KALAU sekarang ada orang yang dalam keadaan "serba salah", mungkin dia adalah Soni Harsono. Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) itu hari-hari belakangan ini boleh dikatakan sebagai orang yang paling kelimpungan membenahi urusan pertanahan. "Apa pun yang saya lakukan sekarang ini pasti ada yang tak puas," katanya. Bahkan ia tak cuma kewalahan kedatangan tamu yang uring-uringan karena tak puas menyangkut nasib tanahnya. "Saya juga sering menerima ancaman. Tapi, yah, bagaimana? Itu risiko jabatan," ujarnya lagi. Sebagai orang nomor satu di BPN, mengibaratkan dirinya sedang menempati rumah bobrok yang harus diperbaikinya. "Kalau ada tiang yang keropos, saya mesti hati-hati memperbaikinya. Kalau tidak, bisa-bisa saya kejatuhan tiang itu sendiri," ujarnya sambil berandai-andai. Sabtu petang pekan lalu ketika dijumpai TEMPO di kantornya di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, Soni membungkus badannya dengan jaket abu-abu. "Saya sedang sakit flu," katanya. Berikut petikan wawancara khusus TEMPO dengannya: Tentang meningkatnya gelombang pengaduan rakyat atas nasib tanahnya. Segala tuntutan masyarakat tentang tanah, terlepas apakah betul atau tidak, memang ada bagusnya. Kesadaran masyarakat akan haknya semakin tinggi ini memang menggembirakan. Ini menunjukkan kemajuan. Orang bisa mengadu sekarang karena sudah tahu jalurnya. Dulu mungkin tak berani, sekarang kan sudah ada Kotak Pos 5000 dan lain-lain. Namun, yang juga masih harus ditingkatkan adalah kesadaran hukumnya. Mereka, tampaknya, ada juga yang tak menyadari kewajibannya secara legal. Tentang motif pengaduan soal tanah. Harga tanah yang meningkat membuat orang tertarik atau berlomba untuk mempersoalkan tanahnya. Mereka mencoba mengusut- usut haknya. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat memang tak selalu jelek, tapi saya juga melihat ada lembaga semacam itu yang mencari peluang. Mereka memanfaatkan orang-orang yang sebenarnya kurang sadar hukum. Nah, ini bahaya. Ada yang ingin mendramatisir dan mempolitisir. Apalagi menjelang pemilu ini. Yang sering muncul justru kasus-kasus yang belum dapat diselesaikan, atau yang selalu ada masalah. Tapi bukan berarti tak bisa diselesaikan. Memang ada unsur-unsur yang mencoba memanfaatkan ini dengan tujuan berbeda. Ada yang komersial, ada yang politis, dan ada juga yang cuma cari popularitas. Di DPR, para warga yang mengadu itu seolah-olah ingin mengesankan bahwa Pemerintah tidak mementingkan kepentingan rakyat. Pemerintah bukan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi memelaratkan. Nah, ini kan sudah unsur politis. Ini kan tidak benar. Pembangunan ini apakah menyengsarakan rakyat? Wah, ini serius, lo. Pembangunan kan jelas membawa kemajuan dan meningkatkan kesejahteraan. Kalau ada orang yang puas karena mendapat ganti rugi yang sesuai, sebetulnya banyak juga. Tapi mana ada yang melapor ke DPR misalnya mengungkapkan bahwa dia puas dapat ganti rugi yang layak dan berterima kasih karena digusur, bisa beli mobil, kehidupan meningkat, punya rumah yang layak dan ada sertifikatnya. Tentang sisi lain dalam hal pembebasan tanah. Setiap penggusuran tanah, seolah-olah selalu merugikan masyarakat. Padahal ada juga orang yang tak punya hak atas tanah, kasarnya, penyerobot. Sesuai dengan perundang-undangan yang ada, orang tadi bisa dikenai hukuman kurungan. Tapi, nyatanya, orang yang tak berhak inilah yang justru galak minta ganti rugi dan memberi contoh yang tak baik. Kalau Pemerintah konsisten, orang-orang yang beginian kan harus ditangkepin. Namun, Pemerintah tetap berbaik hati dengan memberikan ganti rugi. Tapi dengan memberikan kesempatan semacam ini, orang lain, yang penyerobot juga, jadi enggak takut. Bahkan terjadi kasus-kasus yang daerahnya akan dibebaskan, yang kebetulan tanahnya milik negara, tiba-tiba secara mendadak berdiri gubuk-gubuk liar. Ini diorganisasi dan betul pernah terjadi, lo. Un- tuk menghadapi mereka, memang kita harus tindak. Tapi bukan berarti saya menekan mereka. Tentang upaya-upaya yang kini sedang dilakukan oleh BPN. Kami memang sedang melakukan penertiban ke dalam: aparatnya, administrasinya, dan penertiban peraturan perundangannya. Kantor BPN tersebar di berbagai provinsi. Penertiban harus serentak. Tentu prioritas pada kota-kota yang besar seperti Jakarta, Semarang, Bandung, Surabaya, Yogya. Kami juga mengupayakan komputerisasi dalam pendataan. Kini kami juga sedang melakukan pembuatan peta-peta atas dasar kepemilikan tanah. Kami melakukan kerja sama dengan Dirjen Pajak karena Dirjen Pajak memungut PBB (pajak bumi dan bangunan) atas tanah, sedangkan kami urusannya memberi hak atas tanah. Dirjen Pajak juga punya peta, lalu peta itu kami plot dengan peta yang ada di BPN. Di situ bisa dilihat apakah ada tumpang tindih. Dari situ kami bisa melakukan identifikasi terhadap pemiliknya. Kami juga sedang memikirkan bagaimana mempercepat proses pembuatan sertifikat. Juga memperpendek jalur proses itu. Jangan sampai ada orang yang mengurus sertifikat lalu mendatangi meja ke meja dan bayar Rp 5.000 per meja. Ya, itu enggak benar. Saya memang tahu ada praktek ini. Ini memang masalah manajemen yang sedang kami perbaiki terus-menerus. Yang harus diberantas adalah calo-calo. Maka, jangan gunakan calo yang sengaja duduk-duduk di kantor dan sering mengaku sebagai pegawai BPN. Maka, uruslah sendiri. Kini saya sudah menginstruksikan adanya loket informasi di setiap kantor BPN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini