggota PKI. "Ketika masih kuliah di Gadjah Mada, saya sudah menjadi anggota PKI," katanya. Maka, pada pertengahan September 1948, ketika Peristiwa Madiun meletus, ia pun ditangkap. Ketika itu, selain menjadi ketua asrama mahasiswa Secodiningratan Yogyakarta, ia juga wakil ketua Perhimpunan Mahasiswa Indonesia. Setelah tiga bulan ditahan, ia ke Sumatera Utara. Ketika PKI tampil sebagai "empat besar" (PNI, PKI, Masyumi, NU) dalam Pemilu 1955, Jusuf diangkat sebagai anggota Fraksi PKI di parlemen mewakili daerah Sumatera Utara. Tiga tahun kemudian jadi anggota Politbiro CC PKI, pada tahun itu pula ia melanjutkan kuliah di FH UI sampai tamat pada 1960. Ia lalu mengajar di Universitas Res Publika milik Baperki, yang kini disebut Universitas Trisakti. Dan empat tahun kemudian ia hijrah ke Beijing. Nama asli Jusuf Adjitorop sesungguhnya Joseph Simanjuntak. Semula beragama Kristen Protestan, ketika menikah dengan Yuswati yang beragama Islam, ia mengganti namanya menjadi Jusuf agar tampak sebagai seorang muslim. Adapun "Adjitorop", katanya, berarti "belajar dari rakyat". Ia mengaku, "Resminya saya beragama Islam." Namun, sampai pada usia setua itu, tambahnya, "saya sedang belajar sembahyang dari istri saya." "Paling tidak, saya biasa mengantar istri saya salat ke masjid," ujarnya lagi. Kalaupun ia mempelajari Quran -- sebagaimana pengakuannya sendiri -- hanyalah dalam kaitannya dengan tugasnya sebagai dosen hukum Islam. Ia memang mengaku sebagai seorang Marxis. Namun, di lain pihak ia juga mengaku "mempelajari Quran". Jusuf Adjitorop mengakui bahwa Marxisme tidaklah lagi bisa dianut sebagai dogma untuk menganalisa keadaan dan perkembangan masyarakat. Sebab, seperti katanya sendiri, "Kini semuanya sudah berubah ..." Apakah ia masih menyebut diri sebagai seorang komunis? "Komunis itu mesti kongkret. Tidak ada orang komunis yang tanpa organisasi. Di Tiongkok, tidak ada organisasi yang bernama PKI," Jusuf berkelit. Lalu, apakah ia ingin menyusun suatu organisasi komunis lagi? "Kenapa itu dipersoalkan sekarang? Paham mana pun yang bisa membawa kebahagiaan bagi rakyat dan kejayaan buat tanah air, bagaimanapun, akan saya sambut,"jawab Jusuf. DJAWOTO Rambutnya seluruhnya putih. Meski kulit mukanya masih tampak segar, jelas bahwa usia tua telah menggerogotinya. Tekanan darah tingginya sering mengganggu. Apabila duduk lama, lututnya kaku, hingga susah berdiri. Ia juga sering lupa, dan kerap menanyakan apa yang baru saja diucapkannya. Dalam usianya yang 84 tahun, Djawoto, bekas Duta Besar RI untuk RRC dan Mongolia, hampir-hampir tidak pernah keluar dari apartemennya dalam enam bulan terakhir ini. Apartemen bertingkat sembilan di Amsterdam, Belanda, itu ditinggalinya bersama 187 keluarga lainnya. "Mata dan pendengaran saya makin berkurang," ujarnya pada Asbari N. Krisna dari TEMPO, Oktober silam. Tiap hari, pukul enam pagi ia sudah membaca koran, buku, membuat kliping, untuk tetap mengikuti perkembangan dunia. Ia tidak suka diwawancarai, apalagi mengenai masalah politik. "Saya ini sudah tua. Semakin tua, saya semakin ingin menyendiri, ingin memahami apa sebenarnya manusia itu. Dari mana dia, siapa dia, dan ingin ke mana dia. Sekarang ... saya makin ingin mempelajari siapa saya," ujarnya. Ia menyatakan rindu terhadap tanah air yang telah ditinggalkannya lebih dari seperempat abad. Ia selalu mengikuti berita-berita tentang Indonesia. Di apartemennya, ada ukiran dan lukisan Kresna di ruang tamunya. Djawoto, yang kelahiran Tuban, Jawa Timur, itu kini tinggal berdua dengan istrinya, Ny. Hasnah, wanita kelahiran Sumatera Barat, yang dinikahinya 43 tahun yang silam. Keempat anak mereka sudah berkeluarga dan tinggal di tempat lain. Kehidupan mereka di Belanda, yang ditinggali sejak 1981, tampaknya tenang. Djawoto adalah salah satu di antara wartawan yang diangkat oleh Presiden Soekarno menjadi duta besar pada 1960-an. Ia memang sudah lama kenal dengan Bung Karno, dan menjadi anggota PNI sejak 1927. Ia bekerja sebagai wartawan Antara sejak sebelum zaman pendudukan Jepang, pada 1946 ia terpilih sebagai pemimpin redaksi pertama Antara setelah kemerdekaan. Jabatan ini dipegangnya sampai 1964, saat ia diangkat sebagai dubes untuk RRC dan Mongolia. Kantor berita Antara, menjelang 1965, diketahui didominasi oleh orang-orang kiri. Tatkala peristiwa G30S-PKI pecah, kebingungan melanda orang-orang Indonesia yang ada di RRC. Saat itu ada sekitar 500 orang Indonesia anggota berbagai delegasi, termasuk anggota MPRS dan menteri, di sana. Sebagian langsung pulang. Hubungan RI-RRC sendiri memburuk karena Jakarta menuduh Beijing ikut mendalangi kudeta itu. Kabarnya, Djawoto berkali-kali mengirim kawat minta penjelasan mengenai peristiwa G30S pada Departemen Luar Negeri dan Presiden Soekarno, tetapi tak ada jawaban. Konon, Djawoto juga pernah meminta mengundurkan diri sebagai dubes. Tak juga ada jawaban. Dari Jakarta sebaliknya berkali-kali datang kawat meminta Djawoto pulang untuk konsultasi rutin. Tak jelas benar mengapa Djawoto menolak pulang. Ada dugaan ia khawatir keselamatannya tak terjamin. Pada April 1966 Djawoto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai dubes, dan meminta suaka politik pada pemerintah RRC. Sejak itulah ia tinggal di RRC. Ia dan keluarganya keluar dari rumah dubes, dan tinggal di rumah yang disediakan pemerintah RRC. Sebagai Sekjen Persatuan Wartawan Asia-Afrika, ia bebas bergerak ke mana-mana. Atas saran beberapa ilmuwan Belanda yang berkunjung ke RRC, Djawoto mengirimkan anak-anaknya ke Belanda untuk belajar. Pada 1981 ia dan istrinya ikut pindah, dan menetap di Amsterdam. Meski didesak, Djawoto tetap enggan mengungkapkan peristiwa yang lalu itu. "Saya tidak mau mengungkit-ungkit yang sudah-sudah. Saya sudah terlalu lama difitnah. Buat apa saya menjawab, bila jawaban saya bisa diputar balik," katanya. Katanya lagi, "Saya tidak ingin dikira membela diri atau memburuk-burukkan pemerintah sekarang. Sama sekali tidak." Benarkah ia pengikut komunis? "Tanya saja Jenderal Nasution. Ia tahu saya bukan orang PKI," jawabnya. Setelah 25 tahun hidup di luar negeri, tidakkah ia ingin pulang? "Rindu, sih rindu, tapi mau apa lagi? Memang ada keinginan pulang ke Indonesia. Tapi... yah..." Ny. Hasnah menyambung, "Kami di Indonesia sudah tidak punya apa-apa lagi." Tatkala ia mengucapkan itu, pandangannya kosong. Dalam umur lanjut, dengan hidup yang cukup terlindung dan terjamin, memang buat apa pulang? A.M. HANAFI Rambutnya sudah memutih, tapi tubuhnya kelihatan sehat, pikirannya jernih, dan ingatannya masih kuat. Ia tampak bersemangat bila berbicara, terkadang agak emosional. Dialah A.M. Hanafi (sekitar 70 tahun), bekas Duta Besar RI di Kuba. Sebagai pemilik restoran "Djakarta Bali" di Jalan Reu Van Villiers, Paris, Hanafi sebenarnya cukup "makmur". Restorannya, yang menghidangkan masakan khas Indonesia, cukup ramai dikunjungi orang sekalipun terletak di jalan yang agak sempit. Modalnya untuk mendirikan restoran itu, pada 1984, lebih dari dua juta franc (sekitar Rp 750 juta). "Kalau datang ke Paris, biasanya Pangeran Syufri Bolkiah, adik Sultan Brunei, singgah makan di sini," kata Hanafi ketika TEMPO singgah di sana, September lalu. Pada hari-hari tertentu, para tamu dihibur dengan tari-tarian Bali yang dibawakan oleh gadis-gadis Indonesia. Itu tentu saja menjadi daya tarik restoran ini. "Orang Jakarta sering salah, menyangka restoran ini milik PKI. Padahal, yang pengelolanya orang PKI adalah Restoran Indonesia," kata Hanafi. Yang dimaksudnya adalah "Indonesia Restaurant" milik Oemar Said dkk., yang letaknya tak jauh dari Universitas Sorbonne, Paris. Hanafi adalah salah seorang wakil ketua pengurus pusat Partindo, partai yang dibubarkan bersama PKI, setelah kudeta G30S yang gagal, akhir September 1965. Sebelum G30S meletus, ia dikenal sebagai orang dekat Bung Karno. Hanafi -- yang adik kandung tokoh Partindo Asmarahadi -- mengaku ia memang seorang Soekarnois. Sebelum keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), menurut Hanafi, ia dipanggil Bung Karno ke Jakarta untuk membicarakan soal Conefo (Conference of the New Emerging Forces) yang menurut rencana akan diadakan di Jakarta, Oktober 1966. Maka, ia sempat melihat aksi-aksi mahasiswa yang ketika itu riuh-rendah di Jakarta. Setelah ia kembali ke posnya sebagai dubes di Havana, awal Mei 1966, datang kawat dari Deplu ia diperintahkan pulang ke Jakarta. Harap diingat, setelah menerima Supersemar, 12 Maret 1966, Pak Harto segera membubarkan PKI. Sejumlah menteri dan pejabat yang berindikasi PKI dan tokoh-tokoh kiri lainnya segera diciduk atau dinonaktifkan. Agaknya, pemanggilan dari Deplu terhadap Hanafi itu ada kaitannya dengan pengusutan terhadap para pejabat kiri atau yang diduga terlibat dalam G30S-PKI. Hanafi tak pernah memenuhi panggilan Deplu itu. Akibatnya pertengahan Juni 1966 Deplu mencabut jabatan Hanafi. Selain itu paspornya berikut paspor keluarganya dicabut pula. Sekalipun demikian Hanafi masih tetap aman dan mendapat perlakuan baik dari pemerintah setempat (yang komunis). Menurut Hanafi, pemerintah Kuba tetap menghargainya sebagai dubes, dan ia sendiri tetap merasa sebagai Dubes RI. "Saya diangkat oleh Bung Karno, jadi mesti diberhentikan oleh Bung Karno pula," katanya berdalih. Maka, setelah Bung Karno meninggal dunia, 1970, Hanafi merasa tugasnya sebagai dubes telah selesai. Ia pun mulai bersiap-siap meninggalkan negeri itu, tetapi pemerintah setempat selalu berupaya menahannya. Pada 1972, istri dan keempat anaknya (semua telah dewasa) berangkat ke Prancis, sedang ia sendiri menyusul setahun kemudian. Mengapa memilih Prancis? "Atas saran dari teman-teman saya. Negeri itu kan melindungi kaum pelarian politik," katanya terus terang. Menurut Hanafi, banyak juga temannya yang menyarankan ia pindah ke Belanda, tapi ia sendiri merasa sungkan. "Dulu Belanda itu kan musuh yang ikut saya lawan. Masa dalam kondisi seperti ini saya minta makan pada mereka," katanya. Di negeri baru ini, Hanafi pernah mencoba berbagai pekerjaan. "Saya pernah setahun jadi penjaga malam di perusahaan-perusahaan di Paris," katanya. Ia juga pernah menjadi guru bahasa Indonesia di sebuah perguruan tinggi swasta. Belakangan dengan dibantu anak-anaknya -- semua sudah bekerja -- dan bantuan kredit dua juta franc dari sebuah bank di Paris, ia berhasil mendirikan restorannya yang sekarang. "Ya, cukuplah untuk makan," katanya. Sejak beberapa tahun yang lalu, Hanafi, yang lahir di Bengkulu, mengaku terus berusaha bisa pulang ke Indonesia. Rupanya, ia tetap rindu pada kampung. BASUKI RESOBOWO Pada usianya yang hampir 76 tahun, Basuki tampak tua dan letih. Tubuhnya agak bungkuk. Rambutnya memutih dan setengah botak. Tempat tinggalnya pun tak kalah murungnya: sebuah kamar yang muram berukuran 4 x 4 meter, yang cuma diterangi lampu 25 watt. Pada sebuah sudut teronggok kompor, beberapa gelas, stoples, dan sebuah penanak nasi listrik ukuran kecil. Untuk masuk kamarnya pun orang harus masuk lewat jendela. Kamar itu terasa sempit karena dijejali tempat tidur, dengan peti tua yang telah luntur, dan kursi reot. Di sudut lain, terpasang rak buku dan sebuah meja tua dengan buku-buku, koran, dan majalah, terserak di atasnya. Berantakan. Namun, sosoknya sebagai pelukis masih tersisa. Di sana ada lukisan setengah jadi yang menempel pada sandaran kanvas. Di sana ada kuas dan sekumpulan tube cat yang kering dan kabur mereknya. Basuki Resobowo adalah sosok pelarian politik yang tak begitu nyaman. Namun, dia masih mencoba mengisi hari-harinya yang kosong itu dengan kuas dan kanvas. Ada lukisan Upit Sarimanah menyanyi dengan iringan angklung. Di sisi lain, terlihat sepasang manusia berdiri membelakangi danau yang dipagari dengan kawat berduri. Di bagian kanan atas lukisan itu tertulis: Kedungombo. Sebagai pelukis, Basuki termasuk angkatan tua. Ia seangkatan dengan Sudjojono, Affandi, Soedarso, Soerono, Hendra, dan Soedibjo. Ia pernah bergabung dalam Seniman Indonesia Muda (SIM). Tatkala Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berafiliasi ke PKI terbentuk pada 1951, Basuki termasuk salah seorang pengurusnya. Menjelang G30S pecah, Basuki ke Beijing untuk memproses filmnya tentang perayaan HUT ke-45 PKI yang berlangsung di Jakarta Mei 1965. Dia menyutradarai film dokumenter itu. Peristiwa G30S meletus. Sehari kemudian, peristiwa itu telah didengarnya, melalui mulut anggota delegasi PKI yang tengah berada di Beijing. Namun, beberapa hari kemudian, dia mendapat imbauan agar dia tak buru-buru pulang ke Tanah Air. Perkembangan selanjutnya jelas: PKI hancur. Maka, pemerintah Cina pun berbaik hati menampung tamu-tamu Indonesia itu untuk jangka waktu yang panjang. Karena di Beijing akomodasinya terbatas, para pelarian politik itu dipindahkan ke Nanjing. "Di sana kami menempati bekas barak militernya laskar Chiang Kai Sek," tutur Basuki. Selama di Nanjing, ternyata ada pula gelombang-gelombang pendatang dari Eropa Timur. Mereka adalah pelarian politik yang merasa tak betah tinggal di Eropa Timur dan mengira bisa lebih mudah pulang ke Indonesia melalui RRC. Cina menerima mereka dengan tangan terbuka. "Kami diberi makan cukup, juga pakaian," kata Basuki. Setiap bulan, para pelarian itu mendapat uang saku 20 yuan. Revolusi Kebudayaan pecah di Cina, 1966. Namun, para pelarian itu diperlakukan seperti sebelumnya. Mereka tidak diperkenankan bekerja, pun tak dibolehkan bergaul dengan masyarakat sekitar. Uniknya, kelompok pelarian itu pun tak kompak di Nanjing. Mereka pecah. Basuki mulai tidak betah. Maka, pada 1972 dia minta visa ke Jerman Barat, dan dikabulkan. Sebetulnya tujuannya ke Belanda. Mengapa? "Karena saya kenal bahasanya dan budayanya," kata Basuki. Tapi nasib cuma membawanya ke Koln. Hidupnya tak menentu. Berpindah dari satu teman ke teman lainnya. Partai Komunis Jerman tak menyokongnya. Basuki terlunta-lunta. Akhirnya dia nekat menyeberang ke Belanda. Berkat bantuan kawan-kawannya, dia mendapatkan izin tinggal sementara. Bahkan sejak bulan Maret lalu, dia mendapatkan izin tinggal tetap, dan berhak atas tunjangan 1.100 gulden per bulan. "Saya bisa melukis lagi," ujarnya. Kendati tak tampak dalam kanvas lukisan, ada rindu Basuki terhadap istri dan putrinya yang semata wayang yang ditinggalnya di Indonesia. Tapi dia tak cemas. "Saya yakin, mereka bisa mengatasi kesulitan hidup," katanya. Dia pun sering dongkol kalau teringat PKI yang ingkar janji. "Dulu, kami tak pernah mendengar adanya program perjuangan bersenjata," katanya. Basuki kini ingin pulang, kalau ada amnesti. Bekas Ketua Departemen Seni Rupa Lekra itu mengaku mengikuti perkembangan yang terjadi di Eropa Timur. "Ya, komunisme memang telah hancur. Partai komunis tak diperlukan lagi," katanya. Diakuinya juga, partai komunis di mana-mana tidak memberikan andil yang berarti buat kesejahteraan manusia. Tapi ia mengatakan bahwa komitmennya kepada "yang melarat, yang tertindas", masih terus. Suaranya parau. OEMAR SAID Tubuhnya terhitung pendek. Rambutnya agak gondrong. Namun, dalam usianya sekarang, 62 tahun, Oemar Said tampak cukup fit. Bekas pemimpin redaksi koran kiri Ekonomi Nasional itu sejak 1974 menetap di Prancis. Ia tinggal di sebuah apartemen di kawasan Noisy Le Grand, di pinggiran Kota Paris. Bersama beberapa temannya seperti Sobron Aidit (adik kandung bekas Ketua PKI D.N. Aidit) dan Margono, bekas tokoh Pemuda Rakyat (ormas pemuda PKI) sejak 1982 Oemar Said membuka restoran di Paris. Namanya "Indonesia Restaurant", terletak di Rue de Vaugirard, salah satu jalan terpanjang di Paris. Suasana Indonesia terasa di restoran ini. Selain di sini dihidangkan berbagai masakan Indonesia seperti gado-gado dan sayur asem, dekorasinya pun Indonesia: dinding restoran itu berlapis anyaman bambu, di sana-sini bergantungan batik Bali, wayang kulit, dan topeng Bali. Sebagaimana kebanyakan restoran di sana, "Indonesia Restaurant" memang tak terlalu besar, hanya berukuran 3 kali 7 meter. Namun, selain lantai dasar, restoran ini punya lantai bawah tanah sehingga mampu menampung 70-an tamu. Lokasinya cukup strategis, terpaut hanya 300-an meter dari kampus Universitas Sorbonne yang terkenal itu. Tak aneh tamunya cukup banyak, rata-rata 50 tamu sehari. Oemar Said, pendiri restoran ini, berasal dari Blitar, Jawa Timur. Menjelang meletusnya G30S, ia menjabat bendahara PWI Pusat, selain memimpin harian Ekonomi Nasional. Koran ini satu induk dengan koran kiri lainnya, Warta Bakti, berkantor di Jalan Asemka Jakarta. Dalam suasana revolusioner mengganyang kapitalis, imperialis, dan segala yang berbau Barat, ketika itu, Oemar menjabat bendahara Konperensi Wartawan Asia Afrika (KWAA). Dia juga merupakan salah satu pendiri dan pengurus Konperensi Internasional Anti-Pangkalan Militer Asing. Beberapa pekan sebelum G30S meletus, Oemar Said berangkat ke Santiago, Cili, untuk menghadiri suatu pertemuan internasional. Dari sana ia meneruskan perjalanan ke Aljazair untuk mempersiapkan KWAA ke-2 di Aljazair. Menurut Oemar, ia sedang berada di Aljazair ketika G30S meletus. Anehnya, ia tak segera pulang ke Indonesia. Apalagi setelah ia mendengar bahwa koran-koran kiri -- termasuk Warta Bakti dan korannya sendiri, Ekonomi Nasional dibredel Pemerintah, dan sejumlah wartawannya ditangkap. Beberapa waktu kemudian, Oemar Said pergi ke Beijing, bergabung dengan Djawoto, Sekretaris KWAA. Kantor sekretariat KWAA memang berada di ibu kota RRC itu. Tampaknya, Beijing menjadi tempat pelarian baik eks PKI maupun orang-orang kiri lainnya yang saat G30S meletus berada di luar negeri. Menurut Oemar Said, jumlah mereka ketika itu -- termasuk istri dan anak-anak sekitar 150 orang. Tak cuma di Beijing, tapi ada juga yang tinggal di kota-kota lainnya di RRC. Oemar Said sendiri menetap di sebuah rumah yang disediakan pemerintah setempat, di Jalan Lian To Ko, Beijing. Meski seluruh biaya hidup mereka ditanggung pemerintah setempat, ternyata, setelah sekian lama, Oemar tak tahan hidup di negeri komunis itu, terutama setelah Revolusi Kebudayaan. "Kami tak bebas berhubungan dengan masyarakat. Dunia jadi sempit. Saya pikir, komunisme kok begini?" katanya. Akhirnya, 1974, ia pergi ke Paris. Tampaknya, ia pilih Prancis karena negeri ini paling konsekuen melindungi para pelarian politik. Tak heran bila sekarang Oemar Said memuji-muji Prancis sebagai negeri yang paling bagus di dunia: amat melindungi hak asasi manusia, melindungi masyarakat tak mampu, dan membuat kehidupan intelektual sangat terasa. Bagaimana dengan komunisme? "Apa yang terjadi di Uni Soviet, negara-negara Eropa Timur, bahkan RRC sendiri, belakangan ini, telah mengubah pikiran saya. Saya memang orang bodoh, tapi tak terlalu bodoh untuk tak melihat semua kenyataan ini," katanya. Rupanya, Oemar Said tergolong orang kiri yang siap mengakui bahwa sekarang komunisme telah bangkrut. Setelan jas necis yang kini dikenakannya, serta kebiasaannya minum cognac, memang lebih menggambarkannya sebagai seorang pemilik restoran daripada tokoh kiri yang antikapitalisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini