NAMA Suhardiman rupanya masih terlalu tangguh bagi Probosutedjo dan Oetoyo Oesman. Pentas munas keenam SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia), di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur, yang berakhir Senin pekan ini, secara bulat mengukuhkan pensiunan mayor jenderal itu sebagai ketua umum periode 1991-1996. Padahal, menjelang pembukaan munas pekan lalu, Suhardiman menyatakan keinginannya untuk turun dari panggung kepemimpinan SOKSI, yang konon kini punya tiga juta anggota. "Saya ingin jadi resi," ujarnya, menamsilkan raja yang turun dari singgasana untuk hidup menjadi pendeta. Maka, nama calon-calon pengganti pun kontan beredar. Yang santer disebut-sebut sebagai kandidat adalah Oetoyo Oesman dan Probosutedjo. Oetoyo telah lama dikenal di lingkungan SOKSI dan dalam kepengurusan 1985-1991, ia duduk sebagai wakil ketua umum. Sedangkan Probo baru belakangan masuk, dan dipercaya menjabat salah seorang presidium di dewan pengurus pusat. Benarkah Suhardiman mau mundur? "Jangan dianggap terlalu serius. Pernyataan Pak Har harus dilihat dengan kaca mata politik," ujar seorang peserta yang tak mau disebut namanya. Memang, sepanjang sidang, tokoh kawakan SOKSI ini tampak aktif lirik-kanan lirik-kiri. Dia begitu bersemangat memimpin rapat-rapat tertutup dan melakukan lobi-lobi. Lantas, dari sidang pun, akhirnya muncul kesepakatan bahwa purnawirawan mayor jenderal yang telah memimpin organisasi itu, sejak berdirinya, masih diperlukan sebagai ketua umum 1991-1996. Kelahiran SOKSI sendiri memang tak bisa lepas dari nama Suhardiman. SOKSI mencuat Mei 1960, atas prakarsa Suhardiman. Tujuannya menggalang kekuatan di kalangan karyawan untuk menandingi pengaruh PKI yang telah menyebar ke mana-mana. "Kami melakukan counter ide terhadap konsep PKI," tutur pimpinan SOKSI itu. SOKSI terus tumbuh, dan kemudian bergabung dengan MKGR dan Kosgoro, membentuk kekuatan Tri Karya, cikal bakal Sekber Golkar -- kemudian menjelma menjadi Golkar. Tak mengherankan bila SOKSI, seperti juga MKGR dan Kosgoro, punya hubungan istimewa dengan Golkar. "Dan siapa pun tahu, SOKSI tak bisa dipisahkan dari Golkar," kata Wahono, Ketua Umum Golkar. Kendati kehadirannya sebagai kino Golkar telah dihapus sejak 1973, SOKSI tetap dikenal sebagai pemasok kader Golkar. Oetoyo Oesman, Oka Mahendra, atau Bomer Pasaribu, misalnya, adalah eksponen Golkar kelahiran SOKSI. Bahkan Suhardiman mengklaim, 9% anggota MPR dan 10% anggota DPR adalah kader SOKSI. Hingga saat ini, menurut Suhardiman, SOKSI mencetak 1,2 juta kader. Tapi hubungan Suhardiman dengan pimpinan Golkar tampak kurang mesra sejak lima tahun lalu. Maklum, tokoh berumur 66 tahun, berkulit gelap, dan berambut perak ini suka mengemukakan pendapat kontroversial. Pada pertengahan 1986, misalnya, ia melemparkan isu perlunya pembatasan masa jabatan presiden. Lantas, setahun kemudian, dia menyatakan kesediaannya memimpin Partai Persatuan. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Bidang Politik di FKP, tentu saja ucapan-ucapannya membuat geger. Alhasil, menurut kabar, hal itu membuat dia terpental dari kursinya di DPR. Tapi pekerjaan lain menunggu: memimpin SOKSI, mengelola Evergreen Hotel di kawasan Puncak, dan memperdalam ilmu silat. Aktivitasnya di luar gedung DPR tak membuat Suhardiman tenggelam. Buktinya, secara aklamasi munas memilihnya kembali sebagai Ketua Umum SOKSI. Dalam kepengurusan yang sekarang, dia tetap didampingi sekjen lamanya, Warno Hardjo. Putut Trihusodo dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini