Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sawer Kembang Uang Cendana

Keluarga Soeharto mengundang 5.000 tamu dalam hajatan besar dua pekan lalu. Mereka tetap istimewa.

25 September 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUNTUM-kuntum bunga mawar yang ditata dalam baskom cantik itu saja sudah bercerita tentang siapa yang punya pesta. Ini bukan sembarang bunga mawar. Ini mawar yang punya ”harga”: lima lembar uang Rp 10 ribuan yang warnanya merah dirangkai sebagai kuntumnya, plus sehelai daun Rp 20 ribuan.

Tentu saja, tamu yang hadir menjadi riang. Keluarga Cendana, begitu orang menyebut keluarga bekas presiden Soeharto, rupanya tahu benar cara menye­nangkan tamu-tamunya. Dua ratus ta­mu dalam acara siraman Danny, putra bungsu dari tiga anak Siti Hardijanti Rukmana dan Indra Rukmana, yang menikahi artis sinetron Lulu Tobing, semuanya mendapat ”mawar” tadi.

”Saya dapat tiga kuntum,” tutur artis senior Connie Sutedja sembari tertawa lebar kepada Tempo. Suvenir di rumah keluarga Rukmana di Jalan Yusuf Adiwinata, Jakarta Pusat, itu segera saja menjadi rebutan. ”Saking tak sabar, ada yang mencomot sendiri dari baskom,” cerita Connie.

Anda boleh berpikir apa saja tentang mawar itu, tapi itulah cara Cendana membuka prosesi pernikahan Danny dan Lulu, 28 tahun. Sehari setelah kembang uang disawer, keduanya menikah di Masjid At-Tin, masjid di Taman Mini Indonesia Indah yang mengabadikan nama mendiang Tien Soeharto.

Lulu dan Danny bukan satu-satu­nya bintang pesta. Hadir pula Soeharto, ”bintang” dalam setiap kenduri keluarga yang pernah menjadi nomor satu di negeri ini. Lenyap dari publik sejak 1998, ”Eyang Kakung” selalu tampak di acara pernikahan cucu-cucunya. Terakhir ia hadir di pernikahan Gendis, putri sulung Bambang Trihatmodjo, April lalu. Biar sebentar, ”Eyang” tetap muncul di tengah keluarga. ”Eyang juga hadir di resepsi,” ujar penyanyi Camelia Malik.

Saat siraman, jenderal besar bintang lima 85 tahun itu digandeng Dandy, kakak Danny. Sebelah tangannya memegang tongkat. Air matanya menitik ketika ia perlahan-lahan merunduk me­meluk Danny yang mencuci kakinya sebagai bagian dari prosesi adat Jawa. ”Sudah sepuh betul,” papar Connie. Hari itu ia ketemu banyak mantan anak buahnya. Ada Moerdiono, Ismail Saleh, Emil Salim, Wiranto, Joop Ave, dan Ali Alatas.

Mungkin mereka yang diundang bukan sekali ini menikmati pesta b­esar Cendana. Mereka selalu menggelar ha­jatan yang wah. Masjid At-Tin yang megah dan massif, misalnya, pelatarannya masih dibalut tenda raksasa berlantai kayu. Untuk memasangnya saja perlu dua minggu.

Tokoh-tokoh yang diserahi tugas juga tak sembarangan. Untuk menjadi wali nikah Lulu To­bing, yang baru masuk Islam, dipilihlah Menteri Agama Maftuh Basyuni. Di deretan among tamu tampak Camelia Malik dan artis tersohor seperti Yenny Rahman. Betapa besar perhatian pada Soeharto bisa diukur dari kiriman bunga ucapan selamat yang berderet di pagar luar Taman Mini, kompleks budaya yang diba­ngun pada zaman Soeharto, antara lain tampak kiriman bunga dari Hamengku Buwono X dan Akbar Tanjung.

Sekitar 5.000 undangan tersebar, lengkap dengan stiker tempat parkir. Manusia padat antre di lorong buatan yang dibebat 20 ribu meter kain cita putih. Hawa sejuk meruap dari mesin pendi­ngin. ”Enak juga ya kawin begini,” ce­letuk Inul Daratista, penyanyi dangdut, yang berada di depan Tempo.

Di dalam tenda, suasananya seperti taman indah ala istana Versailles. Ada air mancur, hamparan bunga tulip dan lili casablanca impor—kabarnya, dari Si­ngapura dan Thailand. ”Harga bunga­nya saja bisa sampai 2 miliar,” kata Bertha, guru menyanyi keluarga Cendana.

Tak kurang dari 35 jenis ma­kanan terhidang. Ikan salmon dan daging sapi tenderloin Wellington dari Hotel Grand Hyatt terhidang. Ada pula sushi dan sashimi segar ala Jepang. Hidang­an pasta Italia juga tersaji. ”Hangat,” kata seorang tamu saat menggigit sepotong lasagna yang disodorkan pelayan, diambil langsung dari mesin pemanas. Tak lupa, hidangan ”standar” hajatan seperti kambing guling, mi bebek, dan es doger.

Menjelang pukul 12 malam, tuan rumah keluar. Tutut minta maaf pers tidak dibolehkan ikut resepsi. ”Mohon doa­nya, semoga awet sampai kaken-ninen,” ujar bekas Menteri Sosial ini. Dia tertawa sumringah. Tak ada yang memprotes ”aturan Cendana” itu, apalagi mempersoalkan dari mana harta berlimpah yang mereka belanjakan untuk pesta.

Acara berjalan aman dan lancar. Kenduri megah, hidangan berlimpah, orang-orang ”lama” yang hilir-mudik, menandakan masa keemasan belum berakhir bagi Cendana. Politik dan pemerintahan boleh berubah, klan Soeharto tetap bersinar.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus